Oleh: Fahrur Mu'is
Resensi Buku Sejarah Tuhan
Kesan pertama membaca judul buku Karen Amstrong ini, kita langsung mencium aroma kontroversi. Judul tersebut lebih dari cukup untuk dikatakan bombastis dan provokatif. Sebab secara bahasa, sejarah berarti asal-usul (keturunan) silsilah; kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; dan pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi dalam masa lampau. Sementara itu, Tuhan ialah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa, Mahaperkasa; sesuatu yg dianggap sebagai Tuhan.
Bahkan, judul tersebut terkesan sedikit membohongi karena ia tidak membahas sejarah Tuhan, tapi sejarah pencarian tuhan oleh manusia. Makna ini dipertegas dalam judul kecil yang menyebutkan: kisah pencarian Tuhan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 tahun.
Buku ini terbagai atas 11 bab. Bab 1 pada mulanya, berisi penelusuran sejarah awal kehadiran Tuhan. Bab 2 Tuhan yang satu, berisi kisah Yesaya dan Yhwe Tuhan bangsa Yahudi. Bab 3 Cahaya bagi kaum non-Yahudi, menceritakan masa kemunculan agama Kristen. Bab 4 Trinitas: tuhan Kristen, menceritakan perkembangan Kristen hingga munculnya trinitas. Bab 5 keesaan: Tuhan Islam, menggambarkan masa selanjutnya dari sejarah Tuhan, yaitu kemunculan Islam. Bab 6 Tuhan para Filosof, menceritakan babak berikutnya sejarah Tuhan, abad kesembilan di mana orang Arab mulai bersentuhan dengan filsafat. Bab 7 Tuhan kaum mistik, bab 8 Tuhan bagi para reformasi, bab 9 pencerahan, bab 10 kematian Tuhan, dan bab 11 adakah masa depan bagi Tuhan?
Buku ini mencoba memberikan wawasan kepada pembaca tentang perkembangan ideologi di dunia. Khususnya, tentang tiga agama samawi. Buku ini pulalah yang kemudian menjadikan Karen Amstrong tenar dan sedemikian banyak disebut kaum terpelajar di Indonesia yang sebelumnya namanya nyaris tak terdengar di Indonesia.
Siapakah dia? Karen Armstrong lahir 14 November 1944 di Wildmoor, Worcestershire, Inggris. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga katolik Irlandia yang setelah kelahirannya, Karen pindah ke Bromsgrove dan kemudian ke Birmingham.
Ia masuk suster Kongregasi Society of the Holy Child Jesus pada usia 17 tahun. Tujuh tahun (1962-1969) hidup membiara. Tentang Tuhan dia mengatakan, "Sejak kecil saya telah memiliki kepercayaan keagamaan yang kuat, tetapi sedikit keimanan kepada Tuhan." Ini menunjukkan bahwa dia bersifat skeptis atau ragu-ragu dalam beragama.
Paham ketuhanan sesuai katekismus yang harus dihafal pada usia delapan tahun, membuat Karen ketakutan. "Tuhan adalah Roh Mahatinggi. Dia ada dengan sendirinya dan Dia sempurna tanpa batas" (hal. 17). Konsep Tuhan seperti itu, menurutnya, kering, arogan, dan tidak bermakna. Setelah selesai menulis Sejarah Tuhan, ia merasa konsep semacam itu tidak benar.
Setelah keluar dengan alasan tidak mengalami kemajuan dalam iman, dia lantas kuliah di jurusan sastra di Oxford University. Bergelar sarjana sastra, dia mengajar sastra abad ke-19 dan ke-20 di University of London, sekaligus mengerjakan disertasi untuk gelar doktor.
Setelah kuliah tiga tahun, disertasinya ditolak. Dia dianggap tak layak menjadi dosen. Dia pun akhirnya keluar dan bekerja pada departemen bahasa Inggris di sebuah sekolah perempuan di London. Didiagnosis menderita epilepsi, tahun 1982 dia mundur. Dalam kaitan sakit dan pencarian Tuhan, dia menulis, "Sebagai pengidap epilepsi, saya kadang melihat secara sekilas sekadar sebagai gangguan neurologis. Apakah penampakan dan kekhusukan yang dialami orang-orang suci itu pun sekadar gangguan mental?"
Dalam membahas setiap episode manusia dalam memahami dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan, entah itu dari pihak Yahudi, Nasrani atau Islam, bahkan kaum ateis, Karen berusaha secara empatik untuk masuk ke dalam perasaan dan jiwa para pemuja tuhan tersebut. Hal itu tentu saja mengandung kelemahan karena ia selalu mengedepankan rasa dibandingkan aspek intelektualitas atau kritik.
Secara umum dalam buku tersebut Karen Amstrong hanya memfokuskan pada sejarah agama Ibrahim, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Sehingga bab-bab yang terdapat pada buku ini dibagi berdasarkan ketiga agama tersebut. Pada bagian pertama buku ini, Karen Amstrong membahas tentang sejarah ketiga agama tersebut. Tentang bagaimana semuanya dimulai, tentang bagaimana manusia membutuhkan figur super.
Misalnya, pada halaman 17 dia menulis, “Pada mulanya manusia menciptakan satu Tuhan yang merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu dan penguasa langit dan bumi.” Pernyataannya ini jelas tidak bisa dipukulratakan kepada semua agama. Terlebih dalam konsep ketuhanan Islam, hal itu sama sekali tidak ada dan hanya mengada-ada. Karena umat Islam tidak pernah menciptakan Tuhan, tapi merekalah yang diciptakan dan diatur oleh Rabb mereka.
Selanjutnya, Karen membahas tentang asal mula beberapa agama ini. Fokus pembahasannya didasarkan pada ciri khas masing-masing agama. Ciri khas pada Yahudi adalah agama tersebut muncul dengan lawan utamanya yaitu kaum pagan. Maka Yahudi digambarkan sebagai asal mula bagaimana manusia mendapat pencerahan tentang Tuhan yang satu.
Agama Kristen mempunyai ciri khas pada trinitas. Karen Amstrong membahas bagaimana pentingnya konsep trinitas sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya agama ini, disertai juga pembahasan tentang keunggulan dan kelemahannya. Sedangkan Islam, mempunyai ciri khas dalam hal keesaan Tuhan.
Setelah pembahasan tentang sejarah masing-masing agama, Karen Amstrong melanjutkan pembahasanya pada tiga fokus utama berdasarkan kajian agama yang pernah ada sejak kematian Nabi Muhammad. Tiga fokus itu adalah mistis, filosofis, reformis. Dalam setiap fokus ini, Karen Amstrong membahas peran masing-masing agama dalam perkembangannya.
Bagian terakhir dari buku ini adalah, sebuah bentuk pencarian jawaban atas pertanyaan: adakah masa depan untuk Tuhan? Dalam konsep ini, Karen Amstrong menjelaskan bagaimana pada masa lalu beberapa kelompok manusia memaksakan (dengan memakan korban) definisinya tentang Tuhan dan firmannya, namun pada abad berikutnya, terbukti definisi itu salah.
Buku ini ditutup dengan sebuah ajakan Karen Amstrong untuk kembali mempelajari masa lalu dan mengambil hikmahnya atas sejarah Tuhan ini, agar kita mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana kita harus memandang dan mendefinisikan Tuhan dan firmannya serta bagaimana kita mendefinisikan hubungan antar agama. Tampaknya Karen cukup serius menulis bukunya ini. Ini terbukti bahwa buku tersebut menghabiskan 581 halaman. Meskipun, manfaat isinya belum tentu sebanyak jumlah halamannya.
