Wednesday, May 27, 2009

ILUSI PENOLAK NEGARA ISLAM (Kritik Terhadap Buku Ilusi Negara Islam).

Dewasa ini, umat Islam kembali ‘diuji’ dan sekaligus diteror dengan pemikiran nyleleh dalam buku Ilusi Negara Islam. Buku setebal 322 halaman tersebut diterbitkan oleh Gerakan Bineka Tunggal Ika, the Wahid Institut, dan Maarif Institut. Tak tanggung-tanggung, di sampul belakang tertulis bahwa buku tersebut merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun.
Nah, tulisan ini akan mengkritisi pemahaman yang menyatakan bahwa negara Islam atau khilafah merupakan sebuah ilusi atau bahkan bahaya yang perlu diwaspadai bersama.

Keresahan Kaum Liberal

Penggunaan judul Ilusi Negara Islam merupakan cermin kerisauan yang dialami orang-orang liberal. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ilusi artinya sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan; pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; tidak dapat dipercaya; palsu. Sementara, negara ialah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Dan, Islam di sana diartikan agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad, berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah.

Tentu saja, melihat pengertian tersebut, siapa saja yang melek sirah nabawi sudah pasti dapat memahami bahwa negara Islam bukanlah ilusi. Ia merupakan fakta sejarah yang tak terbantah.

Bila ditilik dari ranah akademik, memang disebutkan ada tiga klasifikasi konsepsi negara Islam menurut pakar Islam kontemporer. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Golongan ini menyatakan bahwa bahwa dalam bernegara, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, tetapi sebaliknya hendaknya kembali ke sistem ketatanegaraan Islam (khilafah).

Golongan kedua berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik. Menurut golongan ini, Nabi Muhammad tidak pernah bertugas dan atau bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara.

Golongan ketiga perpendapat bahwa Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kendatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.

Jelas sekali, buku yang—dieditori oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur), diprologi oleh Syafi’i Maarif, dan diepilogi oleh Mustofa Bisri—membawa nama besar kedua ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) tersebut menafikan pendapat yang pertama. Tentu saja, cara tersebut merupakan pemaksaan pendapat dan pembodohan terhadap umat. Ditambah lagi, aroma adu domba terhadap umat (NU dan Muhammadiyah Vs Wahabi/Salafi, Ikhawanul Muslim/PKS, dan Hizbut Tahrir) sangat tajam menusuk hidung sehingga menghilangkan aroma ‘penelitian’ itu sendiri.

Kedudukan Khilafah

Orang-orang Barat menyelidiki dengan penuh seksama tentang apa yang menjadi rahasia kejayaan Islam dan eksistensinya di permukaan bumi. Sampai mereka berkesimpulan bahwa ada beberapa perkara yang dapat menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia, yaitu Kakbah, Masjid Nabawi, dan Jihad fi sabilillah. Selanjutnya mereka mengatakan, “Jika demikian halnya maka kita perlu memfokuskan perhatian kita pada persoalan-persoalan di atas. Fokus kita yang pertama adalah “meruntuhkan khilafah”, oleh karena keberadaan khilafah bagi kaum muslim ibarat menara api yang memberikan penerang di malam gelap gulita.”

Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.

Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja sekuler.

Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang mengancam. Lebih parah lagi, di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama dengan umat dan bangsa lain. Penyerangan terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti yang tak terbantahkan. Ditambah lagi, hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang efektif.

Dasar Negara Khilafah

Dalam khazanah keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i.
Al-Qur’an menyebutkan:
     
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30).
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya bisa bersepakat dalam satu kesepakatan dam terlaksananya hukum-hukum kekhalifahan.
Allah juga berfirman:
       •       
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi….” (An-Nur: 55)

Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.

Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.

Dalam khazanah Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan (imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab Al-Imarah.

Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.

Ada beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah. Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?

Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi Allah, jika kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”

Diriwayatkan juga dari Ali, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang lurus.’”

Keterangan dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.

Uraian di atas, kiranya cukup untuk menjelaskan konsep negara Islam dalam Islam. Lalu, manakah yang perlu dipersoalkan? Anehnya, orang-orang liberal yang sering menyuarakan kebebasan dan anti otoritas tampaknya tak mau melihat orang lain bebas memilih pendapat yang sahih.

No comments: