Wednesday, May 27, 2009

ILUSI PENOLAK NEGARA ISLAM (Kritik Terhadap Buku Ilusi Negara Islam).

Dewasa ini, umat Islam kembali ‘diuji’ dan sekaligus diteror dengan pemikiran nyleleh dalam buku Ilusi Negara Islam. Buku setebal 322 halaman tersebut diterbitkan oleh Gerakan Bineka Tunggal Ika, the Wahid Institut, dan Maarif Institut. Tak tanggung-tanggung, di sampul belakang tertulis bahwa buku tersebut merupakan hasil penelitian selama lebih dari dua tahun.
Nah, tulisan ini akan mengkritisi pemahaman yang menyatakan bahwa negara Islam atau khilafah merupakan sebuah ilusi atau bahkan bahaya yang perlu diwaspadai bersama.

Keresahan Kaum Liberal

Penggunaan judul Ilusi Negara Islam merupakan cermin kerisauan yang dialami orang-orang liberal. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ilusi artinya sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan; pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan; tidak dapat dipercaya; palsu. Sementara, negara ialah organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; kelompok sosial yg menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya. Dan, Islam di sana diartikan agama yg diajarkan oleh Nabi Muhammad, berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah.

Tentu saja, melihat pengertian tersebut, siapa saja yang melek sirah nabawi sudah pasti dapat memahami bahwa negara Islam bukanlah ilusi. Ia merupakan fakta sejarah yang tak terbantah.

Bila ditilik dari ranah akademik, memang disebutkan ada tiga klasifikasi konsepsi negara Islam menurut pakar Islam kontemporer. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Golongan ini menyatakan bahwa bahwa dalam bernegara, umat Islam tidak perlu meniru sistem ketatanegaraan Barat, tetapi sebaliknya hendaknya kembali ke sistem ketatanegaraan Islam (khilafah).

Golongan kedua berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik. Menurut golongan ini, Nabi Muhammad tidak pernah bertugas dan atau bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara.

Golongan ketiga perpendapat bahwa Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu, kendatipun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori lengkap, namun di sana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.

Jelas sekali, buku yang—dieditori oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur), diprologi oleh Syafi’i Maarif, dan diepilogi oleh Mustofa Bisri—membawa nama besar kedua ormas Islam (NU dan Muhammadiyah) tersebut menafikan pendapat yang pertama. Tentu saja, cara tersebut merupakan pemaksaan pendapat dan pembodohan terhadap umat. Ditambah lagi, aroma adu domba terhadap umat (NU dan Muhammadiyah Vs Wahabi/Salafi, Ikhawanul Muslim/PKS, dan Hizbut Tahrir) sangat tajam menusuk hidung sehingga menghilangkan aroma ‘penelitian’ itu sendiri.

Kedudukan Khilafah

Orang-orang Barat menyelidiki dengan penuh seksama tentang apa yang menjadi rahasia kejayaan Islam dan eksistensinya di permukaan bumi. Sampai mereka berkesimpulan bahwa ada beberapa perkara yang dapat menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia, yaitu Kakbah, Masjid Nabawi, dan Jihad fi sabilillah. Selanjutnya mereka mengatakan, “Jika demikian halnya maka kita perlu memfokuskan perhatian kita pada persoalan-persoalan di atas. Fokus kita yang pertama adalah “meruntuhkan khilafah”, oleh karena keberadaan khilafah bagi kaum muslim ibarat menara api yang memberikan penerang di malam gelap gulita.”

Semenjak runtuhnya khilafah Utsmaniyyah (1924 M), tembok penghalang yang melindungi umat Islam dari penyerangan dan makar musuh telah runtuh. Hal itu sekaligus membentangkan jalan yang lebar bagi musuh-musuh Islam untuk melakukan invasi kapan pun mereka mau. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri kaum Muslim dan berusaha menjauhkan Islam dari kehidupan manusia dalam semua aspek.

