Friday, March 9, 2018

Tiga Ciri Orang yang Dicintai Allah


Di dalam hadis Al-Bukhari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ، وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيْذَنَّهُ

“Siapa yang memusuhi wali-Ku maka telah Aku umumkan perang terhadapnya. Tidak ada taqarrubnya seorang hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai kecuali beribadah dengan apa yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunnah diluar yang fardhu) maka Aku akan mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakannya untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku niscaya akan Aku berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.” (Riwayat Bukhari).

Hadits ini menunjukkan kecintaan Allah ta’ala kepada hamba-Nya. Lantas bagaimana Allah mencintai hamba-Nya? Adakalanya, seseorang sering melakukan kemaksiatan, namun rezekinya lapang. Ia lalu beranggapan bahwa Allah tidak murka kepadanya, Allah tidak marah kepadanya. Allah masih mencintainya karena Allah masih melapangkan rezekinya.

Al-Hakim dalam Mustadraknya yang disetujui oleh Imam Adz-dzahabi akan kesahihannya, menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالىَ يُبْغِضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِالْآخِرَة
“Sesungguhnya Allah ta’ala membenci orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam perkara akhirat”.
Orang seperti itu mirip dengan orang kafir yang Allah sebut dalam surat Ar-Rum:
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 7)

Lantas apa ciri-ciri orang yang dicintai Allah?

Pertama, dia dibimbing oleh Allah. 
Ketika Allah mencintai seorang hamba, maka hamba tersebut akan berada dalam tuntunan Allah Ta’ala. Allah arahkan dia dalam kebaikan. Allah tidak ridho langkahnya menuju hal yang dibenci Allah. Allah tidak ridho matanya melihat apa yang dibenci oleh Allah. Allah tidak ridha pendengarannya mendengar apa yang dibenci Allah ta’ala.

Dia tidak maksum. Dosa adalah sebuah keniscayaan, tetapi orang yang dicintai oleh Allah ketika melakukan perbuatan dosa, Allah segera mengarahkannya pada kebaikan. Allah akan membimbingnya untuk mudah sadar dan kembali kepada-Nya dengan bertobat.

Lihatlah Bagaimana Allah ta’ala menjaga sahabat Ma’iz radiallahu anhu, sahabat yang dia datang kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ia mengatakan, “Ya Rasulullah sucikan aku!” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menanyakan kepada para sahabat apakah sahabat Maiz sudah gila? Para sahabat mengatakan, “Tidak wahai Rasulullah! Sesungguhnya dia dalam keadaan waras.”

Ma’iz disuruh pulang, namun hari berikutnya datang kembali kepada Rasulullah seraya mengatakan “Ya Rasulullah, sucikan aku.” Ia berkata begitu karena telah melakukan perbuatan zina. Rasulullah masih belum yakin dan memastikan apakah ia berbicara secara sadar.

Setelah tiga kali datang dan dipastikan, maka Ma’iz dihukum rajam. Setelah kematiannya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

 “Maiz betul-betul telah bertaubat yang sempurna. Seandainya taubat Maiz dapat dibagi-bagikan di tengah-tengah ummat niscaya mencukupi buat mereka”.
Jadi, ciri pertama adalah dibimbing oleh Allah pada kebaikan. Ketika berbuat dosa, ia tidak kebablasan, tetapi dibimbing untuk sadar dan bertobat kepada-Nya.

Kedua, Allah akan mengumpulkannya dengan orang yang mencintai dirinya karena Allah dan dia mencintai mereka karena Allah Ta’ala.
Cinta karena Allah Ta’ala adalah faktor yang menyebabkan kecintaan Allah kepada seseorang. Oleh karena itu hati yang dipadu cinta bersama saudaranya karena Allah Ta’ala, akan mudah melekat. Seiring dengan berjalannya waktu dia akan tetap melekat. Berbeda dengan kecintaan yang dibangun bukan atas dasar Allah ta’ala. Oleh karena itu dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh imam muslim Rasulullah bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan antipati karena Allah, serta cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ath-Thabarani).

Contoh dalam masalah ini adalah Saad bin Muadz Radiallahu anhu. Ibnu Al Jauzi mengisahkan ketika Saad bin Muadz sedang menderita sakit, maka beliau menangis karena melihat banyak temannya yang dekat dengan dirinya tidak menjenguk, sehingga kemudian dia bertanya kepada pembantunya, “Ada apa dengan teman-temanku ini? kenapa mereka tidak menjengukku?”

Maka pembantunya diminta untuk mencari sebabnya. Kemudian diketahui bahwa mereka tidak menjenguk Saad bin Muadz Karena mereka malu akibat memiliki hutang kepadanya. Maka Saad bin Muadz mengatakan, “Sungguh dunia telah memisahkan antara diriku dan para sahabatku yang membangun cinta karena Allah Ta’ala.”

Saat kemudian memerintahkan pembantunya untuk mengumpulkan kantong sebanyak orang yang berhutang kepadanya, kemudian kantong itu diisi dinar dan dirham. Kantong-kantong itu kemudian dibagikan kepada orang yang berhutang kepadanya dan dia mengatakan semua utang mereka bebas karena Allah Ta’ala.

Kecintaan karena Allah Ta’ala tidak akan pudar dan sesungguhnya kecintaan kepada Allah Ta’ala akan menyebabkan kecintaan dari Allah Azza wa Jalla.

Ketiga, diberi ujian oleh Allah.
Jangan memandang ujian sebagai hal yang negatif, karena ada di antara ujian yang Allah berikan kepada hamba-Nya itu baik untuk dirinya. Ujian yang Allah berikan kepada hamba-Nya merupakan bagian dari cara Allah menunjukkan rasa cintanya.

Oleh karena itu Ibnu Qayyim menyebutkan sesungguhnya dari sifat Allah adalah cinta dan cemburu. Allah cemburu jika hambanya sibuk jangan dunia sehingga fokusnya hanya pada dunia saja, dan lupa kepada Allah ta’ala. Kecemburuan Allah ini ditunjukkan dengan Allah memberikan ujian kepada-Nya, agar dia tahu ke mana dia pulang.

Dalam hal ini, para Nabi adalah orang-orang yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena mereka diberikan banyak ujian oleh Allah ta’ala. Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah menyatakan kepada para sahabat bahwa beliau adalah orang yang paling besar ujiannya di antara mereka.


