Wednesday, July 23, 2008

Benarkah Tuhan Menurut Persepsi Kita?

Oleh: Fahrur Mu'is
Resensi Buku Sejarah Tuhan

Kesan pertama membaca judul buku Karen Amstrong ini, kita langsung mencium aroma kontroversi. Judul tersebut lebih dari cukup untuk dikatakan bombastis dan provokatif. Sebab secara bahasa, sejarah berarti asal-usul (keturunan) silsilah; kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; dan pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi dalam masa lampau. Sementara itu, Tuhan ialah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa; sesuatu yg dianggap sebagai Tuhan.

Bahkan, judul tersebut terkesan sedikit membohongi karena ia tidak membahas sejarah Tuhan, tapi sejarah pencarian tuhan oleh manusia. Makna ini dipertegas dalam judul kecil yang menyebutkan: kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 tahun.

Buku ini terbagai atas 11 bab. Bab 1 pada mulanya, berisi penelusuran sejarah awal kehadiran Tuhan. Bab 2 Tuhan yang satu, berisi kisah Yesaya dan Yhwe Tuhan bangsa Yahudi. Bab 3 Cahaya bagi kaum non-Yahudi, menceritakan masa kemunculan agama Kristen. Bab 4 Trinitas: tuhan Kristen, menceritakan perkembangan Kristen hingga munculnya trinitas. Bab 5 keesaan: Tuhan Islam, menggambarkan masa selanjutnya dari sejarah Tuhan, yaitu kemunculan Islam. Bab 6 Tuhan para Filosof, menceritakan babak berikutnya sejarah Tuhan, abad kesembilan di mana orang Arab mulai bersentuhan dengan filsafat. Bab 7 Tuhan kaum mistik, bab 8 Tuhan bagi para reformasi, bab 9 pencerahan, bab 10 kematian Tuhan, dan bab 11 adakah masa depan bagi Tuhan?
Buku ini mencoba memberikan wawasan kepada pembaca tentang perkembangan ideologi di dunia. Khususnya, tentang tiga agama samawi. Buku ini pulalah yang kemudian menjadikan Karen Amstrong tenar dan sedemikian banyak disebut kaum terpelajar di Indonesia yang sebelumnya namanya nyaris tak terdengar di Indonesia.

Siapakah dia? Karen Armstrong lahir 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga katolik Irlandia yang setelah kelahirannya, Karen pindah ke Bromsgrove dan kemudian ke Birmingham.

Ia masuk suster Kongregasi Society of the Holy Child Jesus pada usia 17 tahun. Tujuh tahun (1962-1969) hidup membiara. Tentang Tuhan dia mengatakan, "Sejak kecil saya telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat, tetapi sedikit keimanan kepada Tuhan." Ini menunjukkan bahwa dia bersifat skeptis atau ragu-ragu dalam beragama.
Paham ketuhanan sesuai katekismus yang harus dihafal pada usia delapan tahun, membuat Karen ketakutan. "Tuhan adalah Roh Mahatinggi. Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempurna tanpa batas" (hal. 17). Konsep Tuhan seperti itu, menurutnya, kering, arogan, dan tidak bermakna. Setelah selesai menulis Sejarah Tuhan, ia merasa konsep semacam itu tidak benar.

Setelah keluar dengan alasan tidak mengalami kemajuan dalam iman, dia lantas kuliah di jurusan sastra di Oxford University. Bergelar sarjana sastra, dia mengajar sastra abad ke-19 dan ke-20 di University of London, sekaligus mengerjakan disertasi untuk gelar doktor.

Setelah kuliah tiga tahun, disertasinya ditolak. Dia dianggap tak layak menjadi dosen. Dia pun akhirnya keluar dan bekerja pada departemen bahasa Inggris di sebuah sekolah perempuan di London. Didiagnosis menderita epilepsi, tahun 1982 dia mundur. Dalam kaitan sakit dan pencarian Tuhan, dia menulis, "Sebagai pengidap epilepsi, saya kadang melihat secara sekilas sekadar sebagai gangguan neurologis. Apakah penampakan dan kekhusukan yang dialami orang-orang suci itu pun sekadar gangguan mental?"

Dalam membahas setiap episode manusia dalam memahami dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan, entah itu dari pihak Yahudi, Nasrani atau Islam, bahkan kaum ateis, Karen berusaha secara empatik untuk masuk ke dalam perasaan dan jiwa para pemuja tuhan tersebut. Hal itu tentu saja mengandung kelemahan karena ia selalu mengedepankan rasa dibandingkan aspek intelektualitas atau kritik.

Secara umum dalam buku tersebut Karen Amstrong hanya memfokuskan pada sejarah agama Ibrahim, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Sehingga bab-bab yang terdapat pada buku ini dibagi berdasarkan ketiga agama tersebut. Pada bagian pertama buku ini, Karen Amstrong membahas tentang sejarah ketiga agama tersebut. Tentang bagaimana semuanya dimulai, tentang bagaimana manusia membutuhkan figur super.

