Kepemimpinan dalam Islam (kekhilafahan) adalah pondasi yang mengokohkan
prinsip-prinsip agama dan mengatur kepentingan-kepentingan umum hingga urusan
rakyat berjalan dengan normal. Menurut Ad-Dumaiji, kemuliaan dan ketinggian derajat bagi umat
Islam, hanya dapat diraih dengan cara kembali berhukum kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya, serta berjuang menegakkan khilafah Islamiyah yang akan
menjaga agama Islam dan mengembalikan kemuliaan dan kehormatan umat Islam.[1]
Hilangnnya sistem khilafah
setelah berumur 1300 tahun, merupakan pukulan politik bagi kaum Muslim.[2]
Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang
melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu
sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan
invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim
dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.[3]
Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam
berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam
Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat
ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam
hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin
nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30
tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para
raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal
berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini
dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan
Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di
mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler.
Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah
ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai
periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem
penguasa atau raja-raja sekuler.[4]
Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil
yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal
ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang
mengancam. Di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama
dengan umat dan bangsa lain. Invasi militer terhadap umat Islam di Afghanistan,
Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti
yang tak terbantahkan.
Hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk
menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan
kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas
penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang
efektif.[5]
Selain itu, khilafah atau imamah (kepemimpinan) merupakan salah satu
unsur terpenting kesatuan umat Islam. Menurut Hussain Ali Jabir, unsur-unsur
kesatuan umat Islam yang terpenting ialah:
1.
Kesatuan akidah.
Umat Islam mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang
mengucapkan laa ilaaha illallah secara ikhlas. Siapa yang tidak
mengucapkannya, maka tidak termasuk bagian umat ini.
2.
Kesatuan ibadah.
Ibadah yang diwajibkan Allah kepada umat Islam adalah satu. Setiap
Muslim diwajibkan shalat lima
waktu sehari semalam, shaum pada bulan Ramadhan setiap tahun, zakat apabila
sudah mencapai nishab, dan kewajiban-kewajiban lain dalam Islam.
3.
Kesatuan adat dan perilaku.
Setiap Muslim mempunyai keteladanan yang baik pada diri Rasulullah. Ini
menumbuhkan kesatuan perilaku dan akhlak karena kaum Muslim dituntut untuk
meneladani Rasulullah.
4.
Kesatuan Sejarah.
Seorang Muslim tidak terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu
dan hanya sejarah Islamlah yang menjadi ikatan dan kebanggaannya.
5.
Kesatuan bahasa.
Merupakan suatu yang alami jika bahasa Arab menjadi salah satu faktor
pemersatu umat Islam. Umat Islam dituntut agar memahami Islam dan
mengamalkannya.
6.
Kesatuan jalan.
Sesungguhnya jalan kaum Muslim adalah satu, yaitu jalan para nabi dan
rasul sebagaimana disebutkan dalam Al-Fatihah: 6–7. Inilah jalan yang akan
mengantarkan ke surga.
7.
Kesatuan dustur.
Sumber undang-undang (dustur) umat Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Muslim dilarang mengambil rujukan untuk menata dan mengatur gerakan
mereka, kecuali dari apa yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul-Nya.
8.
Kesatuan pimpinan
Umat Islam sepakat bahwa pimpinannya yang pertama adalah Rasulullah,
kemudian para khalifahnya yang terpimpin. Masing-masing mereka menjadi pemimpin
pada zamannya. Tidak ada kepemimpinan umat Islam lebih dari seorang khalifah.
Sebab, kesatuan pimpinan merupakan simbol persatuan, kekuatan tubuh, dan
kesatuan panjinya. Dengan mengangkat seorang imam untuk mengurusi persoalan
umat, maka umat Islam akan mencapai kesatuan, kekuatan, dan kekukuhan
bangunannya.[6]
[1] Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah
Al-Udzma ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jamaah, (Riyadh, Dar Thyyibah: tt), cetakan kedua,
hlm. 565-566.
[2] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju
Jama’tul Muslimin; telaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam,
(Jakarta: Robbani Press, 1999), cetakan V, hlm. vi.
[3] Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Menuju
Tegaknya Khilafah, (Solo: Pustaka Al-Alaq, 2006), cetakan I, hlm.13.
[4] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’tul Muslimin;
telaah sistem jama’ah dalam gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999),
cetakan v, hlm. vi-vii.
[5] Syabab Hizbut Tahrir Inggris, Bagaimana
Membangun Kembali Negara Khilafah, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2008), cet II, hlm. x.
[6] Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin,
Telaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Robbani Press,
1999), cetakan V, hlm. 57-62.
No comments:
Post a Comment