Oleh: Fahrur Mu'is, M.Ag
Akhir-akhir ini umat Islam disibukkan oleh serangan dari luar yang menghina Nabi Muhammad, baik lewat kartun, koran, buku, film, maupun media lainnya. Sebagai umat Islam, kita wajib membela kehormatan Rasulullah. Namun, sebelum itu kita terlebih dahulu perlu tahu siapakah orang-orang yang menghina Nabi Muhammad saw? Hal ini penting agar kita dapat mebela beliau dengan cara yang tepat dan benar.
Setidaknya, ada tiga golongan orang-orang yang menghina Nabi.
1. Orang yang dengki kepada beliau
2. Orang yang tidak mengetahui siapa beliau
3. Orang yang terfitnah dengan keadaan dan kemunduran umat Islam
Dalam survey yang dilakukan oleh Dr. Raghib As-Sirjani sebagaimana ditulis dalam http://islamstory.com didapatkan data bahwa:
29,7% orang menghina Nabi karena tidak mengenal beliau,
35.5% karena dengki kepada beliau, dan
34.8% karena terkecoh oleh kemunduran kaum muslimin.
Orang-orang yang belum mengenal beliau tentu tak sedikit jumlahnya. Khususnya di dunia Barat.
Adapun tentang orang-orang yang dengki kepada Rasulullah dan Islam, maka sejak dahulu kelompok ini telah muncul. Al-Qur’an menjelaskan, “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabi pun datang kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (Az-Zukhruf: 6-7)
.
Pada zaman Rasulullah, telah dikenal nama-nama tokoh yang sering menghina beliau seperti Abu Jahal, Al-Walid bin Al-Mughirah, ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, dan An-Nadhr bin al-Harits.
Adapun cara membela Rasulullah terhadap serangan tiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Orang-orang yang dengki.
Kita harus bersikap tegas terhadap mereka dengan memberi peringatan keras, meminta mereka minta maaf kepada umat Islam atau bahkan mengusir dan memboikot mereka.
2. Orang-orang yang bodoh
Kita harus berusaha mengenalkan siapa Rasulullah dan apa ajarannya kepada mereka malalui berbagai cara dan media.
3. Orang-orang yang terfitnah karena kemunduran kaum muslimin
Umat Islam harus berusaha bersama-sama agar maju dalam setiap aspek kehidupan, baik ilmu, ekonomi, politik, dan terlebih akhlak mereka.
Friday, September 21, 2012
Friday, March 9, 2012
Akibat Meninggalkan Amar Makruf Nahi Mungkar
Oleh: Fahrur Mu'is, M.Ag
Sebaliknya, akibat
meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar pun tidak kalah banyak. Berikut ini
di antaranya.
1. Timbulnya kerusakan di muka bumi
Allah berfirman:
“Dan
peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang
zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
(Al-Anfal: 25).
Azab Allah itu sangat pedih. Jika
azab itu diturunkan di suatu tempat, maka ia akan menimpa semua orang yang ada
di tempat tersebut, baik orang saleh maupun ahli maksiat. Dalam ayat ini, Allah
memperingatkan kaum mukminin agar senantiasa membentengi diri mereka dari siksa
tersebut dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menyeru
manusia kepada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran.
Sebab, jika mereka
meninggalkan amar makruf nahi mungkar, maka kemungkaran akan menyebar dan
kerusakan akan meluas. Bila kondisi sudah demikian, maka azab pun akan
diturunkan kepada seluruh komponen masyarakat. Di antara kerusakan yang timbul
akibat meninggalkan amar makruf nahi mungkar adalah sebagai berikut:
a. Para pelaku maksiat dan dosa akan semakin
berani untuk terus melakukan perbuatan nistanya sehingga sedikit demi
sedikit akan sirnalah cahaya kebenaran dari tengah-tengah umat manusia.
Sebagai gantinya, maksiat akan merajalela, keburukan dan kekejian akan
terus bertambah dan pada akhirnya tidak mungkin lagi untuk dihilangkan.
b. Perbuatan mungkar akan menjadi baik dan
indah di mata khalayak ramai, kemudian mereka pun akan menjadi pengikut
para pelaku maksiat.
c. Salah satu sebab hilangnya ilmu dan
tersebarnya kebodohan. Karena tersebarluasnya kemungkaran tanpa adanya
seorang pun dari ahli agama yang mengingkarinya akan membentuk anggapan
bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kebatilan. Bahkan bisa jadi mereka
melihatnya sebagai perbuatan yang baik untuk dikerjakan. Selanjutnya, sikap
menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dan mengharamkan hal-hal yamg
dihalalkan-Nya semakin merajalela.
2. Menyebabkan turunnya siksa Allah
Di antara sebab turunnya
siksa Allah adalah adanya kemungkaran yang merajalela, baik berupa kesyirikan,
kemaksiatan, maupun kezaliman. Hal ini sebagaimana disebutkan Ummul Mukminin
Zainab binti Jahsy bahwa Rasulullah pernah mendatanginya dalam keadaan terkejut
seraya berkata:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَيْلٌ
لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ. وَحَلَّقَ بِإِصْبَعِهِ الإِبْهَامِ
وَالَّتِى تَلِيهَا. قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ
قَالَ نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ.
