Wednesday, July 16, 2008

TAKHRIJ HADIS

Takhrij hadis meletakkan dua jari di telinga ketika adzan

Oleh:
Fahrur Mu’is

MUKADIMAH
Salah satu ajaran Islam yang selalu dilakukan oleh umat setiap hari ialah mengumandangkan adzan. Selain menjadi panggilan shalat, adzan juga merupakan salah satu syiar Islam yang menunjukkan subur-tidaknya agama Islam di suatu daerah.
Nah, di antara etika atau adab yang perlu diperhatikan ketika adzan ialah meletakkan kedua jari di kedua telinga. Jelas ini merupakan arahan khusus bagi para muadzin ketika mengumandangkan adzan.

Persoalan yang akan dibahas di sini ialah bagaimana bunyi hadis itu secara lengkap? Hadis itu diriwayatkan oleh siapa saja dan dalam kitab apa? Apakah hadis itu mutawatir atau tidak, serta shahih atau tidak, baik dari segi sanad maupun matannya?
Hadis yang diteliti dalam tulisan ini sebagaimana yang ditugaskan kepada penulis adalah hadis yang memiliki lafal:

…أَمَرَ بِلاَلاً أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ
“….Rasulullah memerintahkan Bilal untuk meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Beliau bersabda, ‘Hal itu akan lebih mengeraskan suaramu.’”

A. PENELITIAN SANAD

Salah satu cara untuk mengetahui apakah sebuah hadis nilainya sahih ialah dengan meneliti ketersambungan sanadnya mulai dari periwayat pertama hingga terakhir. Langkah pertama yang akan dilakukan di sini ialah dengan meneliti ketersambungan sanad sebagai berikut:

1. Periwayatan dalam Kitab Hadis
Dari pencarian di Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif, ditemukan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Ahmad, dan Tirmidzi. Lafal lengkap hadis tersebut ialah:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ مُؤَذِّنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلاَلاً أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ

Artinya, “Telah bercerita kepada saya Hisyam bin Ammar, katanya, telah bercerita kepada saya Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar bin Sa’d muadzin Rasulullah saw, telah bercerita kepada saya bapak saya dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Beliau bersabda, ‘Hal itu akan lebih mengeraskan suaramu.’” (HR. Ibnu Majah, no 702).

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْهَاشِمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْأَبْطَحِ وَهُوَ فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ فَخَرَجَ بِلاَلٌ فَأَذَّنَ فَاسْتَدَارَ فِي أَذَانِهِ وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ

“Telah bercerita kepada saya Ayyub bin Muhammad al-Hasyimi, telah bercerita kepada saya Abdul Wahid bin Ziyad, dari Hajjaj bin Arthah dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah di Abthah ketika beliau sedang berada di sebuah kemah berwarna merah. Lalu, Bilal keluar mengumandangkan adzan dan dia berputar dalam adzannya serta meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya.” (HR. Ibnu Majah, no 703).

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وَأُصْبُعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ…

“Telah bercerita kepada saya Abdur Razzak, telah memberi kabar kepada saya Sufyan, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan dan aku cermati gerakan mulutnya ke sini dan ke sini, sementara kedua jarinya berada di kedua telinganya….” (HR. Ahmad, no 18010).

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ
….
“Telah bercerita kepada saya Mahmud bin Ghailan, telah bercerita kepada saya Abdur Razzak, telah memberi kabar kepada saya Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan dan aku cermati gerakan mulutnya ke sini dan ke sini, sementara kedua jarinya berada di kedua telinganya….” (HR. Tirmidzi, no 181).

Setelah diadakan penelusuran dalam Kutubut Tis’ah, ternyata hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur periwayatan, yaitu Ibnu Majah dua kali, Imam Tirmidzi sekali, dan Imam Ahmad sekali.

