Monday, February 26, 2018

RAHASIA KEMENANGAN UMAT ISLAM (Shalat Subuh Berjamaah)


Jika seorang Muslim mau membaca Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah, ia akan mengetahui bahwa shalat Subuh sangat mahal nilainya. Bagaimana tidak, dua rakaat shalat sunah sebelum Subuh saja pahalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya. Lalu, bagaimana dengan pahala shalat Subuhnya? Tentu memiliki pahala dan ganjaran yang jauh lebih besar.
Perhatikan kisah sahabat Khalid bin Walid yang tidak mau memulai perang kecuali setelah melaksanakan shalat Subuh. Hal itu ia lakukan agar tidak tertinggal shalat Subuh. Ia sangat paham bahwa shalat subuh memiliki keutamaan yang begitu besar bagi umat Islam.
Umar bin Khatab berkata, Sungguh, ikut serta dalam shalat Subuh berjamaah itu  lebih baik bagi saya dari pada shalat malam.
Anas bin Malik selalu menangis manakala ia mengingat penaklukan Tastar. Tastar adalah satu kota benteng di Persia yang dikepung kaum muslimin genap satu tahun setengah, hingga akhirnya ditaklukan kaum muslimin, dan tercapailah kemenangan yang besar. Peperangan ini  tergolong peperangan yang sangat berat yang dirasakan kaum muslimin. Mengapa Anas bin Malik menangis?
Benteng Tastar baru bisa diterobos menjelang Shalat Fajar. Pasukan Islam menerobos masuk benteng, kemudian terjadilah peperangan sengit antara 30.000 pasukan muslimin dengan 150.000 pasukan Persia. Peperangan berlangsung sangat sengit. Pasukan muslimin sempat terdesak. Suasana sangat genting, kritis, dan sangat berbahaya.

  
          Akhirnya dengan karunia Allah kaum muslimin menang. Mereka menang gemilang atas musuh, kemenangan yang tercapai beberapa saat setelah terbit matahari. Saat itu, kaum muslimin baru menyadari di hari yang sangat menakutkan itu, ternyata shalat Subuh sudah lewat!
Dalam kondisi yang begitu rawan, dentingan suara pedang mengintai batang leher, membuat kaum muslimin tidak sanggup melaksanakan Shalat Subuh pada waktunya. Anas pun menangis karena pernah tertinggal shalat Subuh, meski hanya sekali sepanjang hidupnya. Dia menangis, kendati dimaafkan. Pasukan muslimin yang sibuk berperang itu juga dimaafkan. Mereka sibuk dengan jihad yang merupakan puncak Islam, namun yang mereka tinggalkan merupakan sesuatu yang sangat berharga!
Anas berkata, Buat apa Tastar? Sungguh shalat Subuh telah berlalu dariku. Sepanjang usia, aku tidak akan bahagia seandainya dunia diberikan kepadaku sebagai ganti shalat ini!
Dari sini kita tahu rahasia kemenangan mereka.Jika kamu menolong (agama) Allah, maka ia pasti akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad :7)
Jika ini merupakan salah satu penyebab datangnya kemenangan, maka bagaimana mungkin Allah akan menolong suatu kaum yang melalaikan kewajiban shalat Subuh? Demi Allah, ini tidak akan mungkin terjadi.
Duhai seandainya umat Islam sekarang ini seperti sahabat Anas yang selalu mengoreksi dirinya dalam setiap waktu shalat. Pasti mereka akan mendapatkan kemenangan. 
Sungguh Allah akan menolong orang yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa.” (Al-Hajj : 40)
Seorang penguasa Yahudi pernah berkata, “Kami baru takut terhadap umat Islam jika mereka telah melaksanakan Shalat Subuh seperti melaksanakan Sholat Jum'at.”
Link Kajian KLIK: https://www.youtube.com/watch?v=dovV48_S5TY



Wednesday, February 21, 2018

KONSEP KHILAFAH DALAM ISLAM



Dalam khazanah keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i.  Al-Qur’an menyebutkan:
 
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30).

Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya bisa bersepakat dalam satu kesepakatan demi terlaksananya hukum-hukum kekhalifahan.[1]

Allah juga berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi….” (An-Nur: 55)

Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.[2]
Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.  
Dalam khazanah Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan (imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab Al-Imarah.
Adapun secara etimologis (lughawi), kata khilafah berasal dari kata dasar khalafa. Dalam kamus Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, kata ini memiliki beberapa arti, antara lain: menggantikan, datang sesudahnya, menyusul, menyelisihi, atau deviasi dalam pendapat, menempati tempatnya, dan anak turun atau keturunan.[3]
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, khilafah artinya adalah al-imarah dan al-imamah (kepemimpinan). Adapun khalifah adalah as-sulthan al-a’dham (pemimpin tertinggi).[4] Kata khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya.[5]
Adapun definisi khilafah secara istilah, menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.[6]
Sementara itu, dalam sejarah Islam istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah. Khilafah adalah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata khilafah bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan, atau isntitusi pemerintahan dalam sejarah Islam.[7]
Ada beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah. Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?
 Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi Allah,  jika kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”[8] 