Pasca runtuhnya khilafah inilah kondisi politik dan peradaban umat Islam berada pada periode terburuk. Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Baihaqi telah memberikan isyarat tentang periodisasi perjalanan umat ini. Pertama, periode nubuwwah, yaitu masa ketika umat Islam hidup bersama Rasulullah. Kedua, periode khilafah ala minhajin nubuwwah, yaitu masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung kira-kira 30 tahun. Ketiga, periode mulkan ‘adhan, yaitu masa di mana para raja atau penguasa suka menindas, meski sistem pemerintahnya secara formal berlandaskan Islam. Menurut sebagian ahli sejarah Islam, periode ketiga ini dimulai sejak berakhirnya masa Khulafaur Rasyidin sampai berakhirnya kesultanan Utsmaniyyah. Keempat, periode mulkan jabbriyyan, yaitu masa di mana umat Islam hidup di bawah sistem penguasa atau raja-raja yang sekuler. Setelah berakhir periode keempat ini, sejarah akan berulang kembali ke masa khilafah ala minhajin nubuwwah. Adapun masa sekarang ini dikategorikan sebagai periode mulkan jabbriyyan di mana umat Islam hidup dalam suasana sistem penguasa atau raja-raja sekuler.

Pada periode ini umat Islam hidup terpecah belah di negara-negara kecil yang lemah. Mereka terbagi-bagi atas dasar letak geografis dan kebangsaan. Hal ini pula yang menjadikan umat Islam lemah dalam menghadapi kekuatan musuh yang mengancam. Lebih parah lagi, di mata dunia umat Islam tidak memiliki hak perlindungan yang sama dengan umat dan bangsa lain. Penyerangan terhadap umat Islam di Afghanistan, Irak, dan Palestina oleh Amerika dan Israel akhir-akhir ini adalah bukti yang tak terbantahkan. Ditambah lagi, hidup di bawah sistem sekuler menjadikan mereka tidak berkutik untuk menerapkan hukum-hukum Allah, khususnya dalam masalah negara dan kemasyarakatan. Akibatnya, upaya-upaya mereka dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat seperti halnya kriminalitas, dirasa kurang efektif.

Dasar Negara Khilafah

Dalam khazanah keilmuan Islam juga banyak didapati keterangan-keterangan berkenaan dengan pengertian khilafah, baik ditinjau dari definisi bahasa maupun syar’i.
Al-Qur’an menyebutkan:
     
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah: 30).
Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan wajibnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati agar semuanya bisa bersepakat dalam satu kesepakatan dam terlaksananya hukum-hukum kekhalifahan.
Allah juga berfirman:
       •       
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi….” (An-Nur: 55)

Menurut Abul A’la Al-Maududi, ayat ini menguraikan secara gamblang teori Islam mengenai negara. Pertama, Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena kedaulatan menurut Islam hanya milik Tuhan. Kedua, kekuasaan untuk memerintah bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin. Ayat ini tidak menyatakan bahwa orang atau kelompok tertentu dari kalangannyalah yang akan meraih kedudukan ini.

Dari keterangan ayat-ayat tersebut memberikan pengertian bahwa khilafah adalah sistem politik Islam yang sah dan dijanjikan Allah akan diberikan sekali lagi kepada kaum Muslim.

Dalam khazanah Islam, khilafah adalah konsep yang sudah masyhur. Buku-buku fikih yang mu’tabar dari seluruh mazhab, membahas persoalan tentang kepemimpinan ketatanegaraan (imarah, imamah, atau khilafah) dalam bab tersendiri sebagai topik khusus. Kitab Shahih Bukhari memberi porsi khusus tentang hadis-hadis kekhilafahan dan kepemimpinan dalam bab tersendiri yang diberi judul Kitab Al-Ahkam, sedangkan Shahih Muslim memberinya ruang khusus dalam bab Kitab Al-Imarah.

Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kamaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasulullah) dalam memelihara urusan agama dan mengatur politik keduniaan.

Ada beberapa riwayat yang sahih sanadnya yang menjelaskan adanya pemikiran umat Islam (para shahabat) waktu itu yang memikirkan khalifah sesudah Rasulullah. Pemikiran tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka sesudah Nabi, sempat muncul terutama ketika sakit Nabi semakin parah?

