Wednesday, February 21, 2018

KONSEP KHILAFAH DALAM ISLAM



Dalam khazanah keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i.  Al-Qur’an menyebutkan:
 
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30).

Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya bisa bersepakat dalam satu kesepakatan demi terlaksananya hukum-hukum kekhalifahan.[1]

Allah juga berfirman:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi….” (An-Nur: 55)

Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.[2]
Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.  
Dalam khazanah Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan (imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab Al-Imarah.
Adapun secara etimologis (lughawi), kata khilafah berasal dari kata dasar khalafa. Dalam kamus Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, kata ini memiliki beberapa arti, antara lain: menggantikan, datang sesudahnya, menyusul, menyelisihi, atau deviasi dalam pendapat, menempati tempatnya, dan anak turun atau keturunan.[3]
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, khilafah artinya adalah al-imarah dan al-imamah (kepemimpinan). Adapun khalifah adalah as-sulthan al-a’dham (pemimpin tertinggi).[4] Kata khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang menggantikan orang lain sebagai penggantinya.[5]
Adapun definisi khilafah secara istilah, menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.[6]
Sementara itu, dalam sejarah Islam istilah khilafah adalah sebutan untuk masa pemerintahan khalifah. Khilafah adalah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattab dan seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam konteks ini, kata khilafah bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu pemerintahan, atau isntitusi pemerintahan dalam sejarah Islam.[7]
Ada beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah. Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?
 Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi Allah,  jika kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”[8] 

Diriwayatkan juga dari Ali, ia berkata:
“Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang lurus.’”[9] 

Keterangan dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.[10]


[1] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm 26-27.
[2] Abul A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1995), cetakan IV, hlm. 169.
[3] Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, (Beirut: Darul Masyriq, 2002), cetakan XXXIX, hlm. 192.
[4] Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo: Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972), juz I, cetakan III, hlm. 260.
[5] Ibnul Manzhur, Lisan Al-Arab, vol IX, Dar Shair, Beirut, 1968/1396, hlm. 83 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43.
[6] Abdurrahaman Ibnu Khaldun, Muqadimat, Dar Al-Fikr, t,tp, t.t, hlm 134 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 44.
[7] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43-44.
[8] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 18.
[9] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.
[10] Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.

No comments: