Tuesday, November 18, 2008

MERINDUKAN SYARIAT ISLAM

Dalam sebuah ceramah di hadapan orang-orang awam, Ustad Abu Bakar Ba’asyir pernah menyampaikan materi tentang penegakan syariat Islam. Kata beliau, “Siapa yang menolak syariat Islam, maka kalau mati ia tidak usah dishalatkan dan dimakamkan. Biarkan ia mati digantung di atas pohon atau dibakar karena ia tidak mau menerima syariat Islam.”

Seluruh pendengar terhenyak dan berlahan-lahan mulai sadar. Logikanya, menyalatkan dan menguburkan mayat adalah syariat Islam. Siapa yang menolaknya, berarti tidak perlu diperlakukan seperti itu. Bahasa yang sederhana dan langsung mengena tersebut, menjadi salah satu sebab banyaknya umat Islam yang mulai mendukung ide penegakan syariat Islam di Indonesia.

Meskipun, tidak dipungkiri masih banyak orang yang tidak suka dan antipati terhadap syariat Islam. Bahkan, isu tersebut menjadi tema kontroversi yang menarik perhatian banyak orang, baik dari kalangan Muslim maupun orang-orang di luar mereka.

Paling tidak ada beberapa argumen yang diajukan untuk membenarkan sikap penolakan tersebut. Ada yang bernuansa politis dan banyak pula yang berkedok ilmiah. Kedua argumen tersebut sulit dipisahkan. Pertama, yang menolak atas nama politik selalu berlindung di balik prinsip demokrasi. Kedua, yang berkedok ilmiah kerap kali menggunakan prinsip maslahah atau yang populer disebut dengan prinsip maqashid syariah.

Sahihkah argumen tersebut? Alasan politik tampaknya sudah sangat lemah digunakan akhir-akhir ini. Karena sistem demokrasi tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyat. Bahkan, yang kasat mata, demokrasi menjadi ajang politik kotor. Berdasarkan data di lapangan, jumlah golput kian meningkat. Hal itu jelas menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia politik di negara ini, baik partai maupun anggota dewannya.

Tidak hanya itu, citra demokrasi juga dirusak oleh para anggota dewan yang menang dan pemilu. Berita tentang korupsi dan suap-menyuap serasa tak pernah sepi ditanyangkan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Kemuakan rakyat juga semakin menjadi-jadi karena dipicu oleh kerendahan akhlak para wakil rakyat yang duduk di kursi dewan perwakilan. Perselingkuhan, main perempuan, dan bagi-bagi uang rakyat adalah sedikit bukti yang telah mencoreng orang-orang ‘terhormat’ tersebut. Rakyat akhirnya menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bisa memberi solusi atas permasalahan bangsa ini.
Soal prinsip maslahah, apa yang disampaikan para penentang syariat Islam sebenarnya jauh dari ilmiah. Justru seluruh aturan Islam itu mengandung maslahah bagi tatanan kehidupan dunia ini, kapan saja dan di mana saja. Ini sudah disepakati oleh seluruh ulama kaum Muslim. Ibnul Qayyim menuturkan, “Sesungguhnya dasar dan fondasi syariat Islam adalah kebaikan manusia di dunia dan akhirat. ….”

Ada baiknya di sini diberikan contoh bagaimana ambiguitasnya sikap orang-orang liberal terhadap konsep maqashid tadi. Kita ambil contoh hukum hudud. Sebagaimana penjelasan di depan, orang-orang yang anti syariat Islam menolak hukum hudud dengan anggapan bahwa ia kejam dan sudah kadaluwarsa. Mereka menyangka hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini. Betulkah? Ini perlu penelitian lebih rinci.

Kalau kita teliti, ternyata setiap hukuman memiliki tujuan ganda. Pertama, untuk menciptakan keadilan bagi yang teraniaya dan di sini diperlukan adanya prinsip balasan (retributive). Kedua, sebagai pelajaran bagi masyarakat banyak atau selalu disebut dengan pencegahan (deterrence). Apa saja hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hanya akan menciptakan kekacauan yang lebih hebat.
Sebagai contoh, para koruptor yang mencuri uang rakyat trilyunan rupiah tidak akan jera dan tidak akan tobat hanya dengan dipenjara beberapa bulan. Yang ada hanya kecanduan dan keinginan untuk selalu korupsi.

Contoh lain, apabila keluarga yang terbunuh tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh, maka akan timbul kekecewaan dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional. Orang tersebut mungkin akan melakukan balasan pembunuhan, mungkin terhadap si pelaku atau keluarga terdekat si pembunuh. Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi siklus pembunuhan yang sangat panjang. Demikianlah kelemahan prinsip maqasid yang diperjuangkan orang-orang yang takut terhadap syariat Islam.

Maka, kaidah yang harus kita pegang adalah di mana syariat ditegakkan maka di sana pasti ada maslahat. Mengapa? Karena terkadang yang kita anggap maslahat sebenarnya bukan maslahat dan apa yang kita anggap baik sebenarnya malah akan mempersulit penyelesaian sebuah persoalan.

Ketika syariat ada, sudah pasti maslahat hadir di sana. Sebab, Allah tidak mungkin mensyariatkan sesuatu tanpa ada maslahatnya, meskipun kadang-kadang akal kita belum mampu menangkap dan memahami maslahat tersebut. Nah, pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji: apakah kita menerima dan melaksanakannya atau sebaliknya malah menentangnya. Maka, siapa yang keimanan dan keislamannya baik, ia pasti merindukan tegaknya syariat Islam. Kalau tidak, maka mari kita mengoreksi kualitas pemahaman agama kita.