Salah Paham dalam Pembacaan
Beberapa kesalahpahaman dari proses pembacaan ini banyak muncul dari kalangan umat Islam di Indonesia. Mereka banyak yang menganggap bahwa buku tersebut membela dan menyokong kepercayaan Islam. Dengan mengutip kata-kata atau kalimat pujian yang diberikan Karen kepada pendiri Islam, yaitu Muhammad saw, banyak pihak dari kalangan Islam merasa terbela dan mengangguk atas pemahaman empatik yang diberikan oleh Karen.
Padahal, jika membaca secara keseluruhan dan utuh dari karya Karen tersebut, Karen tidak bermaksud demikian. Karen tidak berusaha memihak satu teologi mana pun. Ia hanya berusaha memahami secara empatik dan kronologis. Jika ada keberpihakan biasanya Karen memihak karena alasan moral dari dalam dirinya, yaitu keberpihakan pada teologi yang menjunjung kedamaian hidup di dunia. Simak saja tulisannya mengenai teologi sufi yang kecenderungan keberpihakan kepadanya lebih tinggi (sebagaimana ia juga memihak kaum kabbalah) dibandingkan teologi kaum fundamentalis. Meskipun, ia juga sempat memberikan kritik bahwa tuhan para kaum mistik ini sulit diaplikasikan di tataran sosial masyarakat.
Maka, wajar saja bila sebagian umat Islam merasa penasaran dan bertanya-tanya kenapa setelah begitu memihak Islam dan begitu memahami serta memuji Nabi muhammad dan kebenaran ajarannya, Karen tidak masuk Islam. Banyak pertanyaan yang muncul mempertanyakan hal ini. Banyak orang yang lupa terhadap realitas bahwa Karen Amstrong tetaplah seorang orientalis yang memandang pernyataan kepercayaan keberagamaan dari sudut faktual, di luar keimanan yang terpatri kepada Allah.
Banyak yang mengatakan bahwa buku tersebut memihak pada salah satu agama. Betulkan? Untuk menjawabnya tampaknya perlu dibaca lebih seksama lagi. Apa yang disampaikan Karen dalam tulisannya hanyalah berusaha agar tulisannya diterima oleh berbagai kalangan. Pembelaannya terhadap Islam tidak tampak sama sekali. Yang muncul adalah sekadar rasa empati yang ia tuliskan secara mengalir. Apalagi tidak ada pernyataan yang jelas dari Karen bahwa dia telah mengubah ideologinya atau keyakinannya. Bahkan yang ada adalah ia menganut keyakinan independen mengenai tuhan yang dikatakan sebagai "freelance monoteism".
Dengan demikian, persepsi umat Islam yang begitu menyanjung dan memuji buku Sejarah Tuhan sebagai buku yang menyokong dan membela Islam dibandingkan dengan agama atau teologi yang lain merupakan sesuatu kekeliruan yang fatal.
Kritik terhadap Buku Sejarah Tuhan
Ada beberapa kritik terhadap buku Sejarah Tuhan yang saya pandang perlu disampaikan. Pertama, buku ini dengan jelas sekali mendukung paham pluralisme agama. Pada hal 317, Karen menulis, “Hamba Tuhan merasakan ketenteraman yang sama di dalam sinagoga, kuil, gereja, atau masjid, karena semuanya menyediakan pemahaman yang sah tentang Tuhan.”
Karen di sini menganggap semua pemahaman tentang Tuhan yang diajarkan oleh semua agama nilainya sama, yaitu sama-sama benar dan sah. Hal ini jelas tidak bisa diterima dan bertentangan dengan konsep tauhid yang diajarkan oleh Islam.
Islam mengajarkan bahwa satu-satunya agama yang diridhai Allah adalah Islam. Artinya, semua keyakinan agama di luar Islam adalah salah dan keliru. Dan inilah konsep ketuhanan yang dikembangkan Islam. Menyatakan bahwa semua agama sama berarti menentang ajaran tauhid dan mengembangkan kesyirikan merajalela.
Kedua, Karen dalam buku ini mengajak pembaca umtuk mengatur Tuhan menurut kemauannya sendiri. Pada halaman 318 dia menulis, “Kita tidak pernah melihat Tuhan kecuali nama personal yang telah diwahyukan dan diberi eksistensi konkret dalam setiap diri kita; tak terhindarkan lagi bahwa pemahaman kita tentang Tuhan pribadi kita sendiri diwarnai oleh tradisi keagamaan tempat kita dilahirkan.”
Lebih lanjut Karen menggambaran bahwa Tuhan itu seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi. Jadi, Tuhan bukan personal adalah Tuhan yang a-personal atau impersonal. Dalam sejarah, Tuhan yang impersonal ini banyak dibicarakan oleh para sufi. Tuhan para mistikus. Dan Armstrong mengatakan, bahwa masa depan Tuhan adalan persepsi kita tentang Tuhan. Tidak ada masa depan untuk Tuhan yang personal ini.
Konsep ini jelas kacau sekali. Karena Tuhan ditentukan oleh masing-masing persepsi manusia tentang Tuhan. Akhirnya, tidak ada lagi standar yang digunakan dalam menentukan kesahihan berita tentang Tuhan. Dengan tidak adanya lagi otoritas untuk menyampaikan informasi yang benar tentang Tuhan, maka Karen sama saja telah manafikan informasi tentang Tuhan yang disampaikan dalam kitab suci dan para rasul.
Ketiga, penjelasan-penjelasan yang ditulis dalam buku tersebut masih kurang detail, karena masih gambaran umum dari sesuatu yang begitu luas. Maka, tak heran jika kalangan muslim melihat bahwa nilai-nilai Islam yang dipaparkan masih bersifat umum, sehingga bila tidak dijelaskan detail akan menjadi sebuah pandangan yang salah. Terlebih Karen tidak begitu bisa menghubungkan antara ajaran Islam yang satu dengan ajaran Islam yang lain.
Keempat, Karen tidak terlepas dari sikap subjektif dalam menulis. Karena buku tersebut ditulis dengan bahasa bertutur, maka itu lebih mengesankan pada subjektifitas penulis. Salah satu pendapat subjektif yang bersumber dari harapannya akan kedamaian dan kebermaknaan hidup antar sesama manusia muncul dalam bentuk teologis perdamaian. Simak saja paragraf terakhir dari Sejarah Tuhan yang ia tulis:
Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna. Berhala kaum fundamentalis bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan; jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad kedua puluh satu, mungkin kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan ini demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan. (hal. 510)
Karen terlalu besar berharap akan terwujudnya kedamaian di dunia sehingga melupakan bahwa ada syarat dan kaidah dalam mewujudkan perdamaian itu sendiri. Padahal, perlu dipahami juga bahwa pertempuran antara yang haq dan batil adalah sunnatullah dan sebuah keniscayaan. Artinya, pertempuran dua ideologi tersebut akan terus terjadi di mana saja dan kapan saja.
Akhir kata, membaca buku ini harus ekstra hati-hati. Kita tidak boleh terburu-buru dan gegabah mengiyakan apa yang ditulis di dalamnya, tapi justru perlu selektif dalam memilahnya. Karena di dalamnya memang banyak pendapat yang kontroversial dan tidak sesuai dengan akidah Islam yang benar.
Wednesday, July 23, 2008
Wednesday, July 16, 2008
TAKHRIJ HADIS
Takhrij hadis meletakkan dua jari di telinga ketika adzan
Oleh:
Fahrur Mu’is
MUKADIMAH
Salah satu ajaran Islam yang selalu dilakukan oleh umat setiap hari ialah mengumandangkan adzan. Selain menjadi panggilan shalat, adzan juga merupakan salah satu syiar Islam yang menunjukkan subur-tidaknya agama Islam di suatu daerah.
Nah, di antara etika atau adab yang perlu diperhatikan ketika adzan ialah meletakkan kedua jari di kedua telinga. Jelas ini merupakan arahan khusus bagi para muadzin ketika mengumandangkan adzan.
Persoalan yang akan dibahas di sini ialah bagaimana bunyi hadis itu secara lengkap? Hadis itu diriwayatkan oleh siapa saja dan dalam kitab apa? Apakah hadis itu mutawatir atau tidak, serta shahih atau tidak, baik dari segi sanad maupun matannya?
Hadis yang diteliti dalam tulisan ini sebagaimana yang ditugaskan kepada penulis adalah hadis yang memiliki lafal:
…أَمَرَ بِلاَلاً أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ
“….Rasulullah memerintahkan Bilal untuk meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Beliau bersabda, ‘Hal itu akan lebih mengeraskan suaramu.’”
A. PENELITIAN SANAD
Salah satu cara untuk mengetahui apakah sebuah hadis nilainya sahih ialah dengan meneliti ketersambungan sanadnya mulai dari periwayat pertama hingga terakhir. Langkah pertama yang akan dilakukan di sini ialah dengan meneliti ketersambungan sanad sebagai berikut:
1. Periwayatan dalam Kitab Hadis
Dari pencarian di Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif, ditemukan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Ahmad, dan Tirmidzi. Lafal lengkap hadis tersebut ialah:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ مُؤَذِّنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلاَلاً أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ
Artinya, “Telah bercerita kepada saya Hisyam bin Ammar, katanya, telah bercerita kepada saya Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar bin Sa’d muadzin Rasulullah saw, telah bercerita kepada saya bapak saya dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Beliau bersabda, ‘Hal itu akan lebih mengeraskan suaramu.’” (HR. Ibnu Majah, no 702).
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْهَاشِمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْأَبْطَحِ وَهُوَ فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ فَخَرَجَ بِلاَلٌ فَأَذَّنَ فَاسْتَدَارَ فِي أَذَانِهِ وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ
“Telah bercerita kepada saya Ayyub bin Muhammad al-Hasyimi, telah bercerita kepada saya Abdul Wahid bin Ziyad, dari Hajjaj bin Arthah dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah di Abthah ketika beliau sedang berada di sebuah kemah berwarna merah. Lalu, Bilal keluar mengumandangkan adzan dan dia berputar dalam adzannya serta meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya.” (HR. Ibnu Majah, no 703).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وَأُصْبُعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ…
“Telah bercerita kepada saya Abdur Razzak, telah memberi kabar kepada saya Sufyan, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan dan aku cermati gerakan mulutnya ke sini dan ke sini, sementara kedua jarinya berada di kedua telinganya….” (HR. Ahmad, no 18010).
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ
….
“Telah bercerita kepada saya Mahmud bin Ghailan, telah bercerita kepada saya Abdur Razzak, telah memberi kabar kepada saya Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan dan aku cermati gerakan mulutnya ke sini dan ke sini, sementara kedua jarinya berada di kedua telinganya….” (HR. Tirmidzi, no 181).
Setelah diadakan penelusuran dalam Kutubut Tis’ah, ternyata hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur periwayatan, yaitu Ibnu Majah dua kali, Imam Tirmidzi sekali, dan Imam Ahmad sekali.
2. Bagan Sanad Hadis
Berhubung hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur, maka akan dibuat bagan hadis sebagai berikut:
NABI MUHAMMAD SAW
f. Wahab bin Abdillah (w.74 H) (e)
f. Sa’d bin A’idz
e. A’un (w. 116 H) (d)
e. Ammar bin Sa’d bin A’idz d. Hajjah bin Arthah (w. 145 H) d. Sufyan (c)
d. Sa’d bin Ammar bin Sa’d c. Abdul Wahid (w. 176 H) c. Abdurrazak (b)
c. Abdurrahman bin Sa’d bin b. Ayyub bin Muhammad b. Mahmud bin Ghailan
b. Hisyam bin Ammar (w. 245 H).
a. Ibnu Majah (w. 273 H) a. Ibnu Majah (w. 273 H) a. At-Tirmidzi a. Ahmad
3. Persambungan Sanad
Jalur Ibnu Majah 1
a. Ibnu Majah
Nama asli Ibnu Majah adalah Muhammad bin Yazid. Ia lebih terkenal dengan nama Ibnu Majah. Adapun Majah ialah nama julukan (laqab) bagi ayahnya yang bernama asli Yazid. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. Para ulama telah mengakui bahwa dia adalah periwayat hadis yang terkenal dhabith dan tsiqah. Oleh karena itu, penelusuran terhadapnya tidak perlu berpanjang lebar.
b. Hisyam bin Ammar
Nama lengkap Hisyam bin Ammar ialah Hisyam bin Ammar bin Nashir bin Maisarah bin Aban. Ia memiliki nama kunyah Abul Walid, tinggal di Syam, dan meninggal di Dajil pada tahun 254 H. Melihat tahun wafatnya ini, Ibnu Majah bertemu dengan tokoh ini. Hisyam bin Ammar termasuk senior tabi’ut tabi’in. Di antara syaikhnya ialah Ibrahim bin A’yan, Ismail bin Ayyasy, dan Anas bis Iyadh. Di antara yang menjadi muridnya ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim.
Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hibban memasukkan Hisyam bin Ammar dalam kelompok tsiqah. Ad-Daruquthni bahkan mengatakan bahwa dia masuk dalam kelompok shaduq, sementara An-Nasa’i mengomentari bahwa dia la ba’sa bih. Karena tidak ada al-jarh terhadapnya dan justru ada penilaian tsiqah untuknya, maka ia digolongkan orang yang adil dan dhabith, hadisnya masuk dalam ketegori shahih.
c. Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar
Nama lengkapnya ialah Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar Al-Qardh. Ia termasuk senior tabi’in. Di antara gurunya ialah Sa’d bin Ammar bin Sa’d, Umar bin Hafsh bin Sa’d, dan Abdullah bin Muhammad bin Sa’d. Sementara di antara yang menjadi murid-muridnya ialah Ahmad bin Al-Hajjaj dan Hisyam bin Ammar. Melihat biografinya ini, Hisyam bertemu dengan tokoh ini karena ia merupakan gurunya.
Selain mendapatkan at-ta’dil, tokoh ini juga mendapatkan banyak al-jarh. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok tsiqah. Sementara itu, Yahya bin Ma’in menilainya dhaif. Al-Bukhari mengomentarinya dengan fihi nadzar ‘perlu ditinjau kembali’ dan Abu Ahmad Al-Hakim mengatakan bahwa hadisuhu laisa bil qo’im. Di sini terjadi kontra antara al-jarh dan at-ta’dil. Bila dicermati, ta’dil yang dikemukakan tersebut pada tingkat sedang sementara jarh-nya pada tingkat yang agak serius. Terlebih, para penyacatnya tentu dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang yang memuji tadi.
