Proyek Liberalisasi Islam di Indonesia*
Mukadimah
Munculnya gagasan liberalisasi Islam akhir-akhir ini telah begitu meresahkan masyarakat Islam. Hal itu karena ide dan gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan syariat Islam. Di antara wacana yang mereka sebarkan ialah mempertanyakan kesucian Al-Qur’an, mengkritik otoritas Nabi, dan menghujat para ulama.
Pemikiran yang merusak seperti ini sudah seharusnya dibendung dan dilawan dengan pemikiran yang benar. Karena membiarkannya berarti hanya akan membuat virus tersebut leluasa bergerak dalam merusak dan mencari mangsa. Di sinilah umat Islam memiliki kewajiban untuk membentengi dirinya dari arus liberalisasi Islam.
Arti Liberalisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, liberal berarti bersifat bebas dan berpandangan bebas (luas dan terbuka). Sedangkan liberalisme artinya ialah aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur) atau usaha perjuangan menuju kebebasan.
Dalam fatwa MUI tentang pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama disebutkan bahwa liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnaah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Kata-kata liberal sulit dicari dalam kamus bahasa Arab karena ia berasal dari barat yang kemudian diserap ke bahasa lain. Menurut Abdurrahim bin Shamayil As-Silmi, memang sulit mendefinisikan liberalisme secara singkat dan padat. Tetapi, ada pemikiran mendasar yang disepakati oleh orang-orang liberal. Yakni gerakan yang menjadikan kebebasan sebagai landasan, tujuan, motivasi, dan target yang hendak digulirkan dalam kehidupan manusia.
Asal Mula Liberalisasi Islam di Indonesia
Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis dimulai pada awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi, hingga kini.
Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox –melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Menurut buku tersebut, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi.
Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia (PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”.
Seperti kita ketahui, arus sekularisasi dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan. Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham "pluralisme agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi Kitab Suci” dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi Islam–sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.
Program Liberalisasi Islam
Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.
Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama – yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.
1. Liberalisasi akidah Islam
Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri.7
Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini di antara pernyataan mereka:
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil Abshar Abdalla).
2. Relativisme kebenaran
Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation:
“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.”
3. Liberalisasi Al-Qur’an
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”.
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
4. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ‘’kontekstualisasi ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode ‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim.
Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:
“Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.”
Menjelaskan pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-Quran menunjukkan bahwa risalah Islam – disebabkan universalitasnya – adalah selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus selalu dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan kapan saja.”
Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran.
5. Faktor Asing
Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan di Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia Islam, yaitu melalui program Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme.
David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk – bukan hanya mengubah masyarakat Muslim – tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS).
6. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Jika Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr. Harun Nasution melakukan liberalisasi Islam dari dalam kampus-kampus Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Harun mulai melakukan gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.
Berdasarkan hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama Islam – mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap mahasiswa IAIN.
Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior mentang keputusan tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap dijalankan oleh pemerintah. Buku IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi panaung dan penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu pun dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang menginduk kepada Departemen Agama.
Pada tanggal 3 Desember 1975, Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:
“Laporan Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di seluruh IAIN di Indonesia.”
Selama satu tahun lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977, lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.
Kesalahan yang sangat fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion (agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun menyebut agama-agama monoteis – yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama tauhid’ — ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi kemurnian tauhid agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.”
Apakah benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam al-Quran dia dimasukkan kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat mengada-ada.
Penutup
Sebagai penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam Indonesia direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham syirik modern dan berbagai pemikiran liberal yang membongkar habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam.
Ironisnya, ujung tombak dari penyebaran paham ini adalah para individu, tokoh, cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Sebab, para ulama dan cendekiawan yang seharusnya diamanahkan untuk menjaga agama, justru banyak yang berbalik menjadi perusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman edan, zaman di mana yang haq dan yang bathil sudah bercampur aduk.
Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan, “Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).
Juga sabda beliau,
“Termasuk di antara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).
Di tengah ujian berat proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa, mudah-mudahan tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa, yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang destruktif terhadap Islam, saat ini sering dikemas dengan bungkusan yang menarik dan dijajakan oleh pengasong-pengasong yang piawai dalam bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.
Bisa dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam, maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari asasnya, baik akidah Islam, al-Quran, maupun syariat Islam.
Tidak ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan jamaah kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar dan memohon pertolongan kepada Allah. “Ya Allah, tunjukkanlah yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.”