Di antaranya ialah riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, “Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah?’ Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, ‘Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika hal itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.’ Ali berkata, ‘Demi Allah, jika kami minta kepada Rasulullah lalu beliau menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.’”

Diriwayatkan juga dari Ali, ia berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah yang akan menjadi pemimpin setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Jika kamu menjadikan Abu Bakar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia orang terpercaya, zuhud dalam urusan dunia, dan senang kehidupan akhirat. Jika kamu menjadikan Umar sebagai pemimpin, maka kamu akan mendapatkan dia sebagai orang yang kuat, terpercaya, dan tidak takut kecaman siapa pun dalam menjalankan hukum Allah. Dan jika kamu menjadikan Ali sebagai pemimpin, dan saya melihat kamu tidak akan melakukannya, maka kamu akan mendapatkan dia orang yang memberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk, yang akan membimbingmu ke jalan yang lurus.’”

Keterangan dari hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa pemikiran tentang imamah atau khilafah telah muncul pada masa hidup Rasulullah. Namun, perselisisihan tentang khilafah itu baru terjadi setelah beliau wafat, dengan diadakannya pertemuan di Saqifah, yang diikuti dengan pembaitan Abu Bakar.

Uraian di atas, kiranya cukup untuk menjelaskan konsep negara Islam dalam Islam. Lalu, manakah yang perlu dipersoalkan? Anehnya, orang-orang liberal yang sering menyuarakan kebebasan dan anti otoritas tampaknya tak mau melihat orang lain bebas memilih pendapat yang sahih.

METODE BERPIKIR ISLAMI

MUKADIMAH
Secara bahasa, berpikir ialah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Berpikir merupakan cara khas manusia yang membedakannya dari makhluk lain. Karena kemampuan berpikir inilah manusia merupakan makhluk yang dimuliakan Allah, seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an (yang artinya), "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam, Kami angkut mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Kami ciptakan."

Tidak hanya itu, bila kita kaji lebih dalam, amanah kekhalifahan yang hanya diserahkan Allah kepada manusia (Adam) pun adalah karena faktor berpikir yang hanya dimiliki oleh manusia itu. Mengapa? Sebab, dengan kemampuan berpikir manusia dapat menyerap ilmu pengetahuan dan mentransfernya. Peristiwa dialog antara malaikat, Adam, dan Allah memberikan gambaran yang jelas kepada kita betapa pemuliaan itu berpangkal pada kemampuan berpikir dan menyimpan ilmu.

Dialog tersebut dapat kita simak dari ayat-ayat berikut: "Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) itu seluruhnya, kemudian Allah mengajukannya kepada para malaikat sambil berkata, 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang benar.' Mereka menjawab, 'Mahasuci Engkau, tiada yang kami ketahui selain apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.' Allah berfirman, 'Hai Adam, beri tahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya, Allah berfirman, 'Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu zahirkan dan yang kamu sembunyikan'."

Penghargaan Allah kepada manusia tidak berhenti di situ. Saking besarnya, Allah sampai memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam. Bahkan, yang menolak perintah sujud itu dicap sebagai kafir. Adakah pemuliaan yang melebihi penghargaan yang luar biasa itu? Persoalannya, berpikir yang bagaimanakah yang layak mendapatkan penghargaan? Tulisan ini bermaksud untuk menjabarkannya.


Bagaiman Kita Berpikir Islami?

Islam memandang berpikir sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berpikir akan mengantarkan manusia untuk menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami fungsinya sebagai khalifah (pengelola) di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah dengan beribadah. Al-Qur'an juga berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu, manusia akan mampu mengenal kebenaran (al-haq), yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah berfirman, "Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran."

Dalam pandangan Islam, keilmuan dengan ketakwaan memiliki hubungan yang sangat erat. Semakin dalam ilmu seseorang maka akan semakin takut kepada Allah. Al-Qur'an menyebutkan, "Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah orang-orang yang berilmu dari hamba-Nya." Oleh karena itu, proses berpikir yang tidak mengantarkan pada derajat takwa, sejatinya hanya berputar dalam kecacatan intelektual. Dan karena berpikir adalah suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh semua orang, baik muslim atau nonmuslim, yang akan menghasilkan kesimpulan yang beragam, maka diperlukan suatu kerangka yang dapat mengarahkan manusia dalam berpikir untuk mencapai sasarannya. Sebab, tanpa rumusan pola itu, manusia akan terperangkap pada cara berpikir yang lepas kendali. Persoalannya, tidak menemukan kebenaran itu dalam Islam identik dengan kesesatan. Allah berfirman (yang artinya), "Adakah di luar kebenaran itu kalau bukan kesesatan?"

Al-Qur'an dan hadits Nabi telah memberikan beberapa kaidah berpikir yang mengantarkan seseorang berpikir secara proporsional dan benar. Metode tersebut adalah sebagai berikut.

a. Wahyu adalah satu-satunya sumber akidah dan syariah
Setiap muslim diminta agar menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber dalam konsep dan praktik sekaligus, tanpa memilah-milahnya. Kita hendaknya mengajukan pertanyaan kepada Al-Qur'an, kemudian mendengar jawabannya dari Allah. Mencari jawaban itu hanya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah saja, bukan dari sumber-sumber lainnya.

Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai wahyu dari langit adalah hakikat yang sudah merupakan aksioma dan menjadi prinsip Islam. Sayangnya banyak kaum intelektual yang melangkahi prinsip ini, sengaja atau tidak. Mereka cenderung menggunakan sumber-sumber produk manusia, di samping sumber-sumber utama Islam. Mereka juga menyimpan seperangkat pemikiran, teori, dan hipotesa sebagai peninggalan peradaban kuno yang cenderung berlainan dengan konsep Islam. Kondisi seperti ini sudah tentu tidak sejalan dengan kaidah menempatkan wahyu sebagai satu-satunya sumber dalam akidah, hukum, dan masalah metafisik.

Seharusnya sikap muslim yang mencari kebenaran, ketika membaca Al-Qur'an dia mengosongkan pikirannya dari seluruh jenis teori dan konsep yang dihasilkan manusia tanpa dasar wahyu.

b. Hubungan antara wahyu, akal, dan metode interpretasi rasional
Kaidah ini berkaitan dengan penempatan posisi akal dan perannya dalam menangkap pesan (teks) Ilahi. Pada prinsipnya, Islam telah menetapkan adanya dua alam yang harus dibenarkan manusia sebagi prasyarat diterima keislamannya. Kedua alam itu ialah alam ghaib dan alam nyata.

Spesifikasi alam ghaib ialah berada di luar batas ruang dan waktu. Dua kawasan yang merupakan jalur operasi akal manusia. Alam gaib, seperti Allah, malaikat, langit, jin, akhirat adalah kawasan yang berada di luar jangkauan manusia. Manusia tidak bakal mengetahuinya secara rinci dengan mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Fungsi akal di sini sekadar menerima informasi, memahami, dan membenarkan. Adapun alam nyata, objek dan komponennya berada dalam batas ruang dan waktu. Akal manusia bertugas menyelidikinya untuk sampai pada hakikat.

Atas dasar ini, kebenaran di sekitar alam gaib tidak dapat didiskusikan secara rasional dan menggunakan logika, tetapi kita terima melalui teks secara apa adanya. Peran akal berada pada batas pengklasifikasian, penempatan, dan penetapan, agar keluar dengan kesimpulan yang general dan sempurna serta tidak bertentangan dengan akal dan logika.

Dalam Islam dikenal dua kategori hakikat: hakikat tawqifiyah yang berskala gaib dan didapatkan melalui informasi Al-Qur'an dan As-Sunnah. Posisinya berada di atas akal manusia. Dan, hakikat tawfiqiyah yang sesungguhnya menjadi objek dan lapangan akal manusia.