Memperhatikan berbagai komentar tadi, dapat disimpulkan bahwa hadisnya masuk dalam kelompok dhaif.
d. Sa’d bin Ammar bin Sa’d
Nama lengkapnya adalah Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Ia masuk dalam kategori tabi’in dan belum pernah bertemu Nabi. Di antara gurunya ialah Ammar bin Sa’d bin A’idz dan di antara muridnya ialah Abdurrhaman bin Sa’d bin Ammar Al-Qardh. Ibnul Qathan mengomentarinya dengan orang yang tidak dikenal keadaannya. Karena yang ada hanya pencelaan dan tidak ada yang memujinya, maka kedudukannya masuk dalam kelompok orang yang dhaif hadisnya.
e. Ammar bin Sa’d bin A’idz
Nama lengkapnya ialah Ammar bin Sa’d bin A’idz, seorang tabi’in generasi pertengahan. Gurunya ialah Sa’d bin A’idz dan muridnya ialah Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Jadi, secara sanad ia bertemu dengan keduanya. Ibnu Hibban mengomentarinya dengan tsiqah. Demikian pula, Adz-Dzahabi juga menganggapnya tsiqah. Dengan demikian, ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.
f. Sa’d bin A’idz
Sa’d bin A’idz adalah seorang shahabat Nabi. Karena semua shahabat adalah orang yang memiliki ‘adalah dan ke-dhabit-an tertinggi, maka tidak perlu diperiksa dan langsung dikatakan bahwa hadisnya shahih.
Dari pemaparan sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, didapatkan dua perawi yang berpredikat dhaif, yaitu Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar bin Ammar Al-Qardh dan Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Karena ada dua periwayat yang dhaif, maka nilai hadisnya juga dhaif.
Jalur Ibnu Majah 2
a. Ibnu Majah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi.
b. Ayyub bin Muhammad
Nama lengkapnya ialah Ayyub bin Muhammad bin Ayyub seorang senior tabiut tabi’in. Ia memiliki nama laqab (gelar) Al-Qalb dan menetap di Bashrah. Di antara yang menjadi gurunya adalah Abdul Wahid bin Ziyad dan Umar bin Riyah, sedangkan di antara yang menjadi muridnya ialah Ibnu Majah. Dalam Program Kutubut Tis’ah disebutkan bahwa ia memiliki derajat tsiqah. Berdasarkan keterangan yang ada, dapat diketahui bahwa Ibnu Majah bertemu dengan perawi ini karena ia merupakan gurunya. Karena tidak ada jarh dan justru yang ada adalah ta’dil, maka ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.
c. Abdul Wahid bin Ziyad
Abdul Wahid bin Ziyad adalah seorang tabi’in generasi pertengahan. Ia memiliki kunyah Abul Basyar, menetap di Bashrah dan meninggal pada tahun 176 H. Ia mendapatkan banyak ta’dil dan sama sekali tidak mendapat jarh.
Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu Dawud, Abul Hatim Ar-Razi, dan Al-Ajli berkomentar bahwa Abdul Wahid bin Ziyad adalah perawi yang tsiqah. An-Nasa’i mengomentari bahwa ia laisa bihi ba’sun (tidak bermasalah). Dengan demikian, ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.
d. Hajjaj bin Arthah
Nama lengkapnya ialah Hajjaj bin Arthah bin Tsaur, seorang senior tabi’in. Nama kunyahnya ialah Abu Arthah. Ia menetap di Kufah dan wafat pada tahun 145 H. Dilihat dari tahun wafatnya, Abdul Wahid bin Ziyad pernah bertemu dengan tokoh ini.
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa dia shaduq, laisa bil qawwi (jujur, tidak terlalu kuat). Abu Hatim mengomentari bahwa ia shaduq. Menurut Abu Zur’ah ia adalah shaduq, yadlis (jujur, terkadang tidak menunjukkan kecacatan hadis). Al-Ajli mengatakan bahwa ia jaizul hadits (hadisnya boleh diambil). Karena tokoh ini mendapatkan banyak ta’dil, meskipun tidak istimewa maka hadisnya masuk dalam kategori sahih.
e. Aun bin Abu Jahifah
Nama lengkapnya ialah Aun bin Abu Jahifah bin Abdillah, seorang tabi’in. Ia menetap di Kufah dan meninggal dunia pada tahun 116 H. Dilihat tahun wafatnya, Hajjaj bin Arthah bertemu dengan tokoh ini.
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Aun bin Abu Jahifah tsiqah. Demikian pula, An-Nasa’i, Abu Hatim Ar-Razi, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah.
f. Wahab bin Abdillah
Wahab bin Abdillah adalah seorang shahabat Nabi. Ia memiliki nama julukan (laqab) Al-Khair dan nama kun-yah Abu Jahifah. Ia lahir di Kufah dan wafat pada tahun 74 H. Karena semua shahabat adalah orang yang memiliki ‘adalah dan ke-dhabit-an tertinggi, maka tidak perlu diperiksa dan langsung dikatakan bahwa hadisnya shahih.
Dari pemaparan sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa sanad jalur hadis ini bersambung. Dari segi kualitas rijal, didapatkan para perawi berpredikat tsiqah sehingga nilai hadisnya adalah sahih.
Jalur At-Tirmidzi
a. At-Tirmidzi
Nama aslinya ialah Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Ad-Dhahak. Ia memiliki kunyah Abu Isa. Ia lahir pada tahun 209 H dan meninggal dunia pada hari Senin, 13 Rajab tahun 279 H di desa Bugh, sebuah desa di kota Tirmidz. At-Tirmidzi ialah nama populernya yang dinisbahkan ke tempat asalnya, yaitu Tirmidz sebuah kota di utara Iran. Karena sudah sangat terkenal bahwa At-Tirmidzi seorang periwayat hadis yang dhabith dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.
b. Mahmud bin Ghailan
Mahmud bin Ghailan adalah seorang senior tabi’ut tabi’in yang memiliki kunyah Abu Ahmad. Ia menetap di Bagdad dan wafat pada tahun 239 H. Melihat tahun wafatnya ini, At-Tirmidzi bertemu dengan tokoh ini.
Abu Hatim Ar-Razi, An-Nasa’i, dan Maslamah bin Qasim menilainya sebagai perawi yang tsiqah. Ahmad bin Hambal mengomentarinya dengan a’rafuhu bil hadis dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam golongan tsiqah.
c. Abdurrazak
Nama lengkapnya ialah Abdurrazak bin Hamam bin Nafi’, seorang tabi’in yunior yang memiliki kunyah Abu Bakar. Ia menetap di Yaman dan meninggal di sana pula pada tahun 211 H. Berdasarkan tahun wafatnya, Mahmud bin Ghailan bertemu dengan tokoh ini. Ia termasuk perawi yang tsiqah menurut Abu Dawud As-Sajistani. Menurut Abu Zur’ah Ar-Razi ia tsabata haditsuhu (hadisnya bisa diterima) dan menurut Ibnu Adi arju annahu la ba’sa bihi (saya harap tidak apa-apa dengannya).
d. Sufyan bin Sa’id
Nama lengkapnya ialah Sufyan bin Sa’id bin Masruq, senior tabi’in yang memiliki kunyah Abu Abdillah. Ia menetap di Kufah dan meninggal dunia di Bashrah pada tahun 161 H. Melihat tahun wafatnya, Abdurrazak bertemu dengan tokoh ini.
Malik bin Anas mengomentarinya dengan tsiqah. Syu’bah bin al-Hajjaj mengomentarinya dengan amirul mukminin dalam hadis. Yahya bin Ma’in mengomentarinya dengan tsiqah.
e. Aun bin Abu Jahifah
Biografinya telah dijelaskan di jalur Ibnu Majah 2 sehingga tidak perlu diulangi di sini.
f. Wahab bin Abdillah
Biografinya telah dijelaskan di jalur Ibnu Majah 2 sehingga tidak perlu diulangi di sini.
Jalur Ahmad
a. Ahmad
Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad dan memiliki kunyah Abu Abdillah. Ia lahir di Bagdad dan meninggal pada 20 Rabiul Awal 164 H. Karena sudah sangat terkenal bahwa Imam Ahmad seorang periwayat hadis yang dhabith dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.
b. Abdurrazak
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
c. Sufyan bin Sa’id
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
d. Aun bin Abu Jahifah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
e. Wahab bin Abdillah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
Berdasarkan penelusuran terhadap para perawi ditemukan bahwa sanad jalur hadis ini bersambung atau muttasil al-sanad.