“Lâ ilâha illallâ! Celakalah bangsa Arab,
karena kejelekan yang telah mendekat. Hari ini telah dibuka tembok Ya’juj dan
Makjuj seperti ini–beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya.” Kemudian
Zainab berkata, “Apakah kita akan binasa wahai Rasulullah, padahal di sekitar
kita ada orang-orang saleh?” Beliau menjawab, “Ya, jika kemungkaran itu sudah
merajalela.” (HR. Muslim).
Makna al-khabas
menurut Muthafa Dib al-Bugha dalam Al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar
meliputi kefasikan, kejahatan, dan kemaksiatan. Ketiga hal tersebut juga
tergolong dalam makna “mungkar” yang
berarti setiap perkara yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dalam Al-Jawab al-Kafi,
Ibnul Qayyim menukil perkataan Ali bin Abi Thali:
مَا نَزَلَ بَلاَءٌ إِلاََّ بِذَنْبٍِ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاََّ بِتَوْبَةٍ
“Tidaklah musibah itu menimpa, kecuali disebabkan dosa, dan musibah itu tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.”
Dari sini dapat dipahami
bahwa tidak adanya amar makruf nahi mungkar akan menyebabkan tersebar luasnya
kemungkaran. Banyaknya kemungkaran akan menyebabkan turunnya siksa Allah,
meskipun di masyarakat tidak sedikit ditemukan orang-orang yang saleh.
3. Doa tidak dikabulkan
Akibat lain dari meninggalkan amar makruf nahi munkar
adalah tidak dikabulkannya doa manusia. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
وَالَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ
لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ
فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian betul-betul
melaksanakan amar makruf nahi mungkar atau (jika kalian tidak melaksanakan hal
itu) maka sungguh Allah akan mengirim kepada kalian siksa dari-Nya kemudian
kalian berdoa kepada-Nya, akan tetapi Allah tidak mengabulkan doa kalian.” (HR
Ahmad dan at-Tirmidzi. Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahîhul Jâmi’).
Hadits tersebut menunjukkan
bahwa orang yang meninggalkan amar makruf nahi mungkar permintaannya tidak
dikabulkan oleh Allah. Oleh karena itu, setiap Muslim hendaknya selalu berusaha
untuk melakukan amar makruf nahi mungkar sesuai dengan kemampuannya.
4. Mendapatkan laknat dari Allah
Umat yang tidak melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar akan mendapatkan laknat dari Allah. Hal ini telah terjadi pada Bani Isra’il, sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah:
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat dengan lisan Dawud dan
Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampauhi
batas. Mereka satu sama lain senantiasa tidak melarang tindakan mungkar yang
mereka perbuat, sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”
(Al-Maidah: 78-79).
(Al-Maidah: 78-79).
Dalam ayat tersebut Allah mengabarkan
kepada kita tentang kemaksiatan yang menyebabkan Bani Israil dilaknat oleh
Allah. Yaitu mereka melakukan kemungkaran dan tidak ada seorang pun dari mereka
yang mencegah saudaranya dari kemaksiatan yang ia lakukan. Maka, para pelaku
kemungkaran dan orang yang membiarkannya mendapatkan hukuman yang sama.
Ath-Thabari dalam tafsirnya
berkata, “Dahulu orang-orang Yahudi dilaknat Allah karena mereka tidak berhenti
dari kemungkaran yang mereka perbuat dan sebagian mereka juga tidak melarang
sebagian lainnya dari kemungkaran tersebut.” http://ustadzmuis.blogspot.com/
Friday, January 6, 2012
AKIBAT ULAMA MENDIAMKAN KESESATAN
Apa akibat jika para ulama mendiamkan kesesatan yang terjadi di masyarakat? Berikut ini sebuah nasihat dari Muhammad Basyir Ibrahimi dalam kitab 'Uyun Al-Basyair.
Kekuatan dan kekuasaan memiliki pengaruh signifikan terhadap fisik dan jiwa. Keduanya adalah yang paling kuat pengaruhnya, paling tampak karakternya, dan paling lama menetap di dalam jiwa. Karena jalan untuk menguasai fisik adalah dengan menanamkan rasa takut, sedang perasaan takut semacam ini hanyalah bersifat sementara. Adapun pintu untuk menguasai jiwa adalah perasaan senang, sedangkan pendorongnya adalah qanaah dan ikhtiyar.
