Monday, January 26, 2009

PENGALAMAN BERJUANG BERSAMA PAK NATSIR

Riwayat Singkat Ahmad Husnan, Lc

Ahmad Husnan dilahirkan di desa Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1940. Ia adalah anak keempat dari pasangan Iman Kurmen dan Saudah. Ia belajar Al-Qur’an dari ayahnya pada malam hari, SD 6 tahun pagi hari dan Madrasah Ibtidaiyah sore hari. PGA negeri 4 tahun di Solo. PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Muallimin Muhammadiyah Payakumbuh Sumbar. UPI dan Pesantren Islam Bangil tahun 1962-1967. Kuliah di Jurusan Syariah Jamiah Islamiyah Madinah tahun 1968-1973 dan di Kairo satu tahun 1974.

Perjuangan dan Organisasi: Sejak umur 12 tahun telah keluar masuk penjara di Delanggu, Klaten, dan Solo karena dituduh terlibat dalam peristiwa 426. Dari situ ia melanjutkan perjuangan di Sumatra bersama Syafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Tahun 1959 menjadi anggota pengurus dewan pemuda Indonesia yang berpusat di Bukittinggi Sumbar. Sedang tahun 1970 menjadi ketua seksi penerangan PPI Komisariat Madinah.

Ia telah melakukan kegiatan dakwah sejak tahun 1985-1962 di Sumatra Barat dan Tapanuli. Selesai dari Madinah dan sepulangnya dari Kairo, ia langsung diserahi menangani DDII perwakilan Jawa Tengah sekaligus menjadi dai Rabithah sejak tahun 1977. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa majlis taklim dan menjadi pengasuh di pondok Al-Mukmin Solo. Di samping berdakwah, Ahmad Husnan juga produktif menulis. Hingga sekarang sudah dihasilkan lebih dari 24 buku yang telah beredar. Tulisan-tulisannya terfokus pada dua bagian, yaitu untuk mendalami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta untuk meluruskan atau menanggapi berbagai penyimpangan pikiran para pakar yang dinilai berbahaya dan sesat.
***


Saya mengenal Pak Natsir pada usia 17 tahun. Waktu itu tahun 1957. Tepatnya ketika saya disarankan oleh saudara sepupu saya, pendiri PII, Rusdi Gozali. Dia menyarankan, kalau memang ada jiwa untuk perjuangan, ya sekarang ini Sumatra Barat yang siap. Maka, saya pun memutuskan berangkat ke sana. Di sana saya ditampung oleh orang-orang Masyumi di Bukittinggi untuk selanjutnya saya ke Payakumbuh, sebelum ada PRRI, untuk tinggal di Muallimin. Nah, di situlah saya pertama kali bertemu dengan Pak Natsir. Kata Pak Natsir, “Kalau begitu kamu di sini dulu.”

Kesan pertama saya bertemu dengan Pak Natsir ialah bahwa beliau dianggap sebagai imam dalam perjuangan oleh teman-temannya seperti Syafruddin, Mr. As-Sa’ad, dan Burhanudin Harahap. Segala sesuatu beliau yang menentukan, sekalipun di PRRI beliau hanya menjadi menteri penerangan.

Mulai sejak itu saya sudah berinteraksi dengan Pak Natsir. Waktu itu Pak Natsir menyarankan agar saya menangani Studio karena kekuatannya sama dengan satu devisi. Saya waktu itu bertugas di bidang penerangan.

Saya tidak ingat persis kapan terakhir kali bertemu dengan Pak Natsir. Tapi, yang pasti komunikasi dengan beliau selalu terjalin, baik lewat surat-menyurat maupun dipanggil langsung ke Jakarta.

Selama bersama Pak Natsir, ada pesan-pesan yang selalu saya ingat. Ketika itu saya termasuk salah seorang yang diutus beliau ke Timur Tengah untuk belajar di Universitas Islam Madinah. Beliau waktu itu memberi pesan bahwa saya dan teman-teman adalah duta dari Indonesia. Dua bulan setelah di Madinah, beliau menulis surat kepada saya yang isinya bahwa akan didirikan Dewan Dakwah di Jakarta, dan meminta saya untuk membuka hubungan dengan Timur Tengah serta menjalin hubungan dengan orang-orang di sana yang bisa membantu Dewan Dakwah.

Selama berjuang bersama Pak Natsir, ada hal-hal yang paling berkesan bagi saya. Pertama, Pak Natsir orangnya tegas. Menurutnya, Islam ya Islam. Ia tidak bisa dicampur dengan paham lain di luar Islam. Kedua, beliau adalah satu-satunya tokoh waktu itu yang tetap mempertahankan Islam sebagai dasar Negara. Ini yang membuat saya kagum sekaligus salut kepada beliau. Ketiga, beliau tetap istiqamah dengan Islam. Meskipun dalam parlemen bisa dibilang kalah dan bahkan sempat dipenjara, tapi Pak Natsir tetap kukuh dengan pemikirannya. Keempat, Pak Natsir adalah orang yang mampu menampung segala persoalan sekecil apa pun dan sebesar apa pun. Hal ini sekaligus menunjukkan kebesaran jiwa beliau.

Suatu hari Pak Natsir pernah mendapatkan kiriman uang dari orang-orang yang bersimpati kepadanya. Surat tersebut kemudian diperlihatkan kepada keluarganya. Pak Natsir berkata kepada keluarganya bahwa surat tersebut ditujukan ke Natsir, bukan untuk keluarga Natsir. Oleh karena itu, dana yang dikirimkan lewat surat tersebut berarti untuk Natsir dan umat, bukan untuk keluarga Natsir.

Di antara yang juga paling berkesan bagi saya ialah Pak Natsir tidak pernah membuang-bunag waktu. Meskipun dalam posisi yang susah, Pak Natsir masih bisa mengurus anak buahnya. Misalnya dengan mingirim si fulan untuk belajar ini dan bekerja itu. Saya termasuk orang yang waktu itu dikirim untuk belajar ke pesantren Islam Bangil. Contoh lainnya, ketika Pak Natsir dipenjara, beliau mempergunakannya untuk menulis buku Fikih Dakwah yang banyak mendapatkan pujian dari umat Islam.

Pak Natsir daya tariknya luar biasa. Dalam keadaan terdesak, beliau masih bisa menarik simpati orang lain. Dia juga mampu menyalurkan orang-orang yang sudah tidak bisa bergerak karena adanya tekanan politik waktu itu. Dia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan selalu berbuat.

Dalam hal ceramah, Pak Natsir ceramahnya begitu tajam dan menusuk hati. Seluruh ucapannya menjadi pegangan umat. Meskipun pidatonya tidak berapi-api seperti pidato Soekarno yang bisa menggerakkan orang, tapi pidato Pak Natsir sangat menusuk hati dan kemudian dijadikan pegangan oleh pendengarnya.

Pak Natsir memiliki harapan besar. Menurutnya segala sesuatu tidak bisa terlepas dari Islam. Pak Natsir ketika itu berusaha membangkitkan dari berbagai sisi. Meskipun tidak langsung angkat senjata, Pak Natsir tetap berjuang melalui kelihaian dan kecerdasan. Dalam perjuangan Pak Natsir menampilkan pemikiran yang akomodatif terhadap keinginan semua orang sehingga membuat beliau disegani oleh semua orang.
Secara umum saya ingin melanjutkan perjuangan Pak Natsir karena pada dasarnya orientasi dakwahnya sama. Tapi, saya sadari bahwa saya memiliki beberapa keterbatasan. Jadi, yang terpenting bagaimana dalam berdakwah ini saya tidak keluar dari tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, saya juga aktif menulis, mengurusi Dewan Dakwah perwakilan Jawa Tengah, berdakwah, mengasuk pesantren, dan membuat majlis taklim di rumah yang biasanya digunakan kajian oleh beberapa tokoh.


(Ini adalah hasil wawancara Fahrur Mu’is, S.Pd.I dengan Ustadz Ahmad Husnan pada hari Rabu, 18 Juni 2008, pukul 09.00-10.30 di Ngruki, Cemani, Sukoharjo)