Dari hasil pemaparan sanad keempat jalur di atas dapat dikatakan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, pada jalur Ibnu Majah 1 terdapat dua periwayat yang dhaif, yaitu Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar dan Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Karena itu jalur ini nilai hadisnya dhaif dan tidak bisa diangkat menjadi hasan. Adapun ketiga jalur lainnya, kualitas rijalnya semuanya berpredikat tsiqah sehingga nilai hadisnya pun sahih.
B. PENELITIAN MATAN
Setelah diketahui bahwa semua sanad hadis tersebut bersambung, tapi pada jalur Ibnu Majah 1 kualitas rijalnya dhaif sehingga hadis dari jalur tersebut berpredikat dhaif, maka langkah kedua yang akan dilakukan adalah dengan meneliti sanad.
Hal ini dilakukan dengan meneliti apakah isi hadis tersebut bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih lainnya atau tidak. Berdasarkan pencarian, didapatkan bahwa hadis-hadis pada jalur Ibnu Majah 2, At-Tirmidzi, dan Ahmad, derajatnya sahih dan semakna dengan hadis jalur Ibnu Majah 1. Oleh karena itu, secara matan hadis jalur Ibnu Majah 1 nilai matannya sahih karena isinya tidak bertentangan dengan matan ketiga hadis yang sahih tersebut.
Substansi dalam hadis yang sedang diteliti ini ialah meletakkan kedua jari di kedua telinga ketika adzan. Hal ini termasuk adab atau etika bagi muadzin ketika mengumandangkan adzan. Di antara etika muadzin yang lainnya ialah mengumandangkan adzan dalam keadaan suci, melantunkan suara secara perlahan, dan menjulurkan leher seraya menoleh ke kanan ketika mengucapkan hayya alas shalah serta menoleh ke kiri ketika mengucapkan hayya alal falah.
Muadzin yang mengamalkan hadis ini dengan meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya adalah baik dan akan mendapatkan pahala karena telah mengamalkan ajaran Nabi. Sementara bagi muadzin yang tidak mempraktikkannya, maka adzannya tetap sah dan tidak apa-apa. Meski sekarang sudah digunakan pengeras suara dan banyak muadzin yang tangannya memegang microfon ketika adzan, hadis ini tetap relevan untuk diamalkan. Persoalan muadzin yang memegang microfon sehingga kedua jarinya tidak bisa diletakkan di kedua telinga, bisa diberi solusi dengan meletakkan microfon di tempat penyangga.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian terhadap hadis di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur periwayatan, yaitu Ibnu Majah dua jalur, At-Tirmidzi, dan Ahmad. Ditinjau dari segi sanad, keempat jalur periwayatan hadis tersebut bersambung dari perawi pertama hingga Nabi. Dari segi kualitas rijal, jalur riwayat Ibnu Majah 1 (hadis yang diteliti) derajatnya dhaif karena ada dua periwayat yang lemah. Sedangkan ketiga hadis lainnya, semua rijalnya tsiqah sehingga hadisnya pun sahih. Karena redaksi hadis yang diteliti hanya diriwayatkan melalui satu jalur, maka ia termasuk hadis ahad.
Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa hadis yang diteliti penulis sanadnya bersambung, tapi derajatnya dhaif. Meski demikian, secara matan hadis tersebut bisa diterima karena ada tiga hadis sahih yang mendukung maknanya. Ketiga hadis tersebut sama-sama menunjukkan adanya etika meletakkan kedua jari di kedua telinga ketika adzan.
Oleh:
Fahrur Mu’is
MUKADIMAH
Salah satu ajaran Islam yang selalu dilakukan oleh umat setiap hari ialah mengumandangkan adzan. Selain menjadi panggilan shalat, adzan juga merupakan salah satu syiar Islam yang menunjukkan subur-tidaknya agama Islam di suatu daerah.
Nah, di antara etika atau adab yang perlu diperhatikan ketika adzan ialah meletakkan kedua jari di kedua telinga. Jelas ini merupakan arahan khusus bagi para muadzin ketika mengumandangkan adzan.
Persoalan yang akan dibahas di sini ialah bagaimana bunyi hadis itu secara lengkap? Hadis itu diriwayatkan oleh siapa saja dan dalam kitab apa? Apakah hadis itu mutawatir atau tidak, serta shahih atau tidak, baik dari segi sanad maupun matannya?
Hadis yang diteliti dalam tulisan ini sebagaimana yang ditugaskan kepada penulis adalah hadis yang memiliki lafal:
…أَمَرَ بِلاَلاً أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ
“….Rasulullah memerintahkan Bilal untuk meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Beliau bersabda, ‘Hal itu akan lebih mengeraskan suaramu.’”
A. PENELITIAN SANAD
Salah satu cara untuk mengetahui apakah sebuah hadis nilainya sahih ialah dengan meneliti ketersambungan sanadnya mulai dari periwayat pertama hingga terakhir. Langkah pertama yang akan dilakukan di sini ialah dengan meneliti ketersambungan sanad sebagai berikut:
1. Periwayatan dalam Kitab Hadis
Dari pencarian di Mausu’ah al-Hadis asy-Syarif, ditemukan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Ahmad, dan Tirmidzi. Lafal lengkap hadis tersebut ialah:
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ سَعْدٍ مُؤَذِّنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلاَلاً أَنْ يَجْعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ أَرْفَعُ لِصَوْتِكَ
Artinya, “Telah bercerita kepada saya Hisyam bin Ammar, katanya, telah bercerita kepada saya Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar bin Sa’d muadzin Rasulullah saw, telah bercerita kepada saya bapak saya dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw memerintahkan Bilal untuk meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya. Beliau bersabda, ‘Hal itu akan lebih mengeraskan suaramu.’” (HR. Ibnu Majah, no 702).
حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْهَاشِمِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ عَنْ حَجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْأَبْطَحِ وَهُوَ فِي قُبَّةٍ حَمْرَاءَ فَخَرَجَ بِلاَلٌ فَأَذَّنَ فَاسْتَدَارَ فِي أَذَانِهِ وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ
“Telah bercerita kepada saya Ayyub bin Muhammad al-Hasyimi, telah bercerita kepada saya Abdul Wahid bin Ziyad, dari Hajjaj bin Arthah dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah mendatangi Rasulullah di Abthah ketika beliau sedang berada di sebuah kemah berwarna merah. Lalu, Bilal keluar mengumandangkan adzan dan dia berputar dalam adzannya serta meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya.” (HR. Ibnu Majah, no 703).
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا وَأُصْبُعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ…
“Telah bercerita kepada saya Abdur Razzak, telah memberi kabar kepada saya Sufyan, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan dan aku cermati gerakan mulutnya ke sini dan ke sini, sementara kedua jarinya berada di kedua telinganya….” (HR. Ahmad, no 18010).
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ وَيَدُورُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ
….
“Telah bercerita kepada saya Mahmud bin Ghailan, telah bercerita kepada saya Abdur Razzak, telah memberi kabar kepada saya Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya, berkata, “Aku pernah melihat Bilal mengumandangkan adzan dan aku cermati gerakan mulutnya ke sini dan ke sini, sementara kedua jarinya berada di kedua telinganya….” (HR. Tirmidzi, no 181).
Setelah diadakan penelusuran dalam Kutubut Tis’ah, ternyata hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur periwayatan, yaitu Ibnu Majah dua kali, Imam Tirmidzi sekali, dan Imam Ahmad sekali.