Kekeliruan banyak orang, seperti perkembangan filsafat Yunani, mencampuradukkan dua kategori tersebut, sehingga membebankan kepada akal hal-hal yang sebenarnya berada di luar kemampuannya. Manusia juga sering tertipu ketika akal mampu memerankan fungsinya secara baik dan prima pada ruang "tawfiqiyah", mengira bahwa akal juga mampu menembus wilayah "tawqifiyah", atau setidak-tidaknya tergiur untuk menerobos ke kawasan itu.

Pada zaman modern ini, kita perhatikan akal manusia mampu menemukan hal-hal menakjubkan di alam materi. Lalu kita mengira bahwa akal yang selama ini mampu menciptakan pesawat, roket, menghancurkan atom, membuat bom hidrogen, menjelajah ruang angkasa, juga memiliki kemampuan untuk merumuskan peraturan yang menata hidup manusia. Kita lupa bahwa keberhasilan yang diraih akal selama ini ketika ia beroperasi pada jalurnya secara natural, karena memang ia dipersiapkan untuk itu. Akan tetapi, sekiranya akal beroperasi di jalur "alam manusia", berarti ia beroperasi dalam alam yang tidak mengenal batas dan amat kabur. Akibatnya, akal menemukan jalan buntu dan keluar dengan konklusi yang keliru.

c. Mencari kebenaran dengan sikap jernih

Yang dimaksud di sini ialah sikap objektif sebagai pencari kebenaran dari wahyu Al-Qur'an, bukan dengan tendensi tertentu, seperti mencari-cari dalil untuk melemahkan pendapat lawan. Hakikat Al-Qur'an adalah parameter untuk mengukur kebenaran suatu paham, teori, dan filsafat-filsafat yang ada, oleh karena itu harus diketahui secara utuh dan dengan cara langsung dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebaliknya, perjalanan yang ditempuh pemikiran manusia untuk sampai kepada kebenaran amat lamban, sebab ia tidak mampu menemukan kebenaran secara spontan tanpa bantuan kekuatan lain.

d. Kebenaran dalam Al-Qur'an senantiasa paralel

Yang dimaksud di sini ialah keharusan membandingkan antara kesimpulan yang didapat dari Al-Qur'an--melalui metode deduktif--dengan kebenaran-kebenaran Al-Qur'an yang mutlak. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa kebenaran dalam Al-Qur'an tidak akan mengalami kontradiksi dengan sesamanya, karena ia berasal dari sumber yang sama. Jika ditemukan adanya kelainan, secara otomatis kesimpulan yang diperoleh adalah keliru dan ditolak. Hal ini didasarkan pada dua ketentuan yang aksiomatik dan disepakati oleh kaum muslimin dan didukung oleh metodologi ilmiah dalam kritik sejarah, yaitu sebagai berikut. 1. Semua ayat-ayat Al-Qur'an berasal dari Allah SWT, dan Allah menjanjikan pemeliharaan mutlak atas kesucian Al-Qur'an. 2. Al-Qur'an secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang utuh. Antara sebagian dengan bagian lainnya bersesuaian dan tidak ditemui kontradiksi.

e. Bersikap Jujur, tanpa Prakonsepsi

Peneliti Al-Qur'an dituntut agar bersikap jujur dan ikhlas untuk mencri kebenaran murni. Peneliti hendaknya membebaskan dirinya dari pengaruh hawa nafsu, kepentingan, fanatisme kelompok, dan paham yang dianutnya.

Hal ini memang berkaitan kepada individu peneliti dan mentalitas serta moralitasnya. Akan tetapi, manusia adalah satu kesatuan. Memilah-milah antara sarana dan kemampuannya dalam memberi interpretasi atas aktivitas manusia adalah cara yang keliru. Tidaklah semua orang yang membaca Al-Qur'an akan mendapat petunjuk. Bahkan, ada yang membacanya tetapi disesatkan oleh Allah. Lalu, siapa yang mendapat petunjuk dan siapa pula yang tersesat? Jawabannya dari Al-Qur'an itu sendiri.

