Dalam khazanah
keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan
pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i. Al-Qur’an menyebutkan:
"Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
(Al-Baqarah: 30).
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya
mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya
bisa bersepakat dalam satu kesepakatan demi terlaksananya hukum-hukum
kekhalifahan.[1]
Allah juga berfirman:
“Dan Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan
amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi….” (An-Nur:
55)
Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan
secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan
istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam
hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah
dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok
tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.[2]
Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian
bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan
diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.
Dalam khazanah
Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar
dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan
(imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab
Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan
kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam,
sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab
Al-Imarah.
Adapun
secara etimologis (lughawi), kata khilafah berasal dari kata dasar khalafa.
Dalam kamus Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, kata ini memiliki beberapa
arti, antara lain: menggantikan, datang sesudahnya, menyusul, menyelisihi, atau
deviasi dalam pendapat, menempati tempatnya, dan anak turun atau keturunan.[3]
Dalam Al-Mu’jam
Al-Wasith, khilafah artinya adalah al-imarah dan al-imamah
(kepemimpinan). Adapun khalifah adalah as-sulthan al-a’dham (pemimpin
tertinggi).[4]
Kata khilafah diturunkan dari kata khalafa, yang berarti seseorang yang
menggantikan orang lain sebagai penggantinya.[5]
Adapun
definisi khilafah secara istilah, menurut Ibnu Khaldun adalah tanggung jawab
umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan
dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan
akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus
berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat
(Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.[6]
Sementara
itu, dalam sejarah Islam istilah khilafah adalah sebutan untuk masa
pemerintahan khalifah. Khilafah adalah sebutan bagi suatu pemerintahan pada
masa tertentu, seperti khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattab dan
seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang diamanahkan kepada mereka. Dalam
konteks ini, kata khilafah bisa mempunyai arti sekunder atau arti bebas, yaitu
pemerintahan, atau isntitusi pemerintahan dalam sejarah Islam.[7]
Ada
beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat
Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah.
Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat
muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?
Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia
berkata:
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi
Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya,
“Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab,
‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin
Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi
Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal.
Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah
yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita,
maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan
menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi
Allah, jika kami minta kepada Rasulullah
lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita.
Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”[8]
Diriwayatkan
juga dari Ali, ia berkata:
“Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah,
siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu
menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang
terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu
menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang
yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan
hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat
kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi
petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang
lurus.’”[9]
Keterangan
dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau
khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang
khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di
Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.[10]
[1] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju Tegaknya Khilafah,
(Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm 26-27.
[2] Abul A’la Al-Maududi, Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan,
1995), cetakan IV, hlm. 169.
[3] Al-Munjid fil Lughah wal A’lam, (Beirut: Darul Masyriq, 2002), cetakan XXXIX,
hlm. 192.
[4] Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Kairo:
Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah, 1972), juz I, cetakan III, hlm. 260.
[5] Ibnul Manzhur, Lisan Al-Arab, vol IX, Dar Shair, Beirut, 1968/1396, hlm. 83
dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2002),
cetakan V, hlm. 43.
[6] Abdurrahaman Ibnu Khaldun, Muqadimat, Dar Al-Fikr, t,tp, t.t, hlm
134 dalam Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta:
Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 44.
[7] Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta:
Rajawali Pers, 2002), cetakan V, hlm. 43-44.
[8] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij
Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah
dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 18.
[9] Musnad Imam Ahmad jilid IV No. 2374, tahqiq dan takhrij
Syekh Ahmad Syakir, dan jilid V No. 299 dengan sanad sahih dalam Ali As-Salus, Imamah
dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997), cetakan I, hlm. 19.
[10] Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah, (Jakarta: GIP,1997),
cetakan I, hlm. 19.
No comments:
Post a Comment