Saturday, March 3, 2018

MALAM PERTAMA DI ALAM KUBUR



Bayangkan wahai saudaraku tercinta. Ketika anak-anak dan orang-orang yang engkau cintai meletakkanmu di dalam kubur. Menutupimu rapat-rapat. Lalu mereka mereka semua meninggalkanmu sendirian. Kemudian engkau mendengar suara terompah mereka. Mereka pergi dan meninggalkanmu. Mereka menguburmu di dalam tanah. Mereka meninggalkanmu dalam suasana yang menakutkan dan mengerikan. Gelap-gulita. Jika engkau mengeluarkan tanganmu, niscaya engkau tidak akan dapat melihatnya. Kegelapan yang menakutkan. Kegelapan yang mematikan. Suasan yang mengerikan.
Dalam suasana yang mengerikan dan menakutkan ini, dalam kegelapan yang menakutkan ini, engkau mendengar seseorang mengajakmu bicara. Alangkah menakutkan! Dialah kubur. Jika penghuni kubur itu baik maka ia berkata kepadanya, “Selamat datang.” Sebaliknya, bila penghuninya orang durhaka, maka ia berkata kepadanya, “Tidak ada ucapan selamat datang bagimu.”
Rasulullah saw. pernah masuk ketempat shalatnya. Kemudian beliau melihat orang-orang tertawa terbahak-bahak. Lalu beliau bersabda, “Ketahuilah, seandainya kalian banyak-banyak mengingat pemutus segala kenikmatan (kematian) niscaya kalian tidak melakukan yang aku lihat sekarang ini. Karena itu perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan.
Sesungguhnya tidaklah ada suatu hari melewati makam (pekuburan) melainkan ia berbicara, ‘Aku rumah keterasingan, aku rumah kesendirian, aku rumah tanah, aku rumah cacing tanah.’ Bila seorang hamba mukmin dikuburkan, kubur berkata kepadanya, ‘Selamat datang, engkau adalah orang yang berjalan di atas punggungku yang paling aku sukai, karena saat ini aku diberi kuasa menanganimu dan engkau kembali kepadaku. Engkau akan melihat apa yang akan aku lakukan kepadamu.’”
Rasulullah saw. melanjutkan, “Lalu diluaskan baginya sejauh mata memandang dan dibukakan baginya pintu menuju surga. Dan bila seorang hamba yang durhaka atau kafir dikubur, kubur berkata kepadanya, ‘Tidak ada ucapan selamat datang bagimu. Engkau adalah orang yang melintas di atas punggungku yang paling aku benci. Saat ini aku diberi kuasa menanganimu dan engkau kembali kepadaku, engkau akan mengetahui apa yang akan aku lakukan kepadamu.’
“Lalu kubur menghimpitnya hingga hingga tulang-tulangnya tak karu-karuan (amburadul).” Rasulullah memperagakan dengan memasukkan sebagian jari-jemarinya ke sebagian yang lain.”
“Allah menguasakan untuknya tujuh puluh ular besar. Seandainya satu diantaranya meniup bumi nicaya ia tidak akan bisa menumbuhkan apa pun selama dunia masih ada, lalu semua menggigit dan melukainya hingga datangnya hari perhitungan amal (hisab).”
Selanjutnya, Abu Sa'id berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kubur adalah salah satu taman surga atau lubang neraka.”[1]
Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ meriwayatkan dari Ubaid bin Umair, ia berkata, “Allah menciptakan sebuah lisan bagi kubur untuk bicara. Lalu kubur berkata, ‘Wahai anak Adam, mengapa engkau melupakan aku?! Tidakkah engkau tahu bahwa aku adalah rumah cacing tanah, rumah kesendirian dan rumah keterasingan?!’”
Ibnul Mubarak meriwayatkan “Telah sampai kepadaku ketika seorang mukmin meninggal dunia dan di bawa ke kuburan, maka ia berkata, ‘Bersegeralah membawaku ke kuburan.’ Ketika ia diletakkan ke dalam liang lahad, bumi berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku suka engkau berada di atas punggungku. Sekarang engkau adalah orang yang paling aku sukai.” Dan ketika seorang kafir meninggal dunia dan dibawa ke kuburan, maka ia berkata, “Bawalah aku pulang kembali.” Lalu ketika ia dimasukkan ke dalam liang lahad, bumi berkata kepadanya, “Sungguh aku sangat membencimu berada di atas punggungku. Maka sekarang engkau adalah orang yang paling aku benci.” [2]
Ia juga berkata, “Telah sampai kepadaku berita bahwa mayit itu diletakkan di dalam lubang kuburnya. Ia mendengar langkah kaki orang-orang yang mengiring jenazahnya. Tidak ada sesuatupun yang dikatakan di awal penguburannya. Lalu ia berkata, ‘Celakalah engkau wahai anak adam! Tidakkah engkau takut kepadaku?! Tidakkah engkau takut pada kesempitanku?! Tidakkah engkau takut pada kegelapanku?! Tidakkah engkau takut pada kebusukan aromaku?! Tidakkah engkau takut pada kengerianku?! Inilah yang telah aku persiapkan untukmu. Lantas, apa yang engkau persiapkan untukku?!’”[3]
Saudaraku tercinta. Bacalah semua ini dengan mata hatimu. Perhatikanlah semua ini. Persiapkan semua itu mulai sekarang. Karena sesungguhnya kematian pasti datang. Tidak ada keraguan sedikit pun. Adapun orang beruntung adalah orang yang mau menerima nasihat dari orang lain.

Monday, February 26, 2018

RAHASIA KEMENANGAN UMAT ISLAM (Shalat Subuh Berjamaah)