Sejatinya, ulama umat Islam memiliki pengaruh dan kekuasaan terhadap jiwa yang cukup besar. Hal ini banyak dipengaruhi oleh spiritualisme agama Islam dan karakternya yang mudah diterima jiwa manusia. Di hadapan para ulama, umat Islam secara umum akan tunduk dan patuh dengan sepenuhnya. Kepatuhan yang tulus, yang tidak dibuat-buat sama sakali. Karena dilandasi oleh kesadaran dan perasaan bahwa mereka adalah rujukan dalam menerangkan agama. Selain itu, ulama adalah penyambung lidah yang mampu mengungkapkan makna agama yang sejati dan hakiki.
Merekalah yang mampu menerangkan syariat Islam. Mereka pula yang dipercaya memikul tanggung jawab dalam mempertahankan keutuhan agama ini. Mereka yang mendapat kehormatan sebagai para pewaris Nabi.
Maka, fungsi ganda ulama adalah bertugas sebagai pemberi penjelasan dalam masalah peribadatan. Selain itu, mereka bertugas memutuskan hukum-hukum mu’amalah. Sedangkan tugas para penguasa sebenarnya hanyalah melaksanakan keputusan ulama yang mereka pandang lebih bermanfaat dalam pergaulan sehari-hari, baik yang bersifat individu maupun kemasyarakatan.
Kekuasaan yang mereka miliki semacam ini tampak cukup jelas pada masa pertama Islam jaya. Saat itu, ulama masih setia dan teguh pada Al-Qur’an dan Sunah. Mereka berjalan di atas jalan yang telah digariskan, dan berhenti di setiap batasan yang telah ditetapkan keduanya. Mereka gigih memerintahkan setiap perkara yang makruf menurut kaduanya. Sebaliknya, mereka tegar dalam mencegah setiap kemungkaran yang dinyatakan mungkar menurut keduanya. Mereka menuntun umat hanya dengan petunjuk keduanya sehingga kekuasaan mereka mencakup seluruh kalangan, bahkan para khalifah sekalipun.
Lisan mereka masih tajam dalam memberikan kritikan dan cacat kepada setiap orang yang menyimpang dari jalan lurus yang telah digariskan agama. Tidak membeda-bedakan siapa pun pelakunya.
Pendapat mereka dijadikan sebagai rujukan dalam setiap permasalahan, baik dalam urusan dunia maupun agama. Tidak terkecuali para khalifah saat itu, seperti Mu’awiyah dan sebagainya. Mereka semua mengakui keabsahan kekuasaan tak terbatas yang dimiliki para ulama semacam ini. Bahkan, mereka menjadikan para ulama sebagai penolong dalam menegakkan kebaikan dan perbaikan. Mereka tidak akan berani menetapkan suatu keputusan tanpa melibatkan para ulama.
Para penguasa yang otoriter sekalipun tak berani mendahului para ulama. Sebab, mereka sadar betul bahwa ulama berkuasa di atas kekuasaan mereka. Namun, mereka mulai mengadakan manuver dan langkah-langkah untuk melemahkan para ulama. Terkadang dengan metode tebar pesona untuk mengangkat pamornya, atau dengan berpura-pura baik di hadapan mereka. Tapi, kadang juga menggunakan cara kasar, konfrontasi terbuka dan dengan sengaja melanggar peraturan sebagai bentuk nyata pembangkangannya.
Dahulu Muawiyah r.a mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, dan memaksa seluruh rakyat untuk berbaiat kepadanya, baik dengan cara keras maupun lunak, sehingga ia berhasil mewujudkan keinginannya. Namun begitu, ia masih memandang baiat ini masih seperti sandiwara, selama ’Ubâdalah (Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Amr bin ‘Ash) dan Hasan belum mau berbaiat kepadanya. Penyebab utamanya adalah mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tidak bisa dianggap enteng. Selain itu, mereka juga memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Oleh karena itu, Mu’awiyah r.a memutar haluan dengan menggunakan siasat yang didukung pedang.
Hal yang sama juga dipraktikkan oleh anak-anak Marwan setiap kali ada ulama yang absen dari baiat serupa, sebagaimana nasib yang dialami Sa’id bin Musayyib. Praktik semacam ini masih berjalan di kalangan para penguasa diktator selama para ulama masih memiliki hak berkuasa dalam ruang lingkup yang tak terbatas. Hingga suatu ketika di mana urusan ini beralih ke tangan generasi lain. Yaitu ketika kekuasaan jatuh ke tangan para amir, panglima, dan tentara. Di sisi lain, kekuasaan ini lepas dari genggaman para ulama dan khalifah secara bersamaan.
Seakan ini mengisyaratkan sebuah hukuman bagi para khalifah yang berani melonjak, juga sebagai hukuman bagi ulama yang rela mundur dari jabatan kekuasaan tak terbatas.
Selain praktik semacam ini terjadi dalam urusan baiat, ia juga terjadi dalam semua permasalahan lain yang diperebutkan oleh kedua penguasa ini.
