Thursday, December 24, 2009

AWAL SEBUAH PERUBAHAN

Oleh: Fahrur Mu’is, S.Pd.I (ch) MA.

Bila kita amati, kondisi umat Islam sekarang ini mengalami multi krisis, baik dalam sisi politik, sosial, ekonomi, pendidikan, hukum, maupun pemerintahan. Akibat jauh dari ajaran agama, sedikit demi sedikit penyakit wahn (cinta dunia dan benci mati) menyerang mereka. Sehingga penyimpangan terhadap ajaran Islam, merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya maupun masyarakat biasa.

Oleh karena itu, wajar jika umat Islam yang sadar terhadap realita jahiliyah yang menyeliputi umat ini, menginginkan sebuah perubahan yang positif. Pertanyaannya, dari mana perubahan itu dimulai? Mari kita kaji bersama.

Sebenarnya, di balik multi krisis dan berbagai kelemahan yang dialami oleh umat, ada sebuah pertanyaan yang harus kita jawab. Faktor apa yang membuat umat ini bisa terpuruk? Siapa pun bisa mendiagnosa: bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan umat ini. Ada arus penyimpangan bersama yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat. Khususnya, setelah mereka meninggalkan dua pegangan yang ditinggalkan Nabi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengkajian terhadap kondisi masyarakat menyimpulkan bahwa umat ini sedang lemah. Dan umat yang lemah dari dalam, mustahil berhasil menghadapi bahaya yang menyerang dari luar. Dengan demikian, upaya yang mungkin dilakukan dalam keadaan lemah adalah mengatasi kelemahan itu sendiri. Ketika umat telah sembuh dari penyakit-penyakit yang dideritanya, maka upaya yang mustahil tadi berubah menjadi normal dan mungkin diselesaikan.


Perubahan positif dan negatif

Al-Qur’an memberitahukan kepada kita tentang dua perubahan, yaitu perubahan yang positif dan negatif. Untuk menunjukkan perubahan yang positif, Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri….” (Ar-Ra’d: 11).

Suatu masyarakat yang memiliki sifat-sifat tercela takkan berubah keadaanya jika mereka tidak mau mengubah sifat jelek yang melekat pada dirinya. Pun demikian, pribadi yang malas belajar tidak bisa dengan sendirinya menjadi pribadi yang pintar dan berwawasan luas. Al-Qur’an menegaskan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Pemikiran dan kebiasaan negatif yang ada pada diri kita harus kita rubah dengan pemikiran dan kebiasaan yang benar. Masyarakat mana pun yang berusaha mengubah kemaksiatan yang ada menjadi ketaatan, maka Allah akan mengubah kejelekan mereka menjadi kebaikan dan kebahagiaan.

Berkaitan dengan perubahan yang negatif, Al-Qur’an menegaskan, “(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri….” (Al-Anfal: 53).

Syaikh As-Sa’di dalam Taisiri Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Manan menjelaskan bahwa Allah menghilangkan nikmat suatu kaum karena dosa-dosa mereka. Allah tidak akan mengubah nikmat suatu kaum, baik nikmat agama maupun dunia, jika mereka semakin bersyukur. Namun jika nikmat tersebut digunakan untuk kemaksiatan, maka Allah akan mengubah keadaan mereka menjadi umat yang celaka.
Semua nikmat Allah yang diberikan pada suatu umat tak akan hilang, jika umat tersebut bisa mempertahankan kualitas dirinya.

Awal sebuah perubahan

Penjelasan Al-Qur’an di atas menggambarkan bahwa perubahan positif atau negatif, berawal dari diri manusia. Manusia akan baik jika kehidupannya diisi dengan amal saleh. Sebaliknya, nasib manusia akan terpuruk jika aktivitas hidupnya dipenuhi dengan kemaksiatan kepada Allah. Fenomena perubahan ini juga sesuai dengan sabda Nabi, “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh anggota tubuh. Namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR Muslim).

Kata hati (Al-Qalb) digunakan dalam hadis ini karena memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan pikir dan kekuatan kemauan. Dua kekuatan tersebut bergabung sehingga melahirkan dua mata rantai perilaku, yaitu pikiran dan kemauan sebelum melahirkan mata rantai ketiga yang berupa pencapaian praktis melalui organ-organ tubuh yang berada di bagian luar.

Dari dalil-dalil tersebut, dapat kita simpulkan bahwa untuk melakukan perubahan yang positif dalam suatu masyarakat, kita harus melakukan hal-hal sebagai berikut.