Menurut Al-Qur'an, motivasi juga memegang peran penting dalam menerima kebenaran atau menolaknya. Allah memberikan gambaran, perumpamaan, peringatan, dan janji-janji agar dipikirkan, tetapi orang-orang kafir justru semakin menyimpang dari jalan yang benar.

Pemikiran Islam di Tengah Pemikiran-Pemikiran Lainnya

Jika kita mencari perumpamaan antara pemikiran Islam dengan pemikiran produk manusia lainnya, ibarat bunga mawar yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam. Setidaknya ada dua filsafat yang saling kontradiktif dalam ajarannya, sementara posisi Islam berada di tengah dan berjalan secara seimbang. Kedua filsafat itu ialah materialisme dan spiritualisme.

a. Paham Materialisme

Jika kita memperhatikan sistem yang berlaku sekarang, kebanyakan berdiri di atas paham "materialisme", suatu paham yang mengumandangkan "sekularisme" dan menyanjung-nyanjungnya. Memang penerapan paham ini di sebagian negeri masih memberikan ruang bagi "agama", tetapi ia menempatkan agama pada posisi yang sangat terbatas. Sementara, di negara-negara tertentu agama benar-benar diperangi dan diharamkan.

Sesungguhnya materialisme adalah paham yang dasar dan akarnya sudah sangat jauh ditelan sejarah, tetapi muncul ke permukaan dengan nama dan simbol yang berbeda-beda, namun akarnya sama, yaitu mementingkan materi dan menjadikannya sebagai dasar dan pijakan, baik mengakui posisi agama ataupun mengingkarinya secara total.

Al-Qur'an sudah lama mengidentifikasi paham ini dengan mengatakan, "Kehidupan kami tidak ada lain dari kehidupan dunia, kami mengalami mati dan hidup dan kami tidak akan dibangkitkan lagi." (Al-Mu'minun: 37).

Kehidupan yang didasarkan atas paham ini akan mengalami tantangan-tantangan yang cukup berat, karena tuntutan manusia yang cukup mendesak pada pemenuhan kebutuhan rohani dan alam ghaib, sebagaimana kebutuhan fisik dan materi. Kenyataan yang dialami umat manusia belakangan ini sebenarnya sudah cukup menjadi "jawaban" bagi mereka yang memandang hidup ini hanya materi, dan mereka membangun teori, sikap, dan kehidupannya atas dasar materi murni. Tidak ada kondisi di mana manusia dalam keadaan paling sengsara dari kondisi kehidupan materialis.

b. Tenggelam dalam Spiritualisme (Pola Hidup Kerahiban)

Paham ini kebalikan dari paham pertama, dan sama-sama tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi manusia. Bagi penganut paham ini, penyiksaan diri, menjauhi kehidupan materi adalah ukuran kebahagiaan seseorang.

Dalam sejarah umat manusia, filsafat ini ditampilkan oleh pemuka-pemuka agama Nasrani (rahib) yang cenderung hidup menyiksa dirinya untuk meraih ridha tuhannya. Sangat mengerikan jika kita mendengar gaya hidup para rahib itu. Ada di antara mereka yang tidak menyentuh air selama empat puluh tahun, karena menurut keyakinannya bahwa hidup bersih dan rapi dapat mengurangi penghambaan manusia kepada Tuhan. Ada pula yang hidup dan tidur di comberan hingga ulat-ulat menyantapi daging-daging tubuhnya. Ada lagi yang berdiri dengan kaki sebelah selama lima belas tahun. Banyak cerita-cerita aneh yang dilakukan para rahib untuk menjauhi kehidupan.

Dengan demikian, paham yang sesuai dengan fitrah manusia adalah Islam. Islam berada di tengah-tengah dari kedua keadaan yang ekstrem tersebut. Betapa indahnya hidup di bawah naungan Islam yang mencarikan bagi manusia jalan kehidupan yang seimbang di dunia dan selamat di akhirat.

Sumber: Diadaptasi dari Islam dalam Berbagai Dimensi, Dr. Daud Rasyid, M.A. (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 87-97).