Walaupun kondisinya seperti ini, para ulama masih tetap dalam posisi sebagai representasi dari kebenaran hakiki. Merekalah yang memegang kendali umat yang hakiki di tempat yang tak tersentuh oleh kekuasaan pemerintah yang semu. Mereka masih terjaga dan siaga menghadapi setiap peristiwa yang dihadapi umat Islam. Setiap kali mereka menemukan bayangan hantu bid’ah, dengan sigap mereka langsung menepisnya. Setiap kali mereka merasa ada kesesatan dan kemungkaran dalam agama, dengan cepat mereka merubahnya dengan perkataan dan perbuatan.
Saking hati-hatinya, mereka menyikapi dosa kecil seperti dosa besar. Mereka tidak terlalu gampang memberikan rukhshah, keringanan hukum. Langkah ini mereka lakukan sebagai bentuk antisipasi untuk menutup semua pintu yang menjurus kepada perbuatan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Mereka selalu bersikap dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan demikian, landasan berpikir mereka adalah dalil yang tidak mungkin menyesatkan; mereka bersandar pada hujah yang tak terbantahkan. Maka sudah sepantasnya jika seluruh umat memilih mereka sebagai rujukan untuk tempat bernaung sehingga lahirlah kesatuan beragama yang sama sekali tidak bisa dipecah belah, dan tidak berbeda-beda pendapat. Sampai ketika mereka terkena fitnah perpecahan antar mazhab, baik yang berhubungan dengan permasalahan prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Fanatisme mazhab semacam inilah yang menutupi kebenaran bagi mereka.
Dampaknya, secara umum, umat Islam memandang mereka tidak seperti sebelumnya, ketika mereka bersatu di bawah bendera agama. Persatuan yang menjamin keutuhan eksistensi mereka di dunia, menjaga keutuhan ilmu, dan menjamin keselamatan mereka dari perbedaan yang hanya sebatas dilandasi aspek kepentingan dan keuntungan masing-masing, yang ujung-ujungnya akan menyeret mereka ke dalam perpecahan yang berakibat kerusakan parah yang harus mereka tanggung.
Inilah peyebab melemahnya kekuasaan yang mereka miliki, sampai akhirnya kekuasaan ini pun diperjualbelikan di antara para penguasa jahat dan zalim dan komandan jahat dan bodoh. Mereka bersatu di atas satu tujuan, yaitu menindas orang awam. Mereka bersekongkol sehingga terbentuk duet maut yang menebar malapetaka bagi umat.
Para penguasa senantiasa membuat makar untuk menjauhkan kedudukan para ulama—setelah sekian lama—dari posisi sebagai pemimpin spiritual umat Islam. Kemudian mereka menggantinya dengan aktor-aktor baru yang dapat mereka dikte untuk menipu orang awam. Mereka nobatkan tokoh-tokoh dengan memberinya topeng agama supaya bisa menarik simpati umat karena kebesaran namanya. Padahal, sejatinya mereka adalah orang-orang yang tidak merasa membutuhkan ilmu karena memang bukan ahlinya. Mereka meminta bantuan dari para penguasa untuk mendukung kekuatannya. Sehingga kedua belah pihak bersepakat untuk saling berbagi rekomendasi dan berbagi keuntungan demi kepentingan masing-masing dengan syarat harus mendiamkan setiap kemungkaran yang terjadi.
Artinya, ulama menyesatkan penguasa, dan sebaliknya, penguasa merendahkan ulama. Sejatinya, penyesatan dalam urusan agama merupakan sarana menuju kehinaan di dunia. Umat pun terninabobokan dengan tepukan atas nama agama, dengan kebodohan yang dihiasi, dengan menjauhkan ilmu, dengan sesuatu yang katanya mendekatkan jalan mereka ke surga padahal hakikatnya tidak, tapi justru menjauhkannya dengan perbuatan-perbuatan bid’ah.
Dalam hal ini para ulama lalai, mereka lelap dalam tidur panjang yang jauh lebih lama daripada tidurnya Ashâbul Kahfi. Ketika mereka membuka matanya, mereka dihadapkan pada agama baru yang bukan merupakan agama sebelumnya. Lalu mereka poles agama tersebut agar terlihat samar di mata umat, sampai mereka mau mengikutinya. Padahal para ulama tersebut tak lain hanyalah para pengikut dan pengekor penguasa, meskipun sebelumnya mereka menjadi panutan umat.
Sebagai bukti, mereka menjadi pemberi label dan rekomendasi syar’i bagi para penguasa. Mereka memberikan kesaksian bahwa para pejabat itu adalah orang-orang yang sempurna dan mulia. Termasuk mereka berikan legalitas syar’i kepada para pelaku bid’ah yang menobatkan diri mereka sebagai ulil amri yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Tentu dengan makna yang mereka selewengkan dari makna sebenarnya yang digunakan dalam agama.
Tidak cukup sampai di situ, bahkan mereka berani lancang menyematkan sifat-sifat ketuhanan yang hanya layak dimiliki Allah kepada mereka.
Para penguasa pembuat bid’ah uluhiyah semacam ini menyadari kecerobohan para ulama yang sangat berambisi mengejar keuntungan dunia yang hina. Mereka juga memahami bahwa para ulama akan terjerumus dalam kelezatan makanan ”kotor”. Maka mereka tuntun ulama itu dengan tali kekang di tangan mereka. Lalu mereka menyadari bahwa para ulama telah setuju dengan kehinaan dan kerendahan yang diberikan kepada dirinya. Maka, mereka berusaha untuk mengangkat citra dan pamor mereka dengan jalan membuat silau pandangan manusia terhadap mereka. Dalam hal ini para ulama sendiri yang menghinakan dirinya sehingga dengan mudah mereka dapat dihinakan dan direndahkan martabatnya.
Jadilah para ulama itu sebagai pengikut penguasa yang paling rendah dan hina. Mereka berguguran di depan meja jamuan yang dipersiapkan penguasa. Maka tak perlu heran jika dengan sukarela mereka menuruti kehendak penguasa hingga dalam permasalahan yang bersifat syahwat yang paling hina. Mereka memberikan kesaksian palsu dan rekomendasi atas nama agama bagi para penguasa, mereka halalkan kelezatan yang telah Allah haramkan. Sudah lama minuman itu campur, tapi yang tersisa tempayan adalah ampas.
Dalam kondisi separah inilah kita mendapati zaman kita dan para pelakunya. Beberapa tahun yang lalu, di jalan Manarah, Tunisia, aku melihat dengan mata kepalaku, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan ulama Universitas Zaitunah, membungkukkan badan untuk mencium tangan seorang penyeleweng agama, dan pembuat bid’ah yang sombong. Sekiranya aku diberi wewenang menilainya, kusebut ia sebagai budaknya. Dari situlah aku baru melihat langsung bagaimana sebuah berhala modern disembah, dan saya baru tahu bagaimana seorang ulama menjadi cela bagi ilmunya. Dalam benakku terbersit syair Al-Mutanabbi:
Suatu kaum jatuh cinta pada berhalanya
Tapi tidak pada bau busuknya
Jatuhlah kehormatan ulama tersebut dalam penilaianku. Aku tidak akan menyebut kebaikannya ketika masih hidup, dan tidak sudi menyebutnya sebagai almarhum sepeninggalnya. Kematiannya juga tidak kuanggap—seperti ulama lainnya—sebagai kerugian bagi Islam.
Allah tidak berbuat zalim sama sekali terhadap para ulama, tetapi mereka sendirilah yang telah menzalimi diri mereka. Mereka sama sekali tidak tahu berterima kasih atas limpahan nikmat ilmu yang mereka peroleh maka Allah merampas kembali buah dari ilmu tersebut, yaitu kemuliaan, kekuasaan, keimaman, dan kepemimpinan.
Kekosongan dalam ranah kekuasaan yang seharusnya dikendalikan oleh para ulama ini berakibat fatal terhadap akidah dan akhlak umat Islam, di antaranya terjebaknya umat islam secara sistemik ke dalam pengaruh kekuasaan para pembohong yang sama sekali tidak memberikan petunjuk, bahkan menyesatkan. Mereka menyesatkan umat dari jalan yang lurus. Mereka juga menyebarkan penyakit-penyakit mematikan kepada umat Islam. Di antara penyakit yang paling membahayakan umat ialah penjajahan, yang mendapatkan tunggangan dan toleransi dari ulama semacam itu hingga dapat mencapai tujuannya yang busuk terhadap Islam dan umat Islam.
Sekiranya para ulama itu adalah para komandan sejati, yang memiliki jiwa yang hidup seperti para pendahulu yang memiliki tekad kuat dan lurus, niscaya para penjajah akan menghadapi benteng kokoh di bumi bagian barat maupun timur yang tak terkalahkan.
Demi Allah, kewibawaan para ulama tidak akan diperoleh kembali sampai mereka mau melaksanakan sumpah setia yang telah Allah ambil dari mereka dalam menjelaskan kebenaran. Mereka harus bersatu dalam memerangi segala macam bentuk bid’ah dan kesesatan dalam agama, apapun itu istilahnya. Juga memerangi pemahaman menyimpang yang menggerogoti akidah umat dan berbagai penyimpangan yang memisahkan antara teori dan realitas umat dalam jarak yang jauh. Sehingga seluruh umat islam dapat melihat secara jelas semua perbendaharaan dan warisan terpendam di dalam kitabullah dalam penjelmaan manusia ideal, serta aturan kebenaran yang baik dan sempurna yang tersirat dalam sirah Nabi Muhammad s.a.w.
* * *
Kekuatan dan kekuasaan memiliki pengaruh signifikan terhadap fisik dan jiwa. Keduanya adalah yang paling kuat pengaruhnya, paling tampak karakternya, dan paling lama menetap di dalam jiwa. Karena jalan untuk menguasai fisik adalah dengan menanamkan rasa takut, sedang perasaan takut semacam ini hanyalah bersifat sementara. Adapun pintu untuk menguasai jiwa adalah perasaan senang, sedangkan pendorongnya adalah qanaah dan ikhtiyar.