2. Bagan Sanad Hadis
Berhubung hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur, maka akan dibuat bagan hadis sebagai berikut:



NABI MUHAMMAD SAW


f. Wahab bin Abdillah (w.74 H) (e)
f. Sa’d bin A’idz
e. A’un (w. 116 H) (d)

e. Ammar bin Sa’d bin A’idz d. Hajjah bin Arthah (w. 145 H) d. Sufyan (c)

d. Sa’d bin Ammar bin Sa’d c. Abdul Wahid (w. 176 H) c. Abdurrazak (b)


c. Abdurrahman bin Sa’d bin b. Ayyub bin Muhammad b. Mahmud bin Ghailan


b. Hisyam bin Ammar (w. 245 H).


a. Ibnu Majah (w. 273 H) a. Ibnu Majah (w. 273 H) a. At-Tirmidzi a. Ahmad




3. Persambungan Sanad

Jalur Ibnu Majah 1
a. Ibnu Majah
Nama asli Ibnu Majah adalah Muhammad bin Yazid. Ia lebih terkenal dengan nama Ibnu Majah. Adapun Majah ialah nama julukan (laqab) bagi ayahnya yang bernama asli Yazid. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. Para ulama telah mengakui bahwa dia adalah periwayat hadis yang terkenal dhabith dan tsiqah. Oleh karena itu, penelusuran terhadapnya tidak perlu berpanjang lebar.


b. Hisyam bin Ammar
Nama lengkap Hisyam bin Ammar ialah Hisyam bin Ammar bin Nashir bin Maisarah bin Aban. Ia memiliki nama kunyah Abul Walid, tinggal di Syam, dan meninggal di Dajil pada tahun 254 H. Melihat tahun wafatnya ini, Ibnu Majah bertemu dengan tokoh ini. Hisyam bin Ammar termasuk senior tabi’ut tabi’in. Di antara syaikhnya ialah Ibrahim bin A’yan, Ismail bin Ayyasy, dan Anas bis Iyadh. Di antara yang menjadi muridnya ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim.

Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hibban memasukkan Hisyam bin Ammar dalam kelompok tsiqah. Ad-Daruquthni bahkan mengatakan bahwa dia masuk dalam kelompok shaduq, sementara An-Nasa’i mengomentari bahwa dia la ba’sa bih. Karena tidak ada al-jarh terhadapnya dan justru ada penilaian tsiqah untuknya, maka ia digolongkan orang yang adil dan dhabith, hadisnya masuk dalam ketegori shahih.

c. Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar
Nama lengkapnya ialah Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar Al-Qardh. Ia termasuk senior tabi’in. Di antara gurunya ialah Sa’d bin Ammar bin Sa’d, Umar bin Hafsh bin Sa’d, dan Abdullah bin Muhammad bin Sa’d. Sementara di antara yang menjadi murid-muridnya ialah Ahmad bin Al-Hajjaj dan Hisyam bin Ammar. Melihat biografinya ini, Hisyam bertemu dengan tokoh ini karena ia merupakan gurunya.

Selain mendapatkan at-ta’dil, tokoh ini juga mendapatkan banyak al-jarh. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok tsiqah. Sementara itu, Yahya bin Ma’in menilainya dhaif. Al-Bukhari mengomentarinya dengan fihi nadzar ‘perlu ditinjau kembali’ dan Abu Ahmad Al-Hakim mengatakan bahwa hadisuhu laisa bil qo’im. Di sini terjadi kontra antara al-jarh dan at-ta’dil. Bila dicermati, ta’dil yang dikemukakan tersebut pada tingkat sedang sementara jarh-nya pada tingkat yang agak serius. Terlebih, para penyacatnya tentu dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang yang memuji tadi.

Memperhatikan berbagai komentar tadi, dapat disimpulkan bahwa hadisnya masuk dalam kelompok dhaif.

d. Sa’d bin Ammar bin Sa’d
Nama lengkapnya adalah Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Ia masuk dalam kategori tabi’in dan belum pernah bertemu Nabi. Di antara gurunya ialah Ammar bin Sa’d bin A’idz dan di antara muridnya ialah Abdurrhaman bin Sa’d bin Ammar Al-Qardh. Ibnul Qathan mengomentarinya dengan orang yang tidak dikenal keadaannya. Karena yang ada hanya pencelaan dan tidak ada yang memujinya, maka kedudukannya masuk dalam kelompok orang yang dhaif hadisnya.

e. Ammar bin Sa’d bin A’idz
Nama lengkapnya ialah Ammar bin Sa’d bin A’idz, seorang tabi’in generasi pertengahan. Gurunya ialah Sa’d bin A’idz dan muridnya ialah Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Jadi, secara sanad ia bertemu dengan keduanya. Ibnu Hibban mengomentarinya dengan tsiqah. Demikian pula, Adz-Dzahabi juga menganggapnya tsiqah. Dengan demikian, ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.

f. Sa’d bin A’idz
Sa’d bin A’idz adalah seorang shahabat Nabi. Karena semua shahabat adalah orang yang memiliki ‘adalah dan ke-dhabit-an tertinggi, maka tidak perlu diperiksa dan langsung dikatakan bahwa hadisnya shahih.
Dari pemaparan sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, didapatkan dua perawi yang berpredikat dhaif, yaitu Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar bin Ammar Al-Qardh dan Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Karena ada dua periwayat yang dhaif, maka nilai hadisnya juga dhaif.

Jalur Ibnu Majah 2
a. Ibnu Majah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi.

b. Ayyub bin Muhammad
Nama lengkapnya ialah Ayyub bin Muhammad bin Ayyub seorang senior tabiut tabi’in. Ia memiliki nama laqab (gelar) Al-Qalb dan menetap di Bashrah. Di antara yang menjadi gurunya adalah Abdul Wahid bin Ziyad dan Umar bin Riyah, sedangkan di antara yang menjadi muridnya ialah Ibnu Majah. Dalam Program Kutubut Tis’ah disebutkan bahwa ia memiliki derajat tsiqah. Berdasarkan keterangan yang ada, dapat diketahui bahwa Ibnu Majah bertemu dengan perawi ini karena ia merupakan gurunya. Karena tidak ada jarh dan justru yang ada adalah ta’dil, maka ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.


c. Abdul Wahid bin Ziyad
Abdul Wahid bin Ziyad adalah seorang tabi’in generasi pertengahan. Ia memiliki kunyah Abul Basyar, menetap di Bashrah dan meninggal pada tahun 176 H. Ia mendapatkan banyak ta’dil dan sama sekali tidak mendapat jarh.
Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu Dawud, Abul Hatim Ar-Razi, dan Al-Ajli berkomentar bahwa Abdul Wahid bin Ziyad adalah perawi yang tsiqah. An-Nasa’i mengomentari bahwa ia laisa bihi ba’sun (tidak bermasalah). Dengan demikian, ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.

d. Hajjaj bin Arthah
Nama lengkapnya ialah Hajjaj bin Arthah bin Tsaur, seorang senior tabi’in. Nama kunyahnya ialah Abu Arthah. Ia menetap di Kufah dan wafat pada tahun 145 H. Dilihat dari tahun wafatnya, Abdul Wahid bin Ziyad pernah bertemu dengan tokoh ini.
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa dia shaduq, laisa bil qawwi (jujur, tidak terlalu kuat). Abu Hatim mengomentari bahwa ia shaduq. Menurut Abu Zur’ah ia adalah shaduq, yadlis (jujur, terkadang tidak menunjukkan kecacatan hadis). Al-Ajli mengatakan bahwa ia jaizul hadits (hadisnya boleh diambil). Karena tokoh ini mendapatkan banyak ta’dil, meskipun tidak istimewa maka hadisnya masuk dalam kategori sahih.

e. Aun bin Abu Jahifah
Nama lengkapnya ialah Aun bin Abu Jahifah bin Abdillah, seorang tabi’in. Ia menetap di Kufah dan meninggal dunia pada tahun 116 H. Dilihat tahun wafatnya, Hajjaj bin Arthah bertemu dengan tokoh ini.
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Aun bin Abu Jahifah tsiqah. Demikian pula, An-Nasa’i, Abu Hatim Ar-Razi, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah.

f. Wahab bin Abdillah
Wahab bin Abdillah adalah seorang shahabat Nabi. Ia memiliki nama julukan (laqab) Al-Khair dan nama kun-yah Abu Jahifah. Ia lahir di Kufah dan wafat pada tahun 74 H. Karena semua shahabat adalah orang yang memiliki ‘adalah dan ke-dhabit-an tertinggi, maka tidak perlu diperiksa dan langsung dikatakan bahwa hadisnya shahih.
Dari pemaparan sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa sanad jalur hadis ini bersambung. Dari segi kualitas rijal, didapatkan para perawi berpredikat tsiqah sehingga nilai hadisnya adalah sahih.


Jalur At-Tirmidzi
a. At-Tirmidzi
Nama aslinya ialah Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Ad-Dhahak. Ia memiliki kunyah Abu Isa. Ia lahir pada tahun 209 H dan meninggal dunia pada hari Senin, 13 Rajab tahun 279 H di desa Bugh, sebuah desa di kota Tirmidz. At-Tirmidzi ialah nama populernya yang dinisbahkan ke tempat asalnya, yaitu Tirmidz sebuah kota di utara Iran. Karena sudah sangat terkenal bahwa At-Tirmidzi seorang periwayat hadis yang dhabith dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.

b. Mahmud bin Ghailan
Mahmud bin Ghailan adalah seorang senior tabi’ut tabi’in yang memiliki kunyah Abu Ahmad. Ia menetap di Bagdad dan wafat pada tahun 239 H. Melihat tahun wafatnya ini, At-Tirmidzi bertemu dengan tokoh ini.
Abu Hatim Ar-Razi, An-Nasa’i, dan Maslamah bin Qasim menilainya sebagai perawi yang tsiqah. Ahmad bin Hambal mengomentarinya dengan a’rafuhu bil hadis dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam golongan tsiqah.

c. Abdurrazak
Nama lengkapnya ialah Abdurrazak bin Hamam bin Nafi’, seorang tabi’in yunior yang memiliki kunyah Abu Bakar. Ia menetap di Yaman dan meninggal di sana pula pada tahun 211 H. Berdasarkan tahun wafatnya, Mahmud bin Ghailan bertemu dengan tokoh ini. Ia termasuk perawi yang tsiqah menurut Abu Dawud As-Sajistani. Menurut Abu Zur’ah Ar-Razi ia tsabata haditsuhu (hadisnya bisa diterima) dan menurut Ibnu Adi arju annahu la ba’sa bihi (saya harap tidak apa-apa dengannya).

d. Sufyan bin Sa’id
Nama lengkapnya ialah Sufyan bin Sa’id bin Masruq, senior tabi’in yang memiliki kunyah Abu Abdillah. Ia menetap di Kufah dan meninggal dunia di Bashrah pada tahun 161 H. Melihat tahun wafatnya, Abdurrazak bertemu dengan tokoh ini.
Malik bin Anas mengomentarinya dengan tsiqah. Syu’bah bin al-Hajjaj mengomentarinya dengan amirul mukminin dalam hadis. Yahya bin Ma’in mengomentarinya dengan tsiqah.

e. Aun bin Abu Jahifah
Biografinya telah dijelaskan di jalur Ibnu Majah 2 sehingga tidak perlu diulangi di sini.

f. Wahab bin Abdillah
Biografinya telah dijelaskan di jalur Ibnu Majah 2 sehingga tidak perlu diulangi di sini.

