Friday, December 5, 2008

MENDUKUNG SYARIAT ISLAM

Mukadimah

Syariat adalah apa yang ditetapkan Allah kepada para hambanya baik berupa keyakinan maupun hukum (Al-Mu’jamul Al-Wasith, Majma’ al-Lughah al- Arabiyyah, 1960, juz 1, hal. 498). Jadi, yang dimaksud syariat Islam ialah aturan atau ajaran yang berdasarkan Islam, baik dalam masalah keyakinan maupun hukum.

Melihat dari maknanya tersebut, setiap Muslim berkewajiban untuk melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Persoalannya sekarang, kaum Muslim tidak bisa menerapkan syariat secara sempurna, karena pemerintah yang ada tidak menerapkan syariat sebagai hukum negara. Akhirnya, syariat Islam yang bisa dilakukan hanya sebatas dalam masalah ibadah makhdah, nikah, talak, dan rujuk, sedangkan untuk masalah hudud tidak tersentuh sama sekali.

Mengapa syariat Islam asing di negara yang penduduknya mayoritas Muslim? Tulisan ini bermaksud menguak beberapa alasan yang digunakan sebagian orang untuk menolak penerapan syariat Islam sebagai hukum negara.

Mengapa Takut Syariat Islam?

Tidak dipungkiri lagi, masih ada banyak orang yang tidak suka terhadap syariat Islam. Bahkan, isu tersebut menjadi tema kontroversi yang menarik perhatian banyak orang, baik dari kalangan Muslim sendiri maupun non-Muslim.

Menurut pandangan Dr. Shalih As-Sadhan, ada dua tuduhan negatif terhadap penerapan syariat Islam. Pertama, tuduhan yang bersifat umum, yaitu syariat Islam dituduh akan menimbulkan perasaan miris di kalangan minoritas non-Muslim karena hak-hak mereka akan diabaikan. Kedua, tuduhan yang berkaitan dengan sisi-sisi tertentu dari syariat Islam, yakni penegakan syariat dituduh hanya akan mewujudkan kekerasan dan menghilangkan perikemanusiaan. (Aplikasi Syariat Islam, Darul Falah, 2002, hal. 148-177).

Tuduhan pertama jelas mengada-ada. Sebab, nash dan sejarah menyatakan bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Kaum minoritas non-Muslim bisa hidup aman di bawah naungan pemerintahan Islam. Al-Qur’an bahkan menjamin tidak akan memaksa mereka masuk Islam, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)….” (Al-Baqarah: 256).

Tuduhan kedua yang menyatakan syariat Islam kejam dan tidak manusiawi jelas tidak benar. Mengapa? Karena hukum di mana saja memiliki karakter yang sama, yaitu mengandung unsur kekerasan dan ketegasan. Sebab, jika dalam hukuman tidak terkandung kekerasan, tentu ia tidak efektif berfungsi sebagai peringatan dan berpengaruh membuat jera.

Di samping itu, ada beberapa argumen yang diajukan sebagai pembenaran sikap penolakan tersebut. Setidaknya, dalam penilainan Nirwan Syafrin ada dua argumen, yaitu yang bernuansa politis dan yang berkedok ilmiah. Kedua argumen tersebut sulit dipisahkan. Pertama, yang menolak atas nama politik selalu berlindung di balik prinsip demokrasi. Kedua, yang berkedok ilmiah kerap kali menggunakan prinsip maslahah atau yang populer disebut dengan prinsip maqashid syariah. (Adian Husaini et.al, Islam Liberal, Pluralisme Agama, dan Diabolisme Intelektual, Risalah Gusti, 2005, hal. 167-196).

Sahihkah argumen tersebut? Alasan politik tampaknya sangat lemah dijadikan dalil. Karena sistem demokrasi terbukti tidak bisa memberikan keadilan dan menjamin kesejahteraan rakyat. Bahkan, yang kasat mata, demokrasi menjadi ajang politik kotor.

Tidak hanya itu, citra demokrasi juga dirusak oleh para anggota dewan yang menang dalam pemilu. Berita tentang korupsi dan suap-menyuap serasa tak pernah sepi ditanyangkan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Rakyat akhirnya menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bisa memberi solusi atas permasalahan bangsa ini.
Soal prinsip maslahah, apa yang disampaikan para penentang syariat Islam sebenarnya jauh dari ilmiah. Justru seluruh aturan Islam itu mengandung maslahah bagi tatanan kehidupan dunia ini, kapan saja dan di mana saja. Ini sudah disepakati oleh seluruh ulama kaum Muslim.