Jika seorang Muslim mau membaca Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah, ia akan mengetahui bahwa shalat Subuh sangat mahal nilainya. Bagaimana tidak, dua rakaat shalat sunah sebelum Subuh saja pahalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya. Lalu, bagaimana dengan pahala shalat Subuhnya? Tentu memiliki pahala dan ganjaran yang jauh lebih besar.
Perhatikan kisah sahabat Khalid bin Walid yang tidak mau memulai perang kecuali setelah melaksanakan shalat Subuh. Hal itu ia lakukan agar tidak tertinggal shalat Subuh. Ia sangat paham bahwa shalat subuh memiliki keutamaan yang begitu besar bagi umat Islam.
Umar bin Khatab berkata, Sungguh, ikut serta dalam shalat Subuh berjamaah itu  lebih baik bagi saya dari pada shalat malam.
Anas bin Malik selalu menangis manakala ia mengingat penaklukan Tastar. Tastar adalah satu kota benteng di Persia yang dikepung kaum muslimin genap satu tahun setengah, hingga akhirnya ditaklukan kaum muslimin, dan tercapailah kemenangan yang besar. Peperangan ini  tergolong peperangan yang sangat berat yang dirasakan kaum muslimin. Mengapa Anas bin Malik menangis?
Benteng Tastar baru bisa diterobos menjelang Shalat Fajar. Pasukan Islam menerobos masuk benteng, kemudian terjadilah peperangan sengit antara 30.000 pasukan muslimin dengan 150.000 pasukan Persia. Peperangan berlangsung sangat sengit. Pasukan muslimin sempat terdesak. Suasana sangat genting, kritis, dan sangat berbahaya.

  
          Akhirnya dengan karunia Allah kaum muslimin menang. Mereka menang gemilang atas musuh, kemenangan yang tercapai beberapa saat setelah terbit matahari. Saat itu, kaum muslimin baru menyadari di hari yang sangat menakutkan itu, ternyata shalat Subuh sudah lewat!
Dalam kondisi yang begitu rawan, dentingan suara pedang mengintai batang leher, membuat kaum muslimin tidak sanggup melaksanakan Shalat Subuh pada waktunya. Anas pun menangis karena pernah tertinggal shalat Subuh, meski hanya sekali sepanjang hidupnya. Dia menangis, kendati dimaafkan. Pasukan muslimin yang sibuk berperang itu juga dimaafkan. Mereka sibuk dengan jihad yang merupakan puncak Islam, namun yang mereka tinggalkan merupakan sesuatu yang sangat berharga!
Anas berkata, Buat apa Tastar? Sungguh shalat Subuh telah berlalu dariku. Sepanjang usia, aku tidak akan bahagia seandainya dunia diberikan kepadaku sebagai ganti shalat ini!
Dari sini kita tahu rahasia kemenangan mereka.Jika kamu menolong (agama) Allah, maka ia pasti akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad :7)
Jika ini merupakan salah satu penyebab datangnya kemenangan, maka bagaimana mungkin Allah akan menolong suatu kaum yang melalaikan kewajiban shalat Subuh? Demi Allah, ini tidak akan mungkin terjadi.
Duhai seandainya umat Islam sekarang ini seperti sahabat Anas yang selalu mengoreksi dirinya dalam setiap waktu shalat. Pasti mereka akan mendapatkan kemenangan. 
Sungguh Allah akan menolong orang yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa.” (Al-Hajj : 40)
Seorang penguasa Yahudi pernah berkata, “Kami baru takut terhadap umat Islam jika mereka telah melaksanakan Shalat Subuh seperti melaksanakan Sholat Jum'at.”
Link Kajian KLIK: https://www.youtube.com/watch?v=dovV48_S5TY



Wednesday, February 21, 2018

KONSEP KHILAFAH DALAM ISLAM



Dalam khazanah keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i.  Al-Qur’an menyebutkan:
 
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30).

Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya bisa bersepakat dalam satu kesepakatan demi terlaksananya hukum-hukum kekhalifahan.[1]

Allah juga berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi….” (An-Nur: 55)

Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.[2]
Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.  
Dalam khazanah Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan (imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab Al-Imarah.
Adapun secara etimologis (lughawi), kata khilafah berasal dari kata dasar khalafa. Dalam kamus Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, kata ini memiliki beberapa arti, antara lain: menggantikan, datang sesudahnya, menyusul, menyelisihi, atau deviasi dalam pendapat, menempati tempatnya, dan anak turun atau keturunan.[3]
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, khilafah artinya adalah al-imarah dan al-imamah (kepemimpinan). Adapun khalifah adalah as-sulthan al-a’dham (pemimpin tertinggi).[4] Kata khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya.[5]
Adapun definisi khilafah secara istilah, menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.[6]
Sementara itu, dalam sejarah Islam istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah. Khilafah adalah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata khilafah bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan, atau isntitusi pemerintahan dalam sejarah Islam.[7]
Ada beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah. Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?
 Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi Allah,  jika kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”[8] 