2. Bagan Sanad Hadis
Berhubung hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur, maka akan dibuat bagan hadis sebagai berikut:
NABI MUHAMMAD SAW
f. Wahab bin Abdillah (w.74 H) (e)
f. Sa’d bin A’idz
e. A’un (w. 116 H) (d)
e. Ammar bin Sa’d bin A’idz d. Hajjah bin Arthah (w. 145 H) d. Sufyan (c)
d. Sa’d bin Ammar bin Sa’d c. Abdul Wahid (w. 176 H) c. Abdurrazak (b)
c. Abdurrahman bin Sa’d bin b. Ayyub bin Muhammad b. Mahmud bin Ghailan
b. Hisyam bin Ammar (w. 245 H).
a. Ibnu Majah (w. 273 H) a. Ibnu Majah (w. 273 H) a. At-Tirmidzi a. Ahmad
3. Persambungan Sanad
Jalur Ibnu Majah 1
a. Ibnu Majah
Nama asli Ibnu Majah adalah Muhammad bin Yazid. Ia lebih terkenal dengan nama Ibnu Majah. Adapun Majah ialah nama julukan (laqab) bagi ayahnya yang bernama asli Yazid. Ia lahir pada tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. Para ulama telah mengakui bahwa dia adalah periwayat hadis yang terkenal dhabith dan tsiqah. Oleh karena itu, penelusuran terhadapnya tidak perlu berpanjang lebar.
b. Hisyam bin Ammar
Nama lengkap Hisyam bin Ammar ialah Hisyam bin Ammar bin Nashir bin Maisarah bin Aban. Ia memiliki nama kunyah Abul Walid, tinggal di Syam, dan meninggal di Dajil pada tahun 254 H. Melihat tahun wafatnya ini, Ibnu Majah bertemu dengan tokoh ini. Hisyam bin Ammar termasuk senior tabi’ut tabi’in. Di antara syaikhnya ialah Ibrahim bin A’yan, Ismail bin Ayyasy, dan Anas bis Iyadh. Di antara yang menjadi muridnya ialah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim.
Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hibban memasukkan Hisyam bin Ammar dalam kelompok tsiqah. Ad-Daruquthni bahkan mengatakan bahwa dia masuk dalam kelompok shaduq, sementara An-Nasa’i mengomentari bahwa dia la ba’sa bih. Karena tidak ada al-jarh terhadapnya dan justru ada penilaian tsiqah untuknya, maka ia digolongkan orang yang adil dan dhabith, hadisnya masuk dalam ketegori shahih.
c. Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar
Nama lengkapnya ialah Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar Al-Qardh. Ia termasuk senior tabi’in. Di antara gurunya ialah Sa’d bin Ammar bin Sa’d, Umar bin Hafsh bin Sa’d, dan Abdullah bin Muhammad bin Sa’d. Sementara di antara yang menjadi murid-muridnya ialah Ahmad bin Al-Hajjaj dan Hisyam bin Ammar. Melihat biografinya ini, Hisyam bertemu dengan tokoh ini karena ia merupakan gurunya.
Selain mendapatkan at-ta’dil, tokoh ini juga mendapatkan banyak al-jarh. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok tsiqah. Sementara itu, Yahya bin Ma’in menilainya dhaif. Al-Bukhari mengomentarinya dengan fihi nadzar ‘perlu ditinjau kembali’ dan Abu Ahmad Al-Hakim mengatakan bahwa hadisuhu laisa bil qo’im. Di sini terjadi kontra antara al-jarh dan at-ta’dil. Bila dicermati, ta’dil yang dikemukakan tersebut pada tingkat sedang sementara jarh-nya pada tingkat yang agak serius. Terlebih, para penyacatnya tentu dapat menunjukkan kelemahan periwayat yang tidak kelihatan oleh orang yang memuji tadi.
Memperhatikan berbagai komentar tadi, dapat disimpulkan bahwa hadisnya masuk dalam kelompok dhaif.
d. Sa’d bin Ammar bin Sa’d
Nama lengkapnya adalah Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Ia masuk dalam kategori tabi’in dan belum pernah bertemu Nabi. Di antara gurunya ialah Ammar bin Sa’d bin A’idz dan di antara muridnya ialah Abdurrhaman bin Sa’d bin Ammar Al-Qardh. Ibnul Qathan mengomentarinya dengan orang yang tidak dikenal keadaannya. Karena yang ada hanya pencelaan dan tidak ada yang memujinya, maka kedudukannya masuk dalam kelompok orang yang dhaif hadisnya.
e. Ammar bin Sa’d bin A’idz
Nama lengkapnya ialah Ammar bin Sa’d bin A’idz, seorang tabi’in generasi pertengahan. Gurunya ialah Sa’d bin A’idz dan muridnya ialah Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Jadi, secara sanad ia bertemu dengan keduanya. Ibnu Hibban mengomentarinya dengan tsiqah. Demikian pula, Adz-Dzahabi juga menganggapnya tsiqah. Dengan demikian, ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.
f. Sa’d bin A’idz
Sa’d bin A’idz adalah seorang shahabat Nabi. Karena semua shahabat adalah orang yang memiliki ‘adalah dan ke-dhabit-an tertinggi, maka tidak perlu diperiksa dan langsung dikatakan bahwa hadisnya shahih.
Dari pemaparan sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, didapatkan dua perawi yang berpredikat dhaif, yaitu Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar bin Ammar Al-Qardh dan Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Karena ada dua periwayat yang dhaif, maka nilai hadisnya juga dhaif.
Jalur Ibnu Majah 2
a. Ibnu Majah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi.
b. Ayyub bin Muhammad
Nama lengkapnya ialah Ayyub bin Muhammad bin Ayyub seorang senior tabiut tabi’in. Ia memiliki nama laqab (gelar) Al-Qalb dan menetap di Bashrah. Di antara yang menjadi gurunya adalah Abdul Wahid bin Ziyad dan Umar bin Riyah, sedangkan di antara yang menjadi muridnya ialah Ibnu Majah. Dalam Program Kutubut Tis’ah disebutkan bahwa ia memiliki derajat tsiqah. Berdasarkan keterangan yang ada, dapat diketahui bahwa Ibnu Majah bertemu dengan perawi ini karena ia merupakan gurunya. Karena tidak ada jarh dan justru yang ada adalah ta’dil, maka ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.
c. Abdul Wahid bin Ziyad
Abdul Wahid bin Ziyad adalah seorang tabi’in generasi pertengahan. Ia memiliki kunyah Abul Basyar, menetap di Bashrah dan meninggal pada tahun 176 H. Ia mendapatkan banyak ta’dil dan sama sekali tidak mendapat jarh.
Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah Ar-Razi, Abu Dawud, Abul Hatim Ar-Razi, dan Al-Ajli berkomentar bahwa Abdul Wahid bin Ziyad adalah perawi yang tsiqah. An-Nasa’i mengomentari bahwa ia laisa bihi ba’sun (tidak bermasalah). Dengan demikian, ia masuk dalam golongan orang yang shahih hadisnya.
d. Hajjaj bin Arthah
Nama lengkapnya ialah Hajjaj bin Arthah bin Tsaur, seorang senior tabi’in. Nama kunyahnya ialah Abu Arthah. Ia menetap di Kufah dan wafat pada tahun 145 H. Dilihat dari tahun wafatnya, Abdul Wahid bin Ziyad pernah bertemu dengan tokoh ini.
