Oleh: Abu Najib Abdillah
Para agen liberal di negeri ini, punya tiga agenda besar untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Tidak tanggung-tanggung, mereka disokong penuh oleh para donatur dari Barat. Bagaimana kita bersikap?
Liberalisasi Islam di Indonesia, secara sistematis telah dijalankan sejak 40 tahun yang lalu. Tepatnya pada awal tahun 1970-an. Secara umum ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu (1) liberalisasi bidang akidah, dengan penyebaran pluralisme agama, (2) liberalisasi bidang syariah, dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu, dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Qur'an.
Di antara strategi orang-orang liberal yang paling menonjol untuk menyesatkan umat Islam, ada tiga hal, yaitu:
1.Liberalisasi akidah Islam
Liberalisasi akidah Islam dilakukan dengan cara menyebarkan paham pluralisme agama. Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama.
Penyebaran paham ini sudah sangat meluas. Dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Berikut ini di antara pernyataan mereka.
Ulil Abshar Abdalla mengatakan, "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar." (Majalah Gatra, 21 Desember 2002). Ia juga mengatakan, "Larangan beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi." (Kompas, 18/11/2002).
Pada edisi sebelumnya, masalah ini sudah dibahas secara detail. Ringkasnya, ini adalah paham syirik modern yang jelas bertentangan dengan firman Allah, "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu ) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali Imran: 85).
Demikian pula, bertentangan dengan sabda Rasulullah, “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidak seorang pun dari kalangan umat ini yang mendengarkan tentang (kenabian) aku, baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani kemudian dia tidak beriman terhadap apa yang aku bawa kecuali ia termasuk penduduk neraka.” (HR Muslim).
2. Liberalisasi Al-Qur'an
Cara lain untuk mengaburkan kebenaran ajaran Islam ialah dengan dekonstruksi kitab suci atau mengkritik Al-Qur'an. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk "melirik" Al-Qur'an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al-Qur'an.
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi Al-Qur'an bekerja keras untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang bermasalah sebagaimana Bible. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum muslimin bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah, bahwa Al-Qur'an adalah satu-satunya kitab suci yang bebas dari kesalahan.
Anehnya, saat ini suara-suara yang menghujat Al-Qur'an justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam. Mereka menjiplak dan mengulang-ulang apa yang dahulu pernah disuarakan para orientalis.
Contohnya adalah yang ditulis dalam buku Menggugat Otentisitas Wahyu, hasil tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta yang ditulis oleh Aksin Wijaya. Secara terang-terangan ia menhujat isi Al-Qur'an. Ia menulis, "…. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikit pun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita." (Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan [Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004], hlm. 123).
3. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah aspek yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu hukum yang banyak dijadikan objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara muslimah dengan laki-laki non-muslim.
Salah satu contohnya ialah karya kaum liberal di Paramadina dalam merombak hukum Islam. Dalam buku Fiqih Lintas Agama ditulis, "…. bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apa pun agama dan aliran kepercayaannya." (Mun'im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama [Jakarta: Paramadina & The Asia Foundation, 2004], hlm. 164).
Padahal, Al-Qur'an menjelaskan, "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman…. (Al-Baqarah: 221).
Maka, sudah sewajarnya kita mewaspadai ketiga cara penyesatan tersebut. Ya Allah, tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Diikhtisar dari Liberalisasi Islam di Indonesia, tulisan Adian Husaini)