Misalnya, pada halaman 17 dia menulis, “Pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi.” Pernyataannya ini jelas tidak bisa dipukulratakan kepada semua agama. Terlebih dalam konsep ketuhanan Islam, hal itu sama sekali tidak ada dan hanya mengada-ada. Karena umat Islam tidak pernah menciptakan Tuhan, tapi merekalah yang diciptakan dan diatur oleh Rabb mereka.

Selanjutnya, Karen membahas tentang asal mula beberapa agama ini. Fokus pembahasannya didasarkan pada ciri khas masing-masing agama. Ciri khas pada Yahudi adalah agama tersebut muncul dengan lawan utamanya yaitu kaum pagan. Maka Yahudi digambarkan sebagai asal mula bagaimana manusia mendapat pencerahan tentang Tuhan yang satu.

Agama Kristen mempunyai ciri khas pada trinitas. Karen Amstrong membahas bagaimana pentingnya konsep trinitas sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya agama ini, disertai juga pembahasan tentang keunggulan dan kelemahannya. Sedangkan Islam, mempunyai ciri khas dalam hal keesaan Tuhan.

Setelah pembahasan tentang sejarah masing-masing agama, Karen Amstrong melanjutkan pembahasanya pada tiga fokus utama berdasarkan kajian agama yang pernah ada sejak kematian Nabi Muhammad. Tiga fokus itu adalah mistis, filosofis, reformis. Dalam setiap fokus ini, Karen Amstrong membahas peran masing-masing agama dalam perkembangannya.

Bagian terakhir dari buku ini adalah, sebuah bentuk pencarian jawaban atas pertanyaan: adakah masa depan untuk Tuhan? Dalam konsep ini, Karen Amstrong menjelaskan bagaimana pada masa lalu beberapa kelompok manusia memaksakan (dengan memakan korban) definisinya tentang Tuhan dan firmannya, namun pada abad berikutnya, terbukti definisi itu salah.

Buku ini ditutup dengan sebuah ajakan Karen Amstrong untuk kembali mempelajari masa lalu dan mengambil hikmahnya atas sejarah Tuhan ini, agar kita mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana kita harus memandang dan mendefinisikan Tuhan dan firmannya serta bagaimana kita mendefinisikan hubungan antar agama. Tampaknya Karen cukup serius menulis bukunya ini. Ini terbukti bahwa buku tersebut menghabiskan 581 halaman. Meskipun, manfaat isinya belum tentu sebanyak jumlah halamannya.


Salah Paham dalam Pembacaan

Beberapa kesalahpahaman dari proses pembacaan ini banyak muncul dari kalangan umat Islam di Indonesia. Mereka banyak yang menganggap bahwa buku tersebut membela dan menyokong kepercayaan Islam. Dengan mengutip kata-kata atau kalimat pujian yang diberikan Karen kepada pendiri Islam, yaitu Muhammad saw, banyak pihak dari kalangan Islam merasa terbela dan mengangguk atas pemahaman empatik yang diberikan oleh Karen.

Padahal, jika membaca secara keseluruhan dan utuh dari karya Karen tersebut, Karen tidak bermaksud demikian. Karen tidak berusaha memihak satu teologi mana pun. Ia hanya berusaha memahami secara empatik dan kronologis. Jika ada keberpihakan biasanya Karen memihak karena alasan moral dari dalam dirinya, yaitu keberpihakan pada teologi yang menjunjung kedamaian hidup di dunia. Simak saja tulisannya mengenai teologi sufi yang kecenderungan keberpihakan kepadanya lebih tinggi (sebagaimana ia juga memihak kaum kabbalah) dibandingkan teologi kaum fundamentalis. Meskipun, ia juga sempat memberikan kritik bahwa tuhan para kaum mistik ini sulit diaplikasikan di tataran sosial masyarakat.

Maka, wajar saja bila sebagian umat Islam merasa penasaran dan bertanya-tanya kenapa setelah begitu memihak Islam dan begitu memahami serta memuji Nabi muhammad dan kebenaran ajarannya, Karen tidak masuk Islam. Banyak pertanyaan yang muncul mempertanyakan hal ini. Banyak orang yang lupa terhadap realitas bahwa Karen Amstrong tetaplah seorang orientalis yang memandang pernyataan kepercayaan keberagamaan dari sudut faktual, di luar keimanan yang terpatri kepada Allah.

Banyak yang mengatakan bahwa buku tersebut memihak pada salah satu agama. Betulkan? Untuk menjawabnya tampaknya perlu dibaca lebih seksama lagi. Apa yang disampaikan Karen dalam tulisannya hanyalah berusaha agar tulisannya diterima oleh berbagai kalangan. Pembelaannya terhadap Islam tidak tampak sama sekali. Yang muncul adalah sekadar rasa empati yang ia tuliskan secara mengalir. Apalagi tidak ada pernyataan yang jelas dari Karen bahwa dia telah mengubah ideologinya atau keyakinannya. Bahkan yang ada adalah ia menganut keyakinan independen mengenai tuhan yang dikatakan sebagai "freelance monoteism".