1.Perubahan harus dimulai dari seluruh muatan yang ada pada diri manusia lalu disusul dengan perubahan pada bidang sosial, ekonomi, politik, militer, manajemen pemerintahan, hukum, dan seluruh bidang kehidupan yang bersifat eksternal. Muatan-muatan diri manusia memiliki pengertian yang sangat luas. Ia meliputi pemikiran, nilai, budaya, kebiasan, dan tradisi.

2.Perubahan menuju keadaan lebih baik atau lebih buruk akan terjadi jika dilakukan oleh masyarakat secara kolektif—bukan oleh individu-individu—ketika mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka. Pengaruh yang timbul dari perubahan kolektif/jama’i itu mewarnai corak kehidupan masyarakat tersebut dalam berbagai bidang kehidupan.

3.Perubahan akan berhasil jika masyarakat memulai perubahan terhadap apa yang ada pada diri mereka. Ketika mereka mampu melakukan perubahan pada pendidikan dan pemikiran dengan baik, maka akan disusul dengan perubahan yang efektif dalam bidang-bidang yang lain.

Semoga pemaparan ini dapat mengarahkan kita dalam memulai sebuah perubahan yang positif terhadap keadaan masyarakat ini. Maka, sudah semestinya kita jujur menilai keadaan kita: mana pemikiran, nilai, dan tradisi yang harus kita pertahankan dan mana pemikiran, nilai, dan tradisi yang harus kita rubah. Wallahu ‘alam.

Wednesday, May 27, 2009

ILUSI PENOLAK NEGARA ISLAM (Kritik Terhadap Buku Ilusi Negara Islam).

Dewasa ini, umat Islam kembali ‘diuji’ dan sekaligus diteror dengan pemikiran nyleleh dalam buku Ilusi Negara Islam. Buku setebal 322 halaman tersebut diterbitkan oleh Gerakan Bineka Tunggal Ika, the Wahid Institut, dan Maarif Institut. Tak tanggung-tanggung, di sampul belakang tertulis bahwa buku tersebut merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun.
Nah, tulisan ini akan mengkritisi pemahaman yang menyatakan bahwa negara Islam atau khilafah merupakan sebuah ilusi atau bahkan bahaya yang perlu diwaspadai bersama.

Keresahan Kaum Liberal

Penggunaan judul Ilusi Negara Islam merupakan cermin kerisauan yang dialami orang-orang liberal. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ilusi artinya sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan; pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; tidak dapat dipercaya; palsu. Sementara, negara ialah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Dan, Islam di sana diartikan agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad, berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah.

Tentu saja, melihat pengertian tersebut, siapa saja yang melek sirah nabawi sudah pasti dapat memahami bahwa negara Islam bukanlah ilusi. Ia merupakan fakta sejarah yang tak terbantah.

Bila ditilik dari ranah akademik, memang disebutkan ada tiga klasifikasi konsepsi negara Islam menurut pakar Islam kontemporer. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Golongan ini menyatakan bahwa bahwa dalam bernegara, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, tetapi sebaliknya hendaknya kembali ke sistem ketatanegaraan Islam (khilafah).

Golongan kedua berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik. Menurut golongan ini, Nabi Muhammad tidak pernah bertugas dan atau bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara.

Golongan ketiga perpendapat bahwa Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kendatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.

Jelas sekali, buku yang—dieditori oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur), diprologi oleh Syafi’i Maarif, dan diepilogi oleh Mustofa Bisri—membawa nama besar kedua ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) tersebut menafikan pendapat yang pertama. Tentu saja, cara tersebut merupakan pemaksaan pendapat dan pembodohan terhadap umat. Ditambah lagi, aroma adu domba terhadap umat (NU dan Muhammadiyah Vs Wahabi/Salafi, Ikhawanul Muslim/PKS, dan Hizbut Tahrir) sangat tajam menusuk hidung sehingga menghilangkan aroma ‘penelitian’ itu sendiri.

Kedudukan Khilafah

Orang-orang Barat menyelidiki dengan penuh seksama tentang apa yang menjadi rahasia kejayaan Islam dan eksistensinya di permukaan bumi. Sampai mereka berkesimpulan bahwa ada beberapa perkara yang dapat menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia, yaitu Kakbah, Masjid Nabawi, dan Jihad fi sabilillah. Selanjutnya mereka mengatakan, “Jika demikian halnya maka kita perlu memfokuskan perhatian kita pada persoalan-persoalan di atas. Fokus kita yang pertama adalah “meruntuhkan khilafah”, oleh karena keberadaan khilafah bagi kaum muslim ibarat menara api yang memberikan penerang di malam gelap gulita.”

Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.

Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja sekuler.

Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang mengancam. Lebih parah lagi, di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama dengan umat dan bangsa lain. Penyerangan terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti yang tak terbantahkan. Ditambah lagi, hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang efektif.

Dasar Negara Khilafah

Dalam khazanah keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i.
Al-Qur’an menyebutkan:
     
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30).
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya bisa bersepakat dalam satu kesepakatan dam terlaksananya hukum-hukum kekhalifahan.
Allah juga berfirman:
       •       
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi….” (An-Nur: 55)

Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.

Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.

Dalam khazanah Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan (imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab Al-Imarah.

Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.

Ada beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah. Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?

Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi Allah, jika kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”

Diriwayatkan juga dari Ali, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang lurus.’”

Keterangan dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.

Uraian di atas, kiranya cukup untuk menjelaskan konsep negara Islam dalam Islam. Lalu, manakah yang perlu dipersoalkan? Anehnya, orang-orang liberal yang sering menyuarakan kebebasan dan anti otoritas tampaknya tak mau melihat orang lain bebas memilih pendapat yang sahih.

METODE BERPIKIR ISLAMI

MUKADIMAH
Secara bahasa, berpikir ialah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Berpikir merupakan cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Karena kemampuan berpikir inilah manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an (yang artinya), "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan."

Tidak hanya itu, bila kita kaji lebih dalam, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Mengapa? Sebab, dengan kemampuan berpikir manusia dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu.

Dialog tersebut dapat kita simak dari ayat-ayat berikut: "Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.' Mereka menjawab, 'Mahasuci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan'."

Penghargaan Allah kepada manusia tidak berhenti di situ. Saking besarnya, Allah sampai memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam. Bahkan, yang menolak perintah sujud itu dicap sebagai kafir. Adakah pemuliaan yang melebihi penghargaan yang luar biasa itu? Persoalannya, berpikir yang bagaimanakah yang layak mendapatkan penghargaan? Tulisan ini bermaksud untuk menjabarkannya.


Bagaiman Kita Berpikir Islami?

Islam memandang berpikir sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berpikir akan mengantarkan manusia untuk menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifah (pengelola) di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah dengan beribadah. Al-Qur'an juga berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran."

Dalam pandangan Islam, keilmuan dengan ketakwaan memiliki hubungan yang sangat erat. Semakin dalam ilmu seseorang maka akan semakin takut kepada Allah. Al-Qur'an menyebutkan, "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya." Oleh karena itu, proses berpikir yang tidak mengantarkan pada derajat takwa, sejatinya hanya berputar dalam kecacatan intelektual. Dan karena berpikir adalah suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik muslim atau nonmuslim, yang akan menghasilkan kesimpulan yang beragam, maka diperlukan suatu kerangka yang dapat mengarahkan manusia dalam berpikir untuk mencapai sasarannya. Sebab, tanpa rumusan pola itu, manusia akan terperangkap pada cara berpikir yang lepas kendali. Persoalannya, tidak menemukan kebenaran itu dalam Islam identik dengan kesesatan. Allah berfirman (yang artinya), "Adakah di luar kebenaran itu kalau bukan kesesatan?"

Al-Qur'an dan hadits Nabi telah memberikan beberapa kaidah berpikir yang mengantarkan seseorang berpikir secara proporsional dan benar. Metode tersebut adalah sebagai berikut.

a. Wahyu adalah satu-satunya sumber akidah dan syariah
Setiap muslim diminta agar menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber dalam konsep dan praktik sekaligus, tanpa memilah-milahnya. Kita hendaknya mengajukan pertanyaan kepada Al-Qur'an, kemudian mendengar jawabannya dari Allah. Mencari jawaban itu hanya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah saja, bukan dari sumber-sumber lainnya.

Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai wahyu dari langit adalah hakikat yang sudah merupakan aksioma dan menjadi prinsip Islam. Sayangnya banyak kaum intelektual yang melangkahi prinsip ini, sengaja atau tidak. Mereka cenderung menggunakan sumber-sumber produk manusia, di samping sumber-sumber utama Islam. Mereka juga menyimpan seperangkat pemikiran, teori, dan hipotesa sebagai peninggalan peradaban kuno yang cenderung berlainan dengan konsep Islam. Kondisi seperti ini sudah tentu tidak sejalan dengan kaidah menempatkan wahyu sebagai satu-satunya sumber dalam akidah, hukum, dan masalah metafisik.