Sejatinya, ulama umat Islam memiliki pengaruh dan kekuasaan terhadap jiwa yang cukup besar. Hal ini banyak dipengaruhi oleh spiritualisme agama Islam dan karakternya yang mudah diterima jiwa manusia. Di hadapan para ulama, umat Islam secara umum akan tunduk dan patuh dengan sepenuhnya. Kepatuhan yang tulus, yang tidak dibuat-buat sama sakali. Karena dilandasi oleh kesadaran dan perasaan bahwa mereka adalah rujukan dalam menerangkan agama. Selain itu, ulama adalah penyambung lidah yang mampu mengungkapkan makna agama yang sejati dan hakiki.
Merekalah yang mampu menerangkan syariat Islam. Mereka pula yang dipercaya memikul tanggung jawab dalam mempertahankan keutuhan agama ini. Mereka yang mendapat kehormatan sebagai para pewaris Nabi.
Maka, fungsi ganda ulama adalah bertugas sebagai pemberi penjelasan dalam masalah peribadatan. Selain itu, mereka bertugas memutuskan hukum-hukum mu’amalah. Sedangkan tugas para penguasa sebenarnya hanyalah melaksanakan keputusan ulama yang mereka pandang lebih bermanfaat dalam pergaulan sehari-hari, baik yang bersifat individu maupun kemasyarakatan.
Kekuasaan yang mereka miliki semacam ini tampak cukup jelas pada masa pertama Islam jaya. Saat itu, ulama masih setia dan teguh pada Al-Qur’an dan Sunah. Mereka berjalan di atas jalan yang telah digariskan, dan berhenti di setiap batasan yang telah ditetapkan keduanya. Mereka gigih memerintahkan setiap perkara yang makruf menurut kaduanya. Sebaliknya, mereka tegar dalam mencegah setiap kemungkaran yang dinyatakan mungkar menurut keduanya. Mereka menuntun umat hanya dengan petunjuk keduanya sehingga kekuasaan mereka mencakup seluruh kalangan, bahkan para khalifah sekalipun.
Lisan mereka masih tajam dalam memberikan kritikan dan cacat kepada setiap orang yang menyimpang dari jalan lurus yang telah digariskan agama. Tidak membeda-bedakan siapa pun pelakunya.
Pendapat mereka dijadikan sebagai rujukan dalam setiap permasalahan, baik dalam urusan dunia maupun agama. Tidak terkecuali para khalifah saat itu, seperti Mu’awiyah dan sebagainya. Mereka semua mengakui keabsahan kekuasaan tak terbatas yang dimiliki para ulama semacam ini. Bahkan, mereka menjadikan para ulama sebagai penolong dalam menegakkan kebaikan dan perbaikan. Mereka tidak akan berani menetapkan suatu keputusan tanpa melibatkan para ulama.
Para penguasa yang otoriter sekalipun tak berani mendahului para ulama. Sebab, mereka sadar betul bahwa ulama berkuasa di atas kekuasaan mereka. Namun, mereka mulai mengadakan manuver dan langkah-langkah untuk melemahkan para ulama. Terkadang dengan metode tebar pesona untuk mengangkat pamornya, atau dengan berpura-pura baik di hadapan mereka. Tapi, kadang juga menggunakan cara kasar, konfrontasi terbuka dan dengan sengaja melanggar peraturan sebagai bentuk nyata pembangkangannya.
Dahulu Muawiyah r.a mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, dan memaksa seluruh rakyat untuk berbaiat kepadanya, baik dengan cara keras maupun lunak, sehingga ia berhasil mewujudkan keinginannya. Namun begitu, ia masih memandang baiat ini masih seperti sandiwara, selama ’Ubâdalah (Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar bin Khathab, Abdullah bin Amr bin ‘Ash) dan Hasan belum mau berbaiat kepadanya. Penyebab utamanya adalah mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tidak bisa dianggap enteng. Selain itu, mereka juga memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Oleh karena itu, Mu’awiyah r.a memutar haluan dengan menggunakan siasat yang didukung pedang.
Hal yang sama juga dipraktikkan oleh anak-anak Marwan setiap kali ada ulama yang absen dari baiat serupa, sebagaimana nasib yang dialami Sa’id bin Musayyib. Praktik semacam ini masih berjalan di kalangan para penguasa diktator selama para ulama masih memiliki hak berkuasa dalam ruang lingkup yang tak terbatas. Hingga suatu ketika di mana urusan ini beralih ke tangan generasi lain. Yaitu ketika kekuasaan jatuh ke tangan para amir, panglima, dan tentara. Di sisi lain, kekuasaan ini lepas dari genggaman para ulama dan khalifah secara bersamaan.
Seakan ini mengisyaratkan sebuah hukuman bagi para khalifah yang berani melonjak, juga sebagai hukuman bagi ulama yang rela mundur dari jabatan kekuasaan tak terbatas.