Diriwayatkan juga dari Ali, ia berkata:
“Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang lurus.’”[9] 

Keterangan dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.[10]


[1] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm 26-27.
[2] Abul A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), cetakan IV, hlm. 169.
[3] Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, (Beirut: Darul Masyriq, 2002), cetakan XXXIX, hlm. 192.
[4] Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo: Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972), juz I, cetakan III, hlm. 260.
[5] Ibnul Manzhur, Lisan Al-Arab, vol IX, Dar Shair, Beirut, 1968/1396, hlm. 83 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43.
[6] Abdurrahaman Ibnu Khaldun, Muqadimat, Dar Al-Fikr, t,tp, t.t, hlm 134 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 44.
[7] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43-44.
[8] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 18.
[9] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.
[10] Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.

8 UNSUR PERSATUAN UMAT ISLAM



Kepemimpinan dalam Islam (kekhilafahan) adalah pondasi yang mengokohkan prinsip-prinsip agama dan mengatur kepentingan-kepentingan umum hingga urusan rakyat berjalan dengan normal. Menurut Ad-Dumaiji,  kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat Islam, hanya dapat diraih dengan cara kembali berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan khilafah Islamiyah yang akan menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.[1]
Hilangnnya sistem khilafah setelah berumur 1300 tahun, merupakan pukulan politik bagi kaum Muslim.[2] Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.[3]
Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja sekuler.[4]
Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang mengancam. Di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama dengan umat dan bangsa lain. Invasi militer terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti yang tak terbantahkan.
Hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang efektif.[5]
Selain itu, khilafah atau imamah (kepemimpinan) merupakan salah satu unsur terpenting kesatuan umat Islam. Menurut Hussain Ali Jabir, unsur-unsur kesatuan umat Islam yang terpenting ialah:
1.      Kesatuan akidah.
Umat Islam mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah secara ikhlas. Siapa yang tidak mengucapkannya, maka tidak termasuk bagian umat ini.
2.      Kesatuan ibadah.
Ibadah yang diwajibkan Allah kepada umat Islam adalah satu. Setiap Muslim diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum pada bulan Ramadhan setiap tahun, zakat apabila sudah mencapai nishab, dan kewajiban-kewajiban lain dalam Islam.
3.      Kesatuan adat dan perilaku.
Setiap Muslim mempunyai keteladanan yang baik pada diri Rasulullah. Ini menumbuhkan kesatuan perilaku dan akhlak karena kaum Muslim dituntut untuk meneladani Rasulullah. 
4.      Kesatuan Sejarah.
Seorang Muslim tidak terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu dan hanya sejarah Islamlah yang menjadi ikatan dan kebanggaannya.
5.      Kesatuan bahasa.
Merupakan suatu yang alami jika bahasa Arab menjadi salah satu faktor pemersatu umat Islam. Umat Islam dituntut agar memahami Islam dan mengamalkannya.
6.      Kesatuan jalan.
Sesungguhnya jalan kaum Muslim adalah satu, yaitu jalan para nabi dan rasul sebagaimana disebutkan dalam Al-Fatihah: 6–7. Inilah jalan yang akan mengantarkan ke surga.
7.      Kesatuan dustur.
Sumber undang-undang (dustur) umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Kaum Muslim dilarang mengambil rujukan untuk menata dan mengatur gerakan mereka, kecuali dari apa yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul-Nya.
8.      Kesatuan pimpinan
Umat Islam sepakat bahwa pimpinannya yang pertama adalah Rasulullah, kemudian para khalifahnya yang terpimpin. Masing-masing mereka menjadi pemimpin pada zamannya. Tidak ada kepemimpinan umat Islam lebih dari seorang khalifah. Sebab, kesatuan pimpinan merupakan simbol persatuan, kekuatan tubuh, dan kesatuan panjinya. Dengan mengangkat seorang imam untuk mengurusi persoalan umat, maka umat Islam akan mencapai kesatuan, kekuatan, dan kekukuhan bangunannya.[6]


[1] Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah Al-Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaah, (Riyadh, Dar Thyyibah: tt), cetakan kedua, hlm. 565-566.
[2] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimin; telaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. vi.
[3] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm.13.
[4] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimin; telaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan v, hlm. vi-vii.
[5] Syabab Hizbut Tahrir Inggris, Bagaimana Membangun Kembali Negara Khilafah, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), cet II, hlm. x.
[6] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin, Telaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. 57-62.