Seharusnya sikap muslim yang mencari kebenaran, ketika membaca Al-Qur'an dia mengosongkan pikirannya dari seluruh jenis teori dan konsep yang dihasilkan manusia tanpa dasar wahyu.

b. Hubungan antara wahyu, akal, dan metode interpretasi rasional
Kaidah ini berkaitan dengan penempatan posisi akal dan perannya dalam menangkap pesan (teks) Ilahi. Pada prinsipnya, Islam telah menetapkan adanya dua alam yang harus dibenarkan manusia sebagi prasyarat diterima keislamannya. Kedua alam itu ialah alam ghaib dan alam nyata.

Spesifikasi alam ghaib ialah berada di luar batas ruang dan waktu. Dua kawasan yang merupakan jalur operasi akal manusia. Alam gaib, seperti Allah, malaikat, langit, jin, akhirat adalah kawasan yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia tidak bakal mengetahuinya secara rinci dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Fungsi akal di sini sekadar menerima informasi, memahami, dan membenarkan. Adapun alam nyata, objek dan komponennya berada dalam batas ruang dan waktu. Akal manusia bertugas menyelidikinya untuk sampai pada hakikat.

Atas dasar ini, kebenaran di sekitar alam gaib tidak dapat didiskusikan secara rasional dan menggunakan logika, tetapi kita terima melalui teks secara apa adanya. Peran akal berada pada batas pengklasifikasian, penempatan, dan penetapan, agar keluar dengan kesimpulan yang general dan sempurna serta tidak bertentangan dengan akal dan logika.

Dalam Islam dikenal dua kategori hakikat: hakikat tawqifiyah yang berskala gaib dan didapatkan melalui informasi Al-Qur'an dan As-Sunnah. Posisinya berada di atas akal manusia. Dan, hakikat tawfiqiyah yang sesungguhnya menjadi objek dan lapangan akal manusia.

Kekeliruan banyak orang, seperti perkembangan filsafat Yunani, mencampuradukkan dua kategori tersebut, sehingga membebankan kepada akal hal-hal yang sebenarnya berada di luar kemampuannya. Manusia juga sering tertipu ketika akal mampu memerankan fungsinya secara baik dan prima pada ruang "tawfiqiyah", mengira bahwa akal juga mampu menembus wilayah "tawqifiyah", atau setidak-tidaknya tergiur untuk menerobos ke kawasan itu.

Pada zaman modern ini, kita perhatikan akal manusia mampu menemukan hal-hal menakjubkan di alam materi. Lalu kita mengira bahwa akal yang selama ini mampu menciptakan pesawat, roket, menghancurkan atom, membuat bom hidrogen, menjelajah ruang angkasa, juga memiliki kemampuan untuk merumuskan peraturan yang menata hidup manusia. Kita lupa bahwa keberhasilan yang diraih akal selama ini ketika ia beroperasi pada jalurnya secara natural, karena memang ia dipersiapkan untuk itu. Akan tetapi, sekiranya akal beroperasi di jalur "alam manusia", berarti ia beroperasi dalam alam yang tidak mengenal batas dan amat kabur. Akibatnya, akal menemukan jalan buntu dan keluar dengan konklusi yang keliru.

c. Mencari kebenaran dengan sikap jernih

Yang dimaksud di sini ialah sikap objektif sebagai pencari kebenaran dari wahyu Al-Qur'an, bukan dengan tendensi tertentu, seperti mencari-cari dalil untuk melemahkan pendapat lawan. Hakikat Al-Qur'an adalah parameter untuk mengukur kebenaran suatu paham, teori, dan filsafat-filsafat yang ada, oleh karena itu harus diketahui secara utuh dan dengan cara langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebaliknya, perjalanan yang ditempuh pemikiran manusia untuk sampai kepada kebenaran amat lamban, sebab ia tidak mampu menemukan kebenaran secara spontan tanpa bantuan kekuatan lain.

