Saturday, September 17, 2011

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


Oleh:
Fahrur Mu'is, M.Ag 
(Alumni Magister Pemikiran Islam, UMS)
Kepemimpinan dalam Islam (kekhilafahan) adalah pondasi yang mengokohkan prinsip-prinsip agama dan mengatur kepentingan-kepentingan umum hingga urusan rakyat berjalan dengan normal. Menurut Ad-Dumaiji,  kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, hanya dapat diraih dengan cara kembali berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.[1]
Hilangnnya sistem khilafah setelah berumur 1300 tahun, merupakan pukulan politik bagi kaum Muslim.[2] Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.[3]
Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja sekuler.[4]
Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang mengancam. Di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama dengan umat dan bangsa lain. Invasi militer terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti yang tak terbantahkan.
Hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang efektif.[5]
Selain itu, khilafah atau imamah (kepemimpinan) merupakan salah satu unsur terpenting kesatuan umat Islam. Menurut Hussain Ali Jabir, unsur-unsur kesatuan umat Islam yang terpenting ialah:
1.      Kesatuan akidah.
Umat Islam mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah secara ikhlas. Siapa yang tidak mengucapkannya, maka tidak termasuk bagian umat ini.
2.      Kesatuan ibadah.
Ibadah yang diwajibkan Allah kepada umat Islam adalah satu. Setiap Muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum pada bulan Ramadhan setiap tahun, zakat apabila sudah mencapai nishab, dan kewajiban-kewajiban lain dalam Islam.
3.      Kesatuan adat dan perilaku.
Setiap Muslim mempunyai keteladanan yang baik pada diri Rasulullah. Ini menumbuhkan kesatuan perilaku dan akhlak karena kaum Muslim dituntut untuk meneladani Rasulullah. 
4.      Kesatuan Sejarah.
Seorang Muslim tidak terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu dan hanya sejarah Islamlah yang menjadi ikatan dan kebanggaannya.
5.      Kesatuan bahasa.
Merupakan suatu yang alami jika bahasa Arab menjadi salah satu faktor pemersatu umat Islam. Umat Islam dituntut agar memahami Islam dan mengamalkannya.
6.      Kesatuan jalan.
Sesungguhnya jalan kaum Muslim adalah satu, yaitu jalan para nabi dan rasul sebagaimana disebutkan dalam Al-Fatihah: 6–7. Inilah jalan yang akan mengantarkan ke surga.
7.      Kesatuan dustur.
Sumber undang-undang (dustur) umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Muslim dilarang mengambil rujukan untuk menata dan mengatur gerakan mereka, kecuali dari apa yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul-Nya.
8.      Kesatuan pimpinan
Umat Islam sepakat bahwa pimpinannya yang pertama adalah Rasulullah, kemudian para khalifahnya yang terpimpin. Masing-masing mereka menjadi pemimpin pada zamannya. Tidak ada kepemimpinan umat Islam lebih dari seorang khalifah. Sebab, kesatuan pimpinan merupakan simbol persatuan, kekuatan tubuh, dan kesatuan panjinya. Dengan mengangkat seorang imam untuk mengurusi persoalan umat, maka umat Islam akan mencapai kesatuan, kekuatan, dan kekukuhan bangunannya.[6]
Salah satu problem dalam masyarakat Islam adalah krisis kepemimpinan di tubuh umat Islam. Menurut Abul A’la Al-Maududi, catatan sejarah Islam mengungkapkan bahwa selama tiga belas abad, tidak ada konsep ideal selain Islam yang dapat mendikte kaum Muslim melakukan aksi besar macam apa pun. Islam adalah nafas mereka: hanya Islamlah yang menggerakkan mereka untuk mencapai kejayaan-kejayaan gemilang.[7] 
Oleh karena itu, di kalangan aktivis Islam banyak yang merindukan kembali tegaknya khilafah Islamiyah di dunia. Namun, kompleksnya masalah yang sedang dihadapi umat Islam, menjadikan mereka berbeda dalam memandang prioritas masalah yang dihadapi beserta solusinya.
Salah satu komponen umat Islam yang sangat antusias dalam mengusung pemikiran untuk menegakkan kembali khilafah adalah Hizbut Tahrir (HT). Menurut Hizbut Tahrir, akar masalah dari seluruh persoalan umat adalah lenyapnya Islam dari tampuk pemerintahan, sedangkan solusi atas seluruh persoalan umat adalah pendirian khilafah. Majalah Al-Wa’ie menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir telah meneliti semua problem kaum Muslim dan mendiagnosisnya secara detail. Hizb akhirnya mampu menentukan akar masalahnya sekaligus merumuskan solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Akar masalah itu adalah lenyapnya Islam dari tampuk pemerintahan. Solusi yang tepat itu terwujud dalam upaya pendirian khilafah Islamiyah yang mengikuti metode kenabian.[8]
Hizbut Tahrir adalah kelompok/partai politik yang berideologi Islam, yang aktivitas utamanya adalah berpolitik. Sebagai kelompok politik, Hizbut Tahrir bertujuan untuk merebut kekuasaan dan mendirikan khilafah. HT bukanlah kelompok kerohanian, bukan kelompok akademis, pendidikan atau organisasi amal.[9]
Partai politik yang dimaksud oleh HT adalah sebuah kelompok yang aktivitas utamanya adalah politik. Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, mendefinisikan gerakannya sebagai berikut:
Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Islam, yang akan menerapkan sistem Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan tsaqafah khusus untuk gerakan, berupa hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hizbut Tahrir menyerukan Islam sebagai qiyadah fikriyah (kepemimpinan berfikir), yang melahirkan peraturan-peraturan, yang dapat memecahkan berbagai problematika manusia secara keseluruhan, baik itu problematika dalam bidang politik, ekonomi, budaya, kemasyarakatan dan lain-lain.[10]

Berbeda dengan Hizbut Tahrir, sebagian umat Islam melihat bahwa dilema yang dialami dunia Islam pada zaman ini bukan karena tidak adanya dakwah keluar dan bukan pula lantaran tidak adanya kemampuan menarik pemeluk-pemeluk Islam yang baru, namun sesungguhnya persoalannya terletak pada berpalingnya umat Islam dari ajaran agamanya.[11] Kemunduran umat Islam ini juga disebabkan oleh penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) sebagaimana yang pernah diisyaratkan Rasulullah.
Menurut pandangan Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, jika persoalan yang dihadapi umat mencakup berbagai aspek, baik akidah, ekonomi, maupun politik, maka perbaikan hendaklah dimulai dari masalah akidah yang merupakan inti dakwah para nabi dan rasul.[12]


[1] Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaah, (Riyadh, Dar Thyyibah: tt), cetakan kedua, hlm. 565-566.
[2] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimintelaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. vi.
[3] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm.13.
[4] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimintelaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan v, hlm. vi-vii.
[5] Syabab Hizbut Tahrir Inggris, Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), cet II, hlm. x.
[6] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul MusliminTelaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. 57-62.
[7] Abul A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), cetakan IV, hlm. 34.
[8] Al-Wa’ie no. 78 tahun VII, Februari 2007, hlm 18.
[9] Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), cetakan II, hlm. 3.
[10] Taqiyyudin An-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008), cetakan IV, hlm. 127.
[11] Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, Derita Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam, (Jakarta: Fadlindo, 2006), cetakan I, hlm. XXXI.
[12] Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Manhaj Da’wah Para Nabi, (Jakarta: GIP, 1987), cetakan I, hlm. 103-104.