Mari kita lihat ambiguitas sikap orang-orang liberal terhadap konsep maqashid tadi. Kita ambil contoh hukum hudud. Sebagaimana penjelasan di depan, orang-orang yang anti syariat Islam menolak hukum hudud dengan anggapan bahwa ia kejam dan sudah kadaluwarsa. Mereka menyangka hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini. Betulkah? Ini perlu pembahasan lebih jeli.

Lebih lanjut, Nirwan menjelaskan bahwa setiap hukuman memiliki tujuan ganda. Pertama, untuk menciptakan keadilan bagi yang teraniaya dan di sini diperlukan adanya prinsip balasan (retributive). Kedua, sebagai pelajaran bagi masyarakat banyak atau selalu disebut dengan pencegahan (deterrence). Apa saja hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hanya akan menciptakan kekacauan yang lebih hebat. (Adian Husaini et.al, Islam Liberal, Pluralisme Agama, dan Diabolisme Intelektual, Risalah Gusti, 2005, hal. 167-196).

Sebagai contoh, para koruptor yang mencuri uang rakyat trilyunan rupiah tidak akan jera dan tidak akan tobat hanya dengan dipenjara beberapa bulan. Yang ada hanya kecanduan dan keinginan untuk korupsi lagi.

Contoh lain, apabila keluarga yang terbunuh tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh, maka akan timbul kekecewaan dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional. Orang tersebut mungkin akan melakukan balasan pembunuhan, mungkin terhadap si pelaku atau keluarga terdekat si pembunuh. Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi siklus pembunuhan yang sangat panjang. Demikianlah kelemahan prinsip maqasid yang diperjuangkan orang-orang yang takut terhadap syariat Islam.

Penutup

Islam adalah rahmatan lil alamin. Ia tidak hanya untuk kaum Muslim saja, melainkan untuk seluruh umat manusia. Sayyid Sabiq, ulama terkemuka dari Mesir menyatakan bahwa risalah Islam bukanlah risalah yang bersifat lokal. Ajaran Islam merupakan ajaran universal yang mencakup seluruh umat manusia hingga hari kiamat. (Fiqih Sunnah, Pena Pundi Aksara, 2006, cet. I, hal. 2-3).

Kita juga bisa membandingkan mana yang lebih bagus dan efektif antara hukum Islam dengan hukum buatan manusia. Andrew L. Shapiro dalam tulisannya yang berjudul We Are Number One menuliskan poin-poin tentang kriminalitas, kemanan, dan kehancuram moral yang terjadi di masyarakat Amerika:
1.Setiap tahun telah terjadi kasus pembunuhan sebanyak 20.000 jiwa. Ini berarti setiap 25 menit telah terjadi pembunuhan.
2.Tujuh puluh lima persen kematian anak-anak remaja disebabkan adanya pembunuhan sadis dari berbagai kejahatan.
3.Satu dari 10 gadis berumur 15 sampai 19 tahun di Amerika, telah hamir di luar nikah sebagai akibat hubungan seksual.
4.Jumlah orang yang melakukan aborsi akibat kehamilan mencapai 36%.
5.Lebih dari separuh rakyat Amerika mengalami etika menyimpang. (Ahmad Husnan, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Al-Husna, 2005, hal. 293-294).

Jika kita bandingkan dengan negara yang menerapkan syariat Islam, semisal Arab Saudi, maka akan kelihatan perbedaan yang sangat jauh. Jumlah kejahatan di sana jauh lebih sedikit dibandingkan yang terjadi di Amerika.

Kaidah yang harus kita pegang adalah di mana syariat ditegakkan maka di sana pasti ada maslahat. Mengapa? Karena Allah tidak mungkin mensyariatkan sesuatu tanpa ada maslahatnya, meskipun kadang-kadang akal kita belum mampu menangkap dan memahami maslahat tersebut.

Nah, pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji: apakah kita menerima dan melaksanakannya atau sebaliknya malah menentangnya. Muslim yang hakiki pasti mendukung penerapan syariat Islam karena hal itu untuk kemaslahatan dirinya dan dunia. Kalau tidak, maka mari kita mengoreksi kualitas iman kita.