d. Kebenaran dalam Al-Qur'an senantiasa paralel

Yang dimaksud di sini ialah keharusan membandingkan antara kesimpulan yang didapat dari Al-Qur'an--melalui metode deduktif--dengan kebenaran-kebenaran Al-Qur'an yang mutlak. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kebenaran dalam Al-Qur'an tidak akan mengalami kontradiksi dengan sesamanya, karena ia berasal dari sumber yang sama. Jika ditemukan adanya kelainan, secara otomatis kesimpulan yang diperoleh adalah keliru dan ditolak. Hal ini didasarkan pada dua ketentuan yang aksiomatik dan disepakati oleh kaum muslimin dan didukung oleh metodologi ilmiah dalam kritik sejarah, yaitu sebagai berikut. 1. Semua ayat-ayat Al-Qur'an berasal dari Allah SWT, dan Allah menjanjikan pemeliharaan mutlak atas kesucian Al-Qur'an. 2. Al-Qur'an secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara sebagian dengan bagian lainnya bersesuaian dan tidak ditemui kontradiksi.

e. Bersikap Jujur, tanpa Prakonsepsi

Peneliti Al-Qur'an dituntut agar bersikap jujur dan ikhlas untuk mencri kebenaran murni. Peneliti hendaknya membebaskan dirinya dari pengaruh hawa nafsu, kepentingan, fanatisme kelompok, dan paham yang dianutnya.

Hal ini memang berkaitan kepada individu peneliti dan mentalitas serta moralitasnya. Akan tetapi, manusia adalah satu kesatuan. Memilah-milah antara sarana dan kemampuannya dalam memberi interpretasi atas aktivitas manusia adalah cara yang keliru. Tidaklah semua orang yang membaca Al-Qur'an akan mendapat petunjuk. Bahkan, ada yang membacanya tetapi disesatkan oleh Allah. Lalu, siapa yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat? Jawabannya dari Al-Qur'an itu sendiri.

Menurut Al-Qur'an, motivasi juga memegang peran penting dalam menerima kebenaran atau menolaknya. Allah memberikan gambaran, perumpamaan, peringatan, dan janji-janji agar dipikirkan, tetapi orang-orang kafir justru semakin menyimpang dari jalan yang benar.

Pemikiran Islam di Tengah Pemikiran-Pemikiran Lainnya

Jika kita mencari perumpamaan antara pemikiran Islam dengan pemikiran produk manusia lainnya, ibarat bunga mawar yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam. Setidaknya ada dua filsafat yang saling kontradiktif dalam ajarannya, sementara posisi Islam berada di tengah dan berjalan secara seimbang. Kedua filsafat itu ialah materialisme dan spiritualisme.

a. Paham Materialisme

Jika kita memperhatikan sistem yang berlaku sekarang, kebanyakan berdiri di atas paham "materialisme", suatu paham yang mengumandangkan "sekularisme" dan menyanjung-nyanjungnya. Memang penerapan paham ini di sebagian negeri masih memberikan ruang bagi "agama", tetapi ia menempatkan agama pada posisi yang sangat terbatas. Sementara, di negara-negara tertentu agama benar-benar diperangi dan diharamkan.

Sesungguhnya materialisme adalah paham yang dasar dan akarnya sudah sangat jauh ditelan sejarah, tetapi muncul ke permukaan dengan nama dan simbol yang berbeda-beda, namun akarnya sama, yaitu mementingkan materi dan menjadikannya sebagai dasar dan pijakan, baik mengakui posisi agama ataupun mengingkarinya secara total.

Al-Qur'an sudah lama mengidentifikasi paham ini dengan mengatakan, "Kehidupan kami tidak ada lain dari kehidupan dunia, kami mengalami mati dan hidup dan kami tidak akan dibangkitkan lagi." (Al-Mu'minun: 37).

Kehidupan yang didasarkan atas paham ini akan mengalami tantangan-tantangan yang cukup berat, karena tuntutan manusia yang cukup mendesak pada pemenuhan kebutuhan rohani dan alam ghaib, sebagaimana kebutuhan fisik dan materi. Kenyataan yang dialami umat manusia belakangan ini sebenarnya sudah cukup menjadi "jawaban" bagi mereka yang memandang hidup ini hanya materi, dan mereka membangun teori, sikap, dan kehidupannya atas dasar materi murni. Tidak ada kondisi di mana manusia dalam keadaan paling sengsara dari kondisi kehidupan materialis.

b. Tenggelam dalam Spiritualisme (Pola Hidup Kerahiban)

Paham ini kebalikan dari paham pertama, dan sama-sama tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi manusia. Bagi penganut paham ini, penyiksaan diri, menjauhi kehidupan materi adalah ukuran kebahagiaan seseorang.

Dalam sejarah umat manusia, filsafat ini ditampilkan oleh pemuka-pemuka agama Nasrani (rahib) yang cenderung hidup menyiksa dirinya untuk meraih ridha tuhannya. Sangat mengerikan jika kita mendengar gaya hidup para rahib itu. Ada di antara mereka yang tidak menyentuh air selama empat puluh tahun, karena menurut keyakinannya bahwa hidup bersih dan rapi dapat mengurangi penghambaan manusia kepada Tuhan. Ada pula yang hidup dan tidur di comberan hingga ulat-ulat menyantapi daging-daging tubuhnya. Ada lagi yang berdiri dengan kaki sebelah selama lima belas tahun. Banyak cerita-cerita aneh yang dilakukan para rahib untuk menjauhi kehidupan.

Dengan demikian, paham yang sesuai dengan fitrah manusia adalah Islam. Islam berada di tengah-tengah dari kedua keadaan yang ekstrem tersebut. Betapa indahnya hidup di bawah naungan Islam yang mencarikan bagi manusia jalan kehidupan yang seimbang di dunia dan selamat di akhirat.

Sumber: Diadaptasi dari Islam dalam Berbagai Dimensi, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 87-97).

Monday, February 2, 2009

PAHAM KALAM ASY’ARIYAH

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu kalam dalam lintasan sejarah Islam, tampaknya tidak bisa terlepas dari peranan kelompok Asy’ariyah. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan Asy’ariyah dalam membendung arus paham Muktazilah sejak awal kemunculannya hingga pada masa-masa berikutnya. Pergolakan antara dua kelompok tersebut terus terjadi baik dalam lingkup kecil maupun besar.

Jika dikelompokkan, pergolakan antara kedua madzhab kalam ini terjadi pada periode yang kedua, yaitu periode perdebatan dalam masalah-masalah akidah. Adapun periode pertama dalam masalah keyakinan ialah periode iman, membenarkan, dan menerima apa yang disampaiakan oleh Rasulullah.
Makalah ini akan lebih memfokuskan pembahasan pada paham kalam Asy’ariyah dan merupakan tulisan yang berada di bawah judul besar Pergolakan antara Asy’ariyah dan Muktazilah.

A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.


Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).

Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.

Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.



2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.

a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.

b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.

c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.

3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.

Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.

4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.

B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH

As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).

Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.

Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”

Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.

Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.

Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:

1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.

Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.

Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').

Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].

"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.

Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.

Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.

Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.

Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.

5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.

Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.

C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.

Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.

Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.

Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1.Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.
2.Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3.Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4.Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5.Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.

Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa.
Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah

Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.


PENUTUP
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa kelompok Asy’ariyah muncul karena ketidakpuasan Abul Hasan Al-Asy’ari terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.

Selanjutnya, pemikiran Asy’ari dilanjutkan dan disebarkan oleh para muridnya. Hanya saja, pemikirannya tersebut tidak diambil seratus persen, tetapi ada yang dibenahi dan dikoreksi. Paham Asy’ariyah yang disebarkan oleh para muridnya, tampaknya bukanlah pemahaman murni Asy’ari pada periode yang ketiga dari perjalanan pemahaman akidahnya. Oleh karena itu, dalam pengertian umum ia tidak bisa disamakan dengan ahlus sunnah wal jamaah.

Adapun pergolakan antara Asy’ariyah dan Muktazilah di antaranya terjadi dalam beberapa permasalahan, seperti Al-Qur’an, sifat Allah, dan status pelaku dosa besar. Semoga pergolakan tersebut dapat semakin mendewasakn umat Islam dalam berpikir dan sekaligus mendorong mereka untuk selalu berpegang pada akidah yang benar, ahlus sunnah wal jamaah.








DAFTAR PUSTAKA
Abu Su’ud. 2003. Islamologi, Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Abul Hasan Al-Asy’ari tt. Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah.

Abul Hasan Al-Asy’ari. 2000. Al-Luma’ fir Rad Ahlul Zaigh wal Bida’. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah.

Abdul Akhir Hammad AL-Ghunaimi. 2001. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah. Solo: Pustaka At-Tibyan.

Ahmad Mahmud Shubhi. 1981. Fi Ilmil Kalam, Dirasah Falsafiah li Ara’il Firaq Al-Islamiyah fi Ushulid Din. Beirut: Darun Nahdhah Al-Arabiyyah.

Fazlur Rahman. 2002. Gelombang Perubahan dalam Islam, Studi tengtang Fundamentalisme Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Jalal Muhammad Abdul Hamid Musa. 1982. Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha. Beirut: Darul Kutub Al-Lubnani.
Richard C. Martin dkk. 2002. Post Muktazilah. Yogyakarta: Ircishaod.

Majalah As-Sunnah edisi 10/I/1415-1994.

Situs Internet:
http://www.almanhaj.or.id/content/962/slash/0
http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/6c21145927-paham-asy039ari.htm
http://andaleh.blogsome.com/2006/03/17/p4/

Monday, January 26, 2009

PENGALAMAN BERJUANG BERSAMA PAK NATSIR

Riwayat Singkat Ahmad Husnan, Lc

Ahmad Husnan dilahirkan di desa Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1940. Ia adalah anak keempat dari pasangan Iman Kurmen dan Saudah. Ia belajar Al-Qur’an dari ayahnya pada malam hari, SD 6 tahun pagi hari dan Madrasah Ibtidaiyah sore hari. PGA negeri 4 tahun di Solo. PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Muallimin Muhammadiyah Payakumbuh Sumbar. UPI dan Pesantren Islam Bangil tahun 1962-1967. Kuliah di Jurusan Syariah Jamiah Islamiyah Madinah tahun 1968-1973 dan di Kairo satu tahun 1974.

Perjuangan dan Organisasi: Sejak umur 12 tahun telah keluar masuk penjara di Delanggu, Klaten, dan Solo karena dituduh terlibat dalam peristiwa 426. Dari situ ia melanjutkan perjuangan di Sumatra bersama Syafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Tahun 1959 menjadi anggota pengurus dewan pemuda Indonesia yang berpusat di Bukittinggi Sumbar. Sedang tahun 1970 menjadi ketua seksi penerangan PPI Komisariat Madinah.

Ia telah melakukan kegiatan dakwah sejak tahun 1985-1962 di Sumatra Barat dan Tapanuli. Selesai dari Madinah dan sepulangnya dari Kairo, ia langsung diserahi menangani DDII perwakilan Jawa Tengah sekaligus menjadi dai Rabithah sejak tahun 1977. Selain itu, ia juga mengajar di beberapa majlis taklim dan menjadi pengasuh di pondok Al-Mukmin Solo. Di samping berdakwah, Ahmad Husnan juga produktif menulis. Hingga sekarang sudah dihasilkan lebih dari 24 buku yang telah beredar. Tulisan-tulisannya terfokus pada dua bagian, yaitu untuk mendalami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta untuk meluruskan atau menanggapi berbagai penyimpangan pikiran para pakar yang dinilai berbahaya dan sesat.
***


Saya mengenal Pak Natsir pada usia 17 tahun. Waktu itu tahun 1957. Tepatnya ketika saya disarankan oleh saudara sepupu saya, pendiri PII, Rusdi Gozali. Dia menyarankan, kalau memang ada jiwa untuk perjuangan, ya sekarang ini Sumatra Barat yang siap. Maka, saya pun memutuskan berangkat ke sana. Di sana saya ditampung oleh orang-orang Masyumi di Bukittinggi untuk selanjutnya saya ke Payakumbuh, sebelum ada PRRI, untuk tinggal di Muallimin. Nah, di situlah saya pertama kali bertemu dengan Pak Natsir. Kata Pak Natsir, “Kalau begitu kamu di sini dulu.”

Kesan pertama saya bertemu dengan Pak Natsir ialah bahwa beliau dianggap sebagai imam dalam perjuangan oleh teman-temannya seperti Syafruddin, Mr. As-Sa’ad, dan Burhanudin Harahap. Segala sesuatu beliau yang menentukan, sekalipun di PRRI beliau hanya menjadi menteri penerangan.

Mulai sejak itu saya sudah berinteraksi dengan Pak Natsir. Waktu itu Pak Natsir menyarankan agar saya menangani Studio karena kekuatannya sama dengan satu devisi. Saya waktu itu bertugas di bidang penerangan.

Saya tidak ingat persis kapan terakhir kali bertemu dengan Pak Natsir. Tapi, yang pasti komunikasi dengan beliau selalu terjalin, baik lewat surat-menyurat maupun dipanggil langsung ke Jakarta.