Dengan demikian, persepsi umat Islam yang begitu menyanjung dan memuji buku Sejarah Tuhan sebagai buku yang menyokong dan membela Islam dibandingkan dengan agama atau teologi yang lain merupakan sesuatu kekeliruan yang fatal.

Kritik terhadap Buku Sejarah Tuhan

Ada beberapa kritik terhadap buku Sejarah Tuhan yang saya pandang perlu disampaikan. Pertama, buku ini dengan jelas sekali mendukung paham pluralisme agama. Pada hal 317, Karen menulis, “Hamba Tuhan merasakan ketenteraman yang sama di dalam sinagoga, kuil, gereja, atau masjid, karena semuanya menyediakan pemahaman yang sah tentang Tuhan.”

Karen di sini menganggap semua pemahaman tentang Tuhan yang diajarkan oleh semua agama nilainya sama, yaitu sama-sama benar dan sah. Hal ini jelas tidak bisa diterima dan bertentangan dengan konsep tauhid yang diajarkan oleh Islam.
Islam mengajarkan bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah Islam. Artinya, semua keyakinan agama di luar Islam adalah salah dan keliru. Dan inilah konsep ketuhanan yang dikembangkan Islam. Menyatakan bahwa semua agama sama berarti menentang ajaran tauhid dan mengembangkan kesyirikan merajalela.

Kedua, Karen dalam buku ini mengajak pembaca umtuk mengatur Tuhan menurut kemauannya sendiri. Pada halaman 318 dia menulis, “Kita tidak pernah melihat Tuhan kecuali nama personal yang telah diwahyukan dan diberi eksistensi konkret dalam setiap diri kita; tak terhindarkan lagi bahwa pemahaman kita tentang Tuhan pribadi kita sendiri diwarnai oleh tradisi keagamaan tempat kita dilahirkan.”

Lebih lanjut Karen menggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi, Tuhan bukan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal. Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para mistikus. Dan Armstrong mengatakan, bahwa masa depan Tuhan adalan persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal ini.
Konsep ini jelas kacau sekali. Karena Tuhan ditentukan oleh masing-masing persepsi manusia tentang Tuhan. Akhirnya, tidak ada lagi standar yang digunakan dalam menentukan kesahihan berita tentang Tuhan. Dengan tidak adanya lagi otoritas untuk menyampaikan informasi yang benar tentang Tuhan, maka Karen sama saja telah manafikan informasi tentang Tuhan yang disampaikan dalam kitab suci dan para rasul.

Ketiga, penjelasan-penjelasan yang ditulis dalam buku tersebut masih kurang detail, karena masih gambaran umum dari sesuatu yang begitu luas. Maka, tak heran jika kalangan muslim melihat bahwa nilai-nilai Islam yang dipaparkan masih bersifat umum, sehingga bila tidak dijelaskan detail akan menjadi sebuah pandangan yang salah. Terlebih Karen tidak begitu bisa menghubungkan antara ajaran Islam yang satu dengan ajaran Islam yang lain.

Keempat, Karen tidak terlepas dari sikap subjektif dalam menulis. Karena buku tersebut ditulis dengan bahasa bertutur, maka itu lebih mengesankan pada subjektifitas penulis. Salah satu pendapat subjektif yang bersumber dari harapannya akan kedamaian dan kebermaknaan hidup antar sesama manusia muncul dalam bentuk teologis perdamaian. Simak saja paragraf terakhir dari Sejarah Tuhan yang ia tulis:

Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan; jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad kedua puluh satu, mungkin kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan. (hal. 510)

Karen terlalu besar berharap akan terwujudnya kedamaian di dunia sehingga melupakan bahwa ada syarat dan kaidah dalam mewujudkan perdamaian itu sendiri. Padahal, perlu dipahami juga bahwa pertempuran antara yang haq dan batil adalah sunnatullah dan sebuah keniscayaan. Artinya, pertempuran dua ideologi tersebut akan terus terjadi di mana saja dan kapan saja.

Akhir kata, membaca buku ini harus ekstra hati-hati. Kita tidak boleh terburu-buru dan gegabah mengiyakan apa yang ditulis di dalamnya, tapi justru perlu selektif dalam memilahnya. Karena di dalamnya memang banyak pendapat yang kontroversial dan tidak sesuai dengan akidah Islam yang benar.

3 comments:

Sang kelana117 said...

Mohon disambungkan ke artikel ini

http://filsafat.kompasiana.com/2014/08/31/melawan-karen-armstrongpart-1-684511.html

Sang kelana117 said...

Mohon disambungkan dengan artikel ini

http://filsafat.kompasiana.com/2014/08/31/melawan-karen-armstrongpart-1-684511.html

DANNU AKBAR said...

Kece bang kritiknya