Jalur Ahmad
a. Ahmad
Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad dan memiliki kunyah Abu Abdillah. Ia lahir di Bagdad dan meninggal pada 20 Rabiul Awal 164 H. Karena sudah sangat terkenal bahwa Imam Ahmad seorang periwayat hadis yang dhabith dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.

b. Abdurrazak
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.

c. Sufyan bin Sa’id
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.

d. Aun bin Abu Jahifah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.

e. Wahab bin Abdillah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
Berdasarkan penelusuran terhadap para perawi ditemukan bahwa sanad jalur hadis ini bersambung atau muttasil al-sanad.
Dari hasil pemaparan sanad keempat jalur di atas dapat dikatakan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, pada jalur Ibnu Majah 1 terdapat dua periwayat yang dhaif, yaitu Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar dan Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Karena itu jalur ini nilai hadisnya dhaif dan tidak bisa diangkat menjadi hasan. Adapun ketiga jalur lainnya, kualitas rijalnya semuanya berpredikat tsiqah sehingga nilai hadisnya pun sahih.

B. PENELITIAN MATAN
Setelah diketahui bahwa semua sanad hadis tersebut bersambung, tapi pada jalur Ibnu Majah 1 kualitas rijalnya dhaif sehingga hadis dari jalur tersebut berpredikat dhaif, maka langkah kedua yang akan dilakukan adalah dengan meneliti sanad.

Hal ini dilakukan dengan meneliti apakah isi hadis tersebut bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih lainnya atau tidak. Berdasarkan pencarian, didapatkan bahwa hadis-hadis pada jalur Ibnu Majah 2, At-Tirmidzi, dan Ahmad, derajatnya sahih dan semakna dengan hadis jalur Ibnu Majah 1. Oleh karena itu, secara matan hadis jalur Ibnu Majah 1 nilai matannya sahih karena isinya tidak bertentangan dengan matan ketiga hadis yang sahih tersebut.

Substansi dalam hadis yang sedang diteliti ini ialah meletakkan kedua jari di kedua telinga ketika adzan. Hal ini termasuk adab atau etika bagi muadzin ketika mengumandangkan adzan. Di antara etika muadzin yang lainnya ialah mengumandangkan adzan dalam keadaan suci, melantunkan suara secara perlahan, dan menjulurkan leher seraya menoleh ke kanan ketika mengucapkan hayya alas shalah serta menoleh ke kiri ketika mengucapkan hayya alal falah.

Muadzin yang mengamalkan hadis ini dengan meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya adalah baik dan akan mendapatkan pahala karena telah mengamalkan ajaran Nabi. Sementara bagi muadzin yang tidak mempraktikkannya, maka adzannya tetap sah dan tidak apa-apa. Meski sekarang sudah digunakan pengeras suara dan banyak muadzin yang tangannya memegang microfon ketika adzan, hadis ini tetap relevan untuk diamalkan. Persoalan muadzin yang memegang microfon sehingga kedua jarinya tidak bisa diletakkan di kedua telinga, bisa diberi solusi dengan meletakkan microfon di tempat penyangga.



PENUTUP
Berdasarkan penelitian terhadap hadis di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur periwayatan, yaitu Ibnu Majah dua jalur, At-Tirmidzi, dan Ahmad. Ditinjau dari segi sanad, keempat jalur periwayatan hadis tersebut bersambung dari perawi pertama hingga Nabi. Dari segi kualitas rijal, jalur riwayat Ibnu Majah 1 (hadis yang diteliti) derajatnya dhaif karena ada dua periwayat yang lemah. Sedangkan ketiga hadis lainnya, semua rijalnya tsiqah sehingga hadisnya pun sahih. Karena redaksi hadis yang diteliti hanya diriwayatkan melalui satu jalur, maka ia termasuk hadis ahad.

Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa hadis yang diteliti penulis sanadnya bersambung, tapi derajatnya dhaif. Meski demikian, secara matan hadis tersebut bisa diterima karena ada tiga hadis sahih yang mendukung maknanya. Ketiga hadis tersebut sama-sama menunjukkan adanya etika meletakkan kedua jari di kedua telinga ketika adzan.

1 comment:

Kudus Kota Santri said...

al-hamdulillah bisa ketemu alumni Ma'ahid ..................kalau da info temen-temen dikasih kabar.Bagus E W