Selain praktik semacam ini terjadi dalam urusan baiat, ia juga terjadi dalam semua permasalahan lain yang diperebutkan oleh kedua penguasa ini.
Walaupun kondisinya seperti ini, para ulama masih tetap dalam posisi sebagai representasi dari kebenaran hakiki. Merekalah yang memegang kendali umat yang hakiki di tempat yang tak tersentuh oleh kekuasaan pemerintah yang semu. Mereka masih terjaga dan siaga menghadapi setiap peristiwa yang dihadapi umat Islam. Setiap kali mereka menemukan bayangan hantu bid’ah, dengan sigap mereka langsung menepisnya. Setiap kali mereka merasa ada kesesatan dan kemungkaran dalam agama, dengan cepat mereka merubahnya dengan perkataan dan perbuatan.
Saking hati-hatinya, mereka menyikapi dosa kecil seperti dosa besar. Mereka tidak terlalu gampang memberikan rukhshah, keringanan hukum. Langkah ini mereka lakukan sebagai bentuk antisipasi untuk menutup semua pintu yang menjurus kepada perbuatan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Mereka selalu bersikap dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan demikian, landasan berpikir mereka adalah dalil yang tidak mungkin menyesatkan; mereka bersandar pada hujah yang tak terbantahkan. Maka sudah sepantasnya jika seluruh umat memilih mereka sebagai rujukan untuk tempat bernaung sehingga lahirlah kesatuan beragama yang sama sekali tidak bisa dipecah belah, dan tidak berbeda-beda pendapat. Sampai ketika mereka terkena fitnah perpecahan antar mazhab, baik yang berhubungan dengan permasalahan prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Fanatisme mazhab semacam inilah yang menutupi kebenaran bagi mereka.
Dampaknya, secara umum, umat Islam memandang mereka tidak seperti sebelumnya, ketika mereka bersatu di bawah bendera agama. Persatuan yang menjamin keutuhan eksistensi mereka di dunia, menjaga keutuhan ilmu, dan menjamin keselamatan mereka dari perbedaan yang hanya sebatas dilandasi aspek kepentingan dan keuntungan masing-masing, yang ujung-ujungnya akan menyeret mereka ke dalam perpecahan yang berakibat kerusakan parah yang harus mereka tanggung.
Inilah peyebab melemahnya kekuasaan yang mereka miliki, sampai akhirnya kekuasaan ini pun diperjualbelikan di antara para penguasa jahat dan zalim dan komandan jahat dan bodoh. Mereka bersatu di atas satu tujuan, yaitu menindas orang awam. Mereka bersekongkol sehingga terbentuk duet maut yang menebar malapetaka bagi umat.
Para penguasa senantiasa membuat makar untuk menjauhkan kedudukan para ulama—setelah sekian lama—dari posisi sebagai pemimpin spiritual umat Islam. Kemudian mereka menggantinya dengan aktor-aktor baru yang dapat mereka dikte untuk menipu orang awam. Mereka nobatkan tokoh-tokoh dengan memberinya topeng agama supaya bisa menarik simpati umat karena kebesaran namanya. Padahal, sejatinya mereka adalah orang-orang yang tidak merasa membutuhkan ilmu karena memang bukan ahlinya. Mereka meminta bantuan dari para penguasa untuk mendukung kekuatannya. Sehingga kedua belah pihak bersepakat untuk saling berbagi rekomendasi dan berbagi keuntungan demi kepentingan masing-masing dengan syarat harus mendiamkan setiap kemungkaran yang terjadi.
Artinya, ulama menyesatkan penguasa, dan sebaliknya, penguasa merendahkan ulama. Sejatinya, penyesatan dalam urusan agama merupakan sarana menuju kehinaan di dunia. Umat pun terninabobokan dengan tepukan atas nama agama, dengan kebodohan yang dihiasi, dengan menjauhkan ilmu, dengan sesuatu yang katanya mendekatkan jalan mereka ke surga padahal hakikatnya tidak, tapi justru menjauhkannya dengan perbuatan-perbuatan bid’ah.
Dalam hal ini para ulama lalai, mereka lelap dalam tidur panjang yang jauh lebih lama daripada tidurnya Ashâbul Kahfi. Ketika mereka membuka matanya, mereka dihadapkan pada agama baru yang bukan merupakan agama sebelumnya. Lalu mereka poles agama tersebut agar terlihat samar di mata umat, sampai mereka mau mengikutinya. Padahal para ulama tersebut tak lain hanyalah para pengikut dan pengekor penguasa, meskipun sebelumnya mereka menjadi panutan umat.
Sebagai bukti, mereka menjadi pemberi label dan rekomendasi syar’i bagi para penguasa. Mereka memberikan kesaksian bahwa para pejabat itu adalah orang-orang yang sempurna dan mulia. Termasuk mereka berikan legalitas syar’i kepada para pelaku bid’ah yang menobatkan diri mereka sebagai ulil amri yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Tentu dengan makna yang mereka selewengkan dari makna sebenarnya yang digunakan dalam agama.
Tidak cukup sampai di situ, bahkan mereka berani lancang menyematkan sifat-sifat ketuhanan yang hanya layak dimiliki Allah kepada mereka.
Para penguasa pembuat bid’ah uluhiyah semacam ini menyadari kecerobohan para ulama yang sangat berambisi mengejar keuntungan dunia yang hina. Mereka juga memahami bahwa para ulama akan terjerumus dalam kelezatan makanan ”kotor”. Maka mereka tuntun ulama itu dengan tali kekang di tangan mereka. Lalu mereka menyadari bahwa para ulama telah setuju dengan kehinaan dan kerendahan yang diberikan kepada dirinya. Maka, mereka berusaha untuk mengangkat citra dan pamor mereka dengan jalan membuat silau pandangan manusia terhadap mereka. Dalam hal ini para ulama sendiri yang menghinakan dirinya sehingga dengan mudah mereka dapat dihinakan dan direndahkan martabatnya.
Jadilah para ulama itu sebagai pengikut penguasa yang paling rendah dan hina. Mereka berguguran di depan meja jamuan yang dipersiapkan penguasa. Maka tak perlu heran jika dengan sukarela mereka menuruti kehendak penguasa hingga dalam permasalahan yang bersifat syahwat yang paling hina. Mereka memberikan kesaksian palsu dan rekomendasi atas nama agama bagi para penguasa, mereka halalkan kelezatan yang telah Allah haramkan. Sudah lama minuman itu campur, tapi yang tersisa tempayan adalah ampas.
Dalam kondisi separah inilah kita mendapati zaman kita dan para pelakunya. Beberapa tahun yang lalu, di jalan Manarah, Tunisia, aku melihat dengan mata kepalaku, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan ulama Universitas Zaitunah, membungkukkan badan untuk mencium tangan seorang penyeleweng agama, dan pembuat bid’ah yang sombong. Sekiranya aku diberi wewenang menilainya, kusebut ia sebagai budaknya. Dari situlah aku baru melihat langsung bagaimana sebuah berhala modern disembah, dan saya baru tahu bagaimana seorang ulama menjadi cela bagi ilmunya. Dalam benakku terbersit syair Al-Mutanabbi:
Suatu kaum jatuh cinta pada berhalanya
Tapi tidak pada bau busuknya
Jatuhlah kehormatan ulama tersebut dalam penilaianku. Aku tidak akan menyebut kebaikannya ketika masih hidup, dan tidak sudi menyebutnya sebagai almarhum sepeninggalnya. Kematiannya juga tidak kuanggap—seperti ulama lainnya—sebagai kerugian bagi Islam.
Allah tidak berbuat zalim sama sekali terhadap para ulama, tetapi mereka sendirilah yang telah menzalimi diri mereka. Mereka sama sekali tidak tahu berterima kasih atas limpahan nikmat ilmu yang mereka peroleh maka Allah merampas kembali buah dari ilmu tersebut, yaitu kemuliaan, kekuasaan, keimaman, dan kepemimpinan.
Kekosongan dalam ranah kekuasaan yang seharusnya dikendalikan oleh para ulama ini berakibat fatal terhadap akidah dan akhlak umat Islam, di antaranya terjebaknya umat islam secara sistemik ke dalam pengaruh kekuasaan para pembohong yang sama sekali tidak memberikan petunjuk, bahkan menyesatkan. Mereka menyesatkan umat dari jalan yang lurus. Mereka juga menyebarkan penyakit-penyakit mematikan kepada umat Islam. Di antara penyakit yang paling membahayakan umat ialah penjajahan, yang mendapatkan tunggangan dan toleransi dari ulama semacam itu hingga dapat mencapai tujuannya yang busuk terhadap Islam dan umat Islam.
Sekiranya para ulama itu adalah para komandan sejati, yang memiliki jiwa yang hidup seperti para pendahulu yang memiliki tekad kuat dan lurus, niscaya para penjajah akan menghadapi benteng kokoh di bumi bagian barat maupun timur yang tak terkalahkan.
Demi Allah, kewibawaan para ulama tidak akan diperoleh kembali sampai mereka mau melaksanakan sumpah setia yang telah Allah ambil dari mereka dalam menjelaskan kebenaran. Mereka harus bersatu dalam memerangi segala macam bentuk bid’ah dan kesesatan dalam agama, apapun itu istilahnya. Juga memerangi pemahaman menyimpang yang menggerogoti akidah umat dan berbagai penyimpangan yang memisahkan antara teori dan realitas umat dalam jarak yang jauh. Sehingga seluruh umat islam dapat melihat secara jelas semua perbendaharaan dan warisan terpendam di dalam kitabullah dalam penjelmaan manusia ideal, serta aturan kebenaran yang baik dan sempurna yang tersirat dalam sirah Nabi Muhammad s.a.w.
* * *
Subscribe to:
Posts (Atom)