Selama bersama Pak Natsir, ada pesan-pesan yang selalu saya ingat. Ketika itu saya termasuk salah seorang yang diutus beliau ke Timur Tengah untuk belajar di Universitas Islam Madinah. Beliau waktu itu memberi pesan bahwa saya dan teman-teman adalah duta dari Indonesia. Dua bulan setelah di Madinah, beliau menulis surat kepada saya yang isinya bahwa akan didirikan Dewan Dakwah di Jakarta, dan meminta saya untuk membuka hubungan dengan Timur Tengah serta menjalin hubungan dengan orang-orang di sana yang bisa membantu Dewan Dakwah.

Selama berjuang bersama Pak Natsir, ada hal-hal yang paling berkesan bagi saya. Pertama, Pak Natsir orangnya tegas. Menurutnya, Islam ya Islam. Ia tidak bisa dicampur dengan paham lain di luar Islam. Kedua, beliau adalah satu-satunya tokoh waktu itu yang tetap mempertahankan Islam sebagai dasar Negara. Ini yang membuat saya kagum sekaligus salut kepada beliau. Ketiga, beliau tetap istiqamah dengan Islam. Meskipun dalam parlemen bisa dibilang kalah dan bahkan sempat dipenjara, tapi Pak Natsir tetap kukuh dengan pemikirannya. Keempat, Pak Natsir adalah orang yang mampu menampung segala persoalan sekecil apa pun dan sebesar apa pun. Hal ini sekaligus menunjukkan kebesaran jiwa beliau.

Suatu hari Pak Natsir pernah mendapatkan kiriman uang dari orang-orang yang bersimpati kepadanya. Surat tersebut kemudian diperlihatkan kepada keluarganya. Pak Natsir berkata kepada keluarganya bahwa surat tersebut ditujukan ke Natsir, bukan untuk keluarga Natsir. Oleh karena itu, dana yang dikirimkan lewat surat tersebut berarti untuk Natsir dan umat, bukan untuk keluarga Natsir.

Di antara yang juga paling berkesan bagi saya ialah Pak Natsir tidak pernah membuang-bunag waktu. Meskipun dalam posisi yang susah, Pak Natsir masih bisa mengurus anak buahnya. Misalnya dengan mingirim si fulan untuk belajar ini dan bekerja itu. Saya termasuk orang yang waktu itu dikirim untuk belajar ke pesantren Islam Bangil. Contoh lainnya, ketika Pak Natsir dipenjara, beliau mempergunakannya untuk menulis buku Fikih Dakwah yang banyak mendapatkan pujian dari umat Islam.

Pak Natsir daya tariknya luar biasa. Dalam keadaan terdesak, beliau masih bisa menarik simpati orang lain. Dia juga mampu menyalurkan orang-orang yang sudah tidak bisa bergerak karena adanya tekanan politik waktu itu. Dia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dan selalu berbuat.

Dalam hal ceramah, Pak Natsir ceramahnya begitu tajam dan menusuk hati. Seluruh ucapannya menjadi pegangan umat. Meskipun pidatonya tidak berapi-api seperti pidato Soekarno yang bisa menggerakkan orang, tapi pidato Pak Natsir sangat menusuk hati dan kemudian dijadikan pegangan oleh pendengarnya.

Pak Natsir memiliki harapan besar. Menurutnya segala sesuatu tidak bisa terlepas dari Islam. Pak Natsir ketika itu berusaha membangkitkan dari berbagai sisi. Meskipun tidak langsung angkat senjata, Pak Natsir tetap berjuang melalui kelihaian dan kecerdasan. Dalam perjuangan Pak Natsir menampilkan pemikiran yang akomodatif terhadap keinginan semua orang sehingga membuat beliau disegani oleh semua orang.
Secara umum saya ingin melanjutkan perjuangan Pak Natsir karena pada dasarnya orientasi dakwahnya sama. Tapi, saya sadari bahwa saya memiliki beberapa keterbatasan. Jadi, yang terpenting bagaimana dalam berdakwah ini saya tidak keluar dari tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, saya juga aktif menulis, mengurusi Dewan Dakwah perwakilan Jawa Tengah, berdakwah, mengasuk pesantren, dan membuat majlis taklim di rumah yang biasanya digunakan kajian oleh beberapa tokoh.


(Ini adalah hasil wawancara Fahrur Mu’is, S.Pd.I dengan Ustadz Ahmad Husnan pada hari Rabu, 18 Juni 2008, pukul 09.00-10.30 di Ngruki, Cemani, Sukoharjo)