Diriwayatkan juga dari Ali, ia berkata:
“Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang lurus.’”[9] 

Keterangan dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.[10]


[1] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm 26-27.
[2] Abul A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), cetakan IV, hlm. 169.
[3] Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, (Beirut: Darul Masyriq, 2002), cetakan XXXIX, hlm. 192.
[4] Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo: Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972), juz I, cetakan III, hlm. 260.
[5] Ibnul Manzhur, Lisan Al-Arab, vol IX, Dar Shair, Beirut, 1968/1396, hlm. 83 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43.
[6] Abdurrahaman Ibnu Khaldun, Muqadimat, Dar Al-Fikr, t,tp, t.t, hlm 134 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 44.
[7] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43-44.
[8] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 18.
[9] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.
[10] Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.

8 UNSUR PERSATUAN UMAT ISLAM



Kepemimpinan dalam Islam (kekhilafahan) adalah pondasi yang mengokohkan prinsip-prinsip agama dan mengatur kepentingan-kepentingan umum hingga urusan rakyat berjalan dengan normal. Menurut Ad-Dumaiji,  kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, hanya dapat diraih dengan cara kembali berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.[1]
Hilangnnya sistem khilafah setelah berumur 1300 tahun, merupakan pukulan politik bagi kaum Muslim.[2] Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.[3]
Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja sekuler.[4]
Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang mengancam. Di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama dengan umat dan bangsa lain. Invasi militer terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti yang tak terbantahkan.
Hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang efektif.[5]
Selain itu, khilafah atau imamah (kepemimpinan) merupakan salah satu unsur terpenting kesatuan umat Islam. Menurut Hussain Ali Jabir, unsur-unsur kesatuan umat Islam yang terpenting ialah:
1.      Kesatuan akidah.
Umat Islam mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah secara ikhlas. Siapa yang tidak mengucapkannya, maka tidak termasuk bagian umat ini.
2.      Kesatuan ibadah.
Ibadah yang diwajibkan Allah kepada umat Islam adalah satu. Setiap Muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum pada bulan Ramadhan setiap tahun, zakat apabila sudah mencapai nishab, dan kewajiban-kewajiban lain dalam Islam.
3.      Kesatuan adat dan perilaku.
Setiap Muslim mempunyai keteladanan yang baik pada diri Rasulullah. Ini menumbuhkan kesatuan perilaku dan akhlak karena kaum Muslim dituntut untuk meneladani Rasulullah. 
4.      Kesatuan Sejarah.
Seorang Muslim tidak terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu dan hanya sejarah Islamlah yang menjadi ikatan dan kebanggaannya.
5.      Kesatuan bahasa.
Merupakan suatu yang alami jika bahasa Arab menjadi salah satu faktor pemersatu umat Islam. Umat Islam dituntut agar memahami Islam dan mengamalkannya.
6.      Kesatuan jalan.
Sesungguhnya jalan kaum Muslim adalah satu, yaitu jalan para nabi dan rasul sebagaimana disebutkan dalam Al-Fatihah: 6–7. Inilah jalan yang akan mengantarkan ke surga.
7.      Kesatuan dustur.
Sumber undang-undang (dustur) umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Muslim dilarang mengambil rujukan untuk menata dan mengatur gerakan mereka, kecuali dari apa yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul-Nya.
8.      Kesatuan pimpinan
Umat Islam sepakat bahwa pimpinannya yang pertama adalah Rasulullah, kemudian para khalifahnya yang terpimpin. Masing-masing mereka menjadi pemimpin pada zamannya. Tidak ada kepemimpinan umat Islam lebih dari seorang khalifah. Sebab, kesatuan pimpinan merupakan simbol persatuan, kekuatan tubuh, dan kesatuan panjinya. Dengan mengangkat seorang imam untuk mengurusi persoalan umat, maka umat Islam akan mencapai kesatuan, kekuatan, dan kekukuhan bangunannya.[6]


[1] Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaah, (Riyadh, Dar Thyyibah: tt), cetakan kedua, hlm. 565-566.
[2] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimin; telaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. vi.
[3] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm.13.
[4] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimin; telaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan v, hlm. vi-vii.
[5] Syabab Hizbut Tahrir Inggris, Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), cet II, hlm. x.
[6] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin, Telaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. 57-62.