Wednesday, July 16, 2008

POLA-POLA IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM KLASIK-TENGAH

Oleh:
FAHRUR MU’IS


ABSTRAKS

Wahyu Allah yang salah satunya berisi tentang hukum Islam telah berhenti sejak empat belas abad yang lalu. Wahyu tersebut telah final dan berhasil diabadikan hingga sekarang dalam bentuk mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Namun demikian, peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di masyarakat tidak pernah berhenti. Untuk menggali hukum dari peristiwa yang baru muncul pada setiap zaman tersebut dibutuhkan sebuah ijtihad.

Tulisan dalam makalah ini akan mengangkat tentang pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan. Metode yang digunakan di sini ialah metode literatur, yaitu dengan mengkaji persoalan dari berbagai referensi.

Ijtihad pada periode klasik dimulai pada akhir masa shahabat dan dilanjutkan pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in. Hanya saja, ijtihad pada periode shahabat belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum karena keputusan masih di tangan Rasulullah. Pola ijtihad pada periode tabi’in dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).

Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.



Pendahuluan

Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran. Adapun sumber hukum yang kedua adalah As-Sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.

Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis apa pun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.

Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.

Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Secara khusus, tulisan ini akan membahas pola-pola ijtihad dalam hukum Islam pada masa klasik-tengah dan beberapa hal yang berhubungan dengannya.


A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran ataupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan oleh para ahli agama Islam.

Secara bahasa, kata ijtihad memiliki beberapa makna. Menurut Louis Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il) jahada, yajhadu, dan bentuk mashdarnya jahdan yang berarti pengerahan segala kasanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan.
Ada juga yang berpendapat bahwa ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari situ, ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kekuatan atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.

Adapun ijtihad secara istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli ushul fikih adalah pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara’ dan ia tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak.

Asy-Syaukani merumuskan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbath.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad ialah mencurahkan daya kekuatan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu.

Walaupun definisi ijtihad di atas redaksinya berbeda-beda, namun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Sejak terkodifikasinya ilmu ushul fikih oleh Asy-Syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari qiyas, istishlah, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang nash-nashnya memerintahkn untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil pelajaran. Di antaranya ialah:
1.Dari Al-Quran
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar-Ra’d: 3; Ar-Rum: 21; Az-Zumar: 42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).

2.Dari Hadis
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Muslim).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ

“Sesungguhnya, ketika Rasulullah ingin mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ‘Bagaimana upayamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah.’ Nabi kemudian bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalilnya dalam Al-Qur’an?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah bertanya lagi, ‘Bagaimana jika tidak kamu dapati dalilnya di dalam sunnah Rasulullah dan Kitabullah?’ Mu’adz menjawab, ‘Aku akan berijtihad dengan rasioku dan tidak mengabaikannya.’ Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz sambil bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah’.” (HR Abu Dawud).

Ada juga kisah dua sahabat Nabi yang sedang dalam perjalanan. Mereka shalat dengan bertayamum karena ketidakadaan air. Seusai shalat, tiba-tiba keduanya mendapatkan air. Kemudian di antara mereka ada yang mengulangi shalatnya, dan yang lainnya lagi tidak mengulanginya. Setelah ditanyakan kepada Rasulullah, beliau membenarkan kedua pendapat mereka.

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui ijtihad dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah.

C. Ruang Lingkup dan Syarat Ijtihad

Tidak semua hukum Islam bisa menjadi lapangan ijtihad, kecuali beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi obyek ijtihad ialah:

1.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i baik kedudukannya maupun pengertiaannya, atau dibawa oleh hadits mutawatir, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, haramnya riba, dan sebagainya. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadits mutawatir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan rakaat shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.

2.Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma’kan) oleh para mujtahidin dari suatu masa, seperti pemberian warisan sebesar seperenam harta warisan untuk nenek perempuan dan tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara muslimah dengan lelaki kafir.

Adapun ruang lingkup ijtihad adalah sebagai berikut:
1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurud-nya maupun dari segi pengertiannya (dalalah) yaitu hadis ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ijtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.

Ijitihad dalam ruang gerak dan jangkaunnya mengenai materi-materi hukum zhanniyat adalah sangat luas. Dalam praktiknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia menampung terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Maka, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.

Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap oang bisa melakukan ijtihad, melainkan orang yang memiliki syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan kelengkapan diri mujtahid maupun sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan. Syarat-syarat tersebut ialah:
1.Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia untuk menguasai pengertian susunan kata-katanya karena obyek pertama bagi mujtahid ialah pemahaman terhadap nash-nasah Al-Quran dan hadis yang berbahasa Arab.
2.Mengetahui Al-Quran dan hadis terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.
3.Mengetahui segi-segi pemakaina qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, di samping fakta-fakta yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
4.Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.
5.Mengetahui ilmu ushul fikih.