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa dia shaduq, laisa bil qawwi (jujur, tidak terlalu kuat). Abu Hatim mengomentari bahwa ia shaduq. Menurut Abu Zur’ah ia adalah shaduq, yadlis (jujur, terkadang tidak menunjukkan kecacatan hadis). Al-Ajli mengatakan bahwa ia jaizul hadits (hadisnya boleh diambil). Karena tokoh ini mendapatkan banyak ta’dil, meskipun tidak istimewa maka hadisnya masuk dalam kategori sahih.
e. Aun bin Abu Jahifah
Nama lengkapnya ialah Aun bin Abu Jahifah bin Abdillah, seorang tabi’in. Ia menetap di Kufah dan meninggal dunia pada tahun 116 H. Dilihat tahun wafatnya, Hajjaj bin Arthah bertemu dengan tokoh ini.
Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Aun bin Abu Jahifah tsiqah. Demikian pula, An-Nasa’i, Abu Hatim Ar-Razi, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah.
f. Wahab bin Abdillah
Wahab bin Abdillah adalah seorang shahabat Nabi. Ia memiliki nama julukan (laqab) Al-Khair dan nama kun-yah Abu Jahifah. Ia lahir di Kufah dan wafat pada tahun 74 H. Karena semua shahabat adalah orang yang memiliki ‘adalah dan ke-dhabit-an tertinggi, maka tidak perlu diperiksa dan langsung dikatakan bahwa hadisnya shahih.
Dari pemaparan sanad hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa sanad jalur hadis ini bersambung. Dari segi kualitas rijal, didapatkan para perawi berpredikat tsiqah sehingga nilai hadisnya adalah sahih.
Jalur At-Tirmidzi
a. At-Tirmidzi
Nama aslinya ialah Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa bin Ad-Dhahak. Ia memiliki kunyah Abu Isa. Ia lahir pada tahun 209 H dan meninggal dunia pada hari Senin, 13 Rajab tahun 279 H di desa Bugh, sebuah desa di kota Tirmidz. At-Tirmidzi ialah nama populernya yang dinisbahkan ke tempat asalnya, yaitu Tirmidz sebuah kota di utara Iran. Karena sudah sangat terkenal bahwa At-Tirmidzi seorang periwayat hadis yang dhabith dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.
b. Mahmud bin Ghailan
Mahmud bin Ghailan adalah seorang senior tabi’ut tabi’in yang memiliki kunyah Abu Ahmad. Ia menetap di Bagdad dan wafat pada tahun 239 H. Melihat tahun wafatnya ini, At-Tirmidzi bertemu dengan tokoh ini.
Abu Hatim Ar-Razi, An-Nasa’i, dan Maslamah bin Qasim menilainya sebagai perawi yang tsiqah. Ahmad bin Hambal mengomentarinya dengan a’rafuhu bil hadis dan Ibnu Hibban memasukkannya dalam golongan tsiqah.
c. Abdurrazak
Nama lengkapnya ialah Abdurrazak bin Hamam bin Nafi’, seorang tabi’in yunior yang memiliki kunyah Abu Bakar. Ia menetap di Yaman dan meninggal di sana pula pada tahun 211 H. Berdasarkan tahun wafatnya, Mahmud bin Ghailan bertemu dengan tokoh ini. Ia termasuk perawi yang tsiqah menurut Abu Dawud As-Sajistani. Menurut Abu Zur’ah Ar-Razi ia tsabata haditsuhu (hadisnya bisa diterima) dan menurut Ibnu Adi arju annahu la ba’sa bihi (saya harap tidak apa-apa dengannya).
d. Sufyan bin Sa’id
Nama lengkapnya ialah Sufyan bin Sa’id bin Masruq, senior tabi’in yang memiliki kunyah Abu Abdillah. Ia menetap di Kufah dan meninggal dunia di Bashrah pada tahun 161 H. Melihat tahun wafatnya, Abdurrazak bertemu dengan tokoh ini.
Malik bin Anas mengomentarinya dengan tsiqah. Syu’bah bin al-Hajjaj mengomentarinya dengan amirul mukminin dalam hadis. Yahya bin Ma’in mengomentarinya dengan tsiqah.
e. Aun bin Abu Jahifah
Biografinya telah dijelaskan di jalur Ibnu Majah 2 sehingga tidak perlu diulangi di sini.
f. Wahab bin Abdillah
Biografinya telah dijelaskan di jalur Ibnu Majah 2 sehingga tidak perlu diulangi di sini.
Jalur Ahmad
a. Ahmad
Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad dan memiliki kunyah Abu Abdillah. Ia lahir di Bagdad dan meninggal pada 20 Rabiul Awal 164 H. Karena sudah sangat terkenal bahwa Imam Ahmad seorang periwayat hadis yang dhabith dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan.
b. Abdurrazak
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
c. Sufyan bin Sa’id
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
d. Aun bin Abu Jahifah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
e. Wahab bin Abdillah
Biografinya telah dijelaskan di atas sehingga tidak perlu diulangi di sini.
Berdasarkan penelusuran terhadap para perawi ditemukan bahwa sanad jalur hadis ini bersambung atau muttasil al-sanad.
Dari hasil pemaparan sanad keempat jalur di atas dapat dikatakan bahwa sanadnya bersambung. Dari segi kualitas rijal, pada jalur Ibnu Majah 1 terdapat dua periwayat yang dhaif, yaitu Abdurrahman bin Sa’d bin Ammar dan Sa’d bin Ammar bin Sa’d. Karena itu jalur ini nilai hadisnya dhaif dan tidak bisa diangkat menjadi hasan. Adapun ketiga jalur lainnya, kualitas rijalnya semuanya berpredikat tsiqah sehingga nilai hadisnya pun sahih.
B. PENELITIAN MATAN
Setelah diketahui bahwa semua sanad hadis tersebut bersambung, tapi pada jalur Ibnu Majah 1 kualitas rijalnya dhaif sehingga hadis dari jalur tersebut berpredikat dhaif, maka langkah kedua yang akan dilakukan adalah dengan meneliti sanad.
Hal ini dilakukan dengan meneliti apakah isi hadis tersebut bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih lainnya atau tidak. Berdasarkan pencarian, didapatkan bahwa hadis-hadis pada jalur Ibnu Majah 2, At-Tirmidzi, dan Ahmad, derajatnya sahih dan semakna dengan hadis jalur Ibnu Majah 1. Oleh karena itu, secara matan hadis jalur Ibnu Majah 1 nilai matannya sahih karena isinya tidak bertentangan dengan matan ketiga hadis yang sahih tersebut.
Substansi dalam hadis yang sedang diteliti ini ialah meletakkan kedua jari di kedua telinga ketika adzan. Hal ini termasuk adab atau etika bagi muadzin ketika mengumandangkan adzan. Di antara etika muadzin yang lainnya ialah mengumandangkan adzan dalam keadaan suci, melantunkan suara secara perlahan, dan menjulurkan leher seraya menoleh ke kanan ketika mengucapkan hayya alas shalah serta menoleh ke kiri ketika mengucapkan hayya alal falah.
Muadzin yang mengamalkan hadis ini dengan meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya adalah baik dan akan mendapatkan pahala karena telah mengamalkan ajaran Nabi. Sementara bagi muadzin yang tidak mempraktikkannya, maka adzannya tetap sah dan tidak apa-apa. Meski sekarang sudah digunakan pengeras suara dan banyak muadzin yang tangannya memegang microfon ketika adzan, hadis ini tetap relevan untuk diamalkan. Persoalan muadzin yang memegang microfon sehingga kedua jarinya tidak bisa diletakkan di kedua telinga, bisa diberi solusi dengan meletakkan microfon di tempat penyangga.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian terhadap hadis di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tersebut diriwayatkan melalui empat jalur periwayatan, yaitu Ibnu Majah dua jalur, At-Tirmidzi, dan Ahmad. Ditinjau dari segi sanad, keempat jalur periwayatan hadis tersebut bersambung dari perawi pertama hingga Nabi. Dari segi kualitas rijal, jalur riwayat Ibnu Majah 1 (hadis yang diteliti) derajatnya dhaif karena ada dua periwayat yang lemah. Sedangkan ketiga hadis lainnya, semua rijalnya tsiqah sehingga hadisnya pun sahih. Karena redaksi hadis yang diteliti hanya diriwayatkan melalui satu jalur, maka ia termasuk hadis ahad.
Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa hadis yang diteliti penulis sanadnya bersambung, tapi derajatnya dhaif. Meski demikian, secara matan hadis tersebut bisa diterima karena ada tiga hadis sahih yang mendukung maknanya. Ketiga hadis tersebut sama-sama menunjukkan adanya etika meletakkan kedua jari di kedua telinga ketika adzan.
POLA-POLA IJTIHAD DALAM HUKUM ISLAM KLASIK-TENGAH
Oleh:
FAHRUR MU’IS
ABSTRAKS
Wahyu Allah yang salah satunya berisi tentang hukum Islam telah berhenti sejak empat belas abad yang lalu. Wahyu tersebut telah final dan berhasil diabadikan hingga sekarang dalam bentuk mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Namun demikian, peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di masyarakat tidak pernah berhenti. Untuk menggali hukum dari peristiwa yang baru muncul pada setiap zaman tersebut dibutuhkan sebuah ijtihad.
Tulisan dalam makalah ini akan mengangkat tentang pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan. Metode yang digunakan di sini ialah metode literatur, yaitu dengan mengkaji persoalan dari berbagai referensi.
Ijtihad pada periode klasik dimulai pada akhir masa shahabat dan dilanjutkan pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in. Hanya saja, ijtihad pada periode shahabat belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum karena keputusan masih di tangan Rasulullah. Pola ijtihad pada periode tabi’in dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).
Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.
Pendahuluan
Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran. Adapun sumber hukum yang kedua adalah As-Sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis apa pun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.
Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Secara khusus, tulisan ini akan membahas pola-pola ijtihad dalam hukum Islam pada masa klasik-tengah dan beberapa hal yang berhubungan dengannya.
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran ataupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan oleh para ahli agama Islam.
Secara bahasa, kata ijtihad memiliki beberapa makna. Menurut Louis Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il) jahada, yajhadu, dan bentuk mashdarnya jahdan yang berarti pengerahan segala kasanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan.
Ada juga yang berpendapat bahwa ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari situ, ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kekuatan atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.
Adapun ijtihad secara istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli ushul fikih adalah pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara’ dan ia tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak.
Asy-Syaukani merumuskan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbath.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad ialah mencurahkan daya kekuatan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu.
Walaupun definisi ijtihad di atas redaksinya berbeda-beda, namun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Sejak terkodifikasinya ilmu ushul fikih oleh Asy-Syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari qiyas, istishlah, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang nash-nashnya memerintahkn untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil pelajaran. Di antaranya ialah:
1.Dari Al-Quran
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar-Ra’d: 3; Ar-Rum: 21; Az-Zumar: 42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).
2.Dari Hadis
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Muslim).
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
“Sesungguhnya, ketika Rasulullah ingin mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ‘Bagaimana upayamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah.’ Nabi kemudian bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalilnya dalam Al-Qur’an?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah bertanya lagi, ‘Bagaimana jika tidak kamu dapati dalilnya di dalam sunnah Rasulullah dan Kitabullah?’ Mu’adz menjawab, ‘Aku akan berijtihad dengan rasioku dan tidak mengabaikannya.’ Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz sambil bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah’.” (HR Abu Dawud).
Ada juga kisah dua sahabat Nabi yang sedang dalam perjalanan. Mereka shalat dengan bertayamum karena ketidakadaan air. Seusai shalat, tiba-tiba keduanya mendapatkan air. Kemudian di antara mereka ada yang mengulangi shalatnya, dan yang lainnya lagi tidak mengulanginya. Setelah ditanyakan kepada Rasulullah, beliau membenarkan kedua pendapat mereka.
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui ijtihad dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah.
C. Ruang Lingkup dan Syarat Ijtihad
Tidak semua hukum Islam bisa menjadi lapangan ijtihad, kecuali beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi obyek ijtihad ialah:
1.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i baik kedudukannya maupun pengertiaannya, atau dibawa oleh hadits mutawatir, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, haramnya riba, dan sebagainya. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadits mutawatir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan rakaat shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.
2.Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma’kan) oleh para mujtahidin dari suatu masa, seperti pemberian warisan sebesar seperenam harta warisan untuk nenek perempuan dan tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara muslimah dengan lelaki kafir.
Adapun ruang lingkup ijtihad adalah sebagai berikut:
1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurud-nya maupun dari segi pengertiannya (dalalah) yaitu hadis ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ijtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.
Ijitihad dalam ruang gerak dan jangkaunnya mengenai materi-materi hukum zhanniyat adalah sangat luas. Dalam praktiknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia menampung terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Maka, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap oang bisa melakukan ijtihad, melainkan orang yang memiliki syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan kelengkapan diri mujtahid maupun sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan. Syarat-syarat tersebut ialah:
1.Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia untuk menguasai pengertian susunan kata-katanya karena obyek pertama bagi mujtahid ialah pemahaman terhadap nash-nasah Al-Quran dan hadis yang berbahasa Arab.
2.Mengetahui Al-Quran dan hadis terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.
3.Mengetahui segi-segi pemakaina qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, di samping fakta-fakta yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
4.Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.
5.Mengetahui ilmu ushul fikih.
D. Jenis-Jenis Ijtihad
Di antara jenis-jenis ijtihad ialah:
1.Ijmak
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad, setelah beliau wafat, pada suatau masa atas hukum suatau masalah.
2.Qiyâs
Di antara definisi qiyâs' (analogi) ialah:
a.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Quran atau hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
Untuk melakukan ijtihad diperlukan empat unsur yang dalam ushul fikih disebut rukun-rukun qiyas. Keempat rukun tersebut ialah al-ashl (pokok), yaitu pokok yang telah disebutkan di dalam nash, yang menjadi pangkal qiyas; al-far’ (cabang), yaitu hal yang dicari hukumnya, yang tidak disebut dalam nash; hukm al-ashl (hukum atas pokok); dan ‘illat hukm al-ashl (sebab hukum atas pokok).
3.Istihsân
Di antara definisi istihsân ialah:
a.Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
c.Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Misal, dalil khusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, diwariskan atau dihibahkan. Jika suatu harta wakaf tidak memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf, maka ia boleh dipindahtangankan untuk memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf dan sekaligus menghindari larangan memubazirkan harta.
4.Mashalat murshalah
Yaitu tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan dan membatalkannya. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.
5. Sad Adz-Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsip dalam Al-Qur’an dan Hadis.
E. Pola-Pola Ijtihad dari Periode Klasik hingga Pertengahan
Periodisasi dalam pemikiran Islam terbagi menjadi empat periode. Pertama, periode Rasulullah yang berlangsung hingga tahun 634 M. Kedua, periode klasik yang dimulai tahun 650 sampai 1000 M. Ketiga, periode pertengahan yang dimulai tahun 1258 hingga 1800 M. Keempat, periode modern yang dimulai tahun 1800 hingga sekarang.
Periodisasi pemikiran Islam tersebut berbeda dengan periodisasi pemikiran Barat yang hanya terbagi menjadi tiga periode. Pertama, periode klasik yang dimulai