D. Jenis-Jenis Ijtihad

Di antara jenis-jenis ijtihad ialah:
1.Ijmak
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad, setelah beliau wafat, pada suatau masa atas hukum suatau masalah.
2.Qiyâs
Di antara definisi qiyâs' (analogi) ialah:
a.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Quran atau hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
Untuk melakukan ijtihad diperlukan empat unsur yang dalam ushul fikih disebut rukun-rukun qiyas. Keempat rukun tersebut ialah al-ashl (pokok), yaitu pokok yang telah disebutkan di dalam nash, yang menjadi pangkal qiyas; al-far’ (cabang), yaitu hal yang dicari hukumnya, yang tidak disebut dalam nash; hukm al-ashl (hukum atas pokok); dan ‘illat hukm al-ashl (sebab hukum atas pokok).

3.Istihsân
Di antara definisi istihsân ialah:
a.Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
c.Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Misal, dalil khusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, diwariskan atau dihibahkan. Jika suatu harta wakaf tidak memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf, maka ia boleh dipindahtangankan untuk memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf dan sekaligus menghindari larangan memubazirkan harta.
4.Mashalat murshalah
Yaitu tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan dan membatalkannya. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.

5. Sad Adz-Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.


7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsip dalam Al-Qur’an dan Hadis.

E. Pola-Pola Ijtihad dari Periode Klasik hingga Pertengahan

Periodisasi dalam pemikiran Islam terbagi menjadi empat periode. Pertama, periode Rasulullah yang berlangsung hingga tahun 634 M. Kedua, periode klasik yang dimulai tahun 650 sampai 1000 M. Ketiga, periode pertengahan yang dimulai tahun 1258 hingga 1800 M. Keempat, periode modern yang dimulai tahun 1800 hingga sekarang.

Periodisasi pemikiran Islam tersebut berbeda dengan periodisasi pemikiran Barat yang hanya terbagi menjadi tiga periode. Pertama, periode klasik yang dimulai tahun 500 SM sampai 600 M. Kedua, periode pertengahan yang dimulai tahun 600 M hingga 1500 M. Periode ini dikenal dengan The Dark Age (Abad Kegelapan) yang hal ini jelas tidak ada dalam Islam. Ketiga, periode modern yang dimulai tahun 1550 M hingga sekarang.
Pola ijtihad yang akan ditulis di sini ialah pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan, yaitu sekitar tahun 650 hingga 1800 M.

1.Ijtihad pada periode shahabat

Ijtihad pada periode klasik ini dimulai pada akhir periode shahabat (101 H) dan awal dari periode tabi’in dan tabiut tabi’in (abad 11 H-pertengahan abad IV H). Mayoritas ulama berpendapat bahwa para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad shahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari Rasulullah.

Contohnya ialah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ammar ketika berhadast besar dalam suatu perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba.Lalu, Ammar melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadats besar. Adapun Umar bin Khatab ia menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya digunakan untuk menghilangkan hadas kecil.

Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa kedua pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah (tayamum) yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu:
“….Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Rasulullah menjelaskan kepada Umar bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk menghilangkan hadats kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadats besar, sesuai dengan ayat di atas.

Singkatnya, ijtihad shahabat pada masa Rasulullah belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum karena ketentuan akhir masih ada di tangan Rasulullah. Tetapi, setelah beliau wafat, ijtihad shahabat sudah dapat dijadikan alat penggali hukum karena tidak lagi menunggu keputusan Rasulullah.

2. Ijtihad pada periode tabi’in dan tabi’ tabi’in (imam-imam mazhab)
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa shahabat, muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada perndapat para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:

a.Mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b.Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.


Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.

Golongan jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:
a.Ahlul Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat shahabat. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh Al-Zuhry, Al-Tausry, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Dawud Al-Zhawahiry.

b.Ahlul Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
1. Nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.

2.Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah Al-Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

3. Ijtihad pada generasi setelah para imam mazhab
Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadu beku. Dalam memecahkan masalah-masalah ijtihadiyah, umumnya para mujtahid enggan mengistinbath hukum dengan secara langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para mujtahid sebelumnya.

Para sejarawan menjuluki masa-masa kemunduran ijtitihad ini dengan periode taqlid dan pemutupan pintu ijtihad. Hal itu karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan nyang tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqaha ada yang merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.

Berdasarkan fakta sejarah, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan perkembangnannya bertambah pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap periode.

Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits dalam upaya lebih mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan illat), dan pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum).

1.Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (anbigu), mana lafal yang umum yang diterangkan (‘am mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.

Sebagai contoh di dalan hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunat. Ulama sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap dzanny.

2. Pola Qiyasi (Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan illat (kaadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama).

Sebagai contoh di dalam hadits ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadis ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai dengan illatnya yang dipilih tadi.

Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.

3. Pola Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.

Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti: tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.

Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.

Pola istislahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.


Kesimpulan

Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada hukum Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah Al-Quran dan Sunnah. Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum muslimin melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.

Kesimpulan dalam kajian ini ditemukan bahwa ijtihad pada periode klasik dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).

Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.




Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
Program Kutubut Tis’ah

Ahmad Azhar, dkk. 1996. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Amir Mu’alim dan Yusdani. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
Ahmad Warson Munawwir. 2002. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Dar el-Machreq. 2002. Al-Munjid fil Lughah wal A’lam. Beirut: Darul Masyriq.
Huzaemah Tahido Yanggo. 1999. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Nasrun Rusli. 1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. Jakarta: Logos.

htp://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad.
htp://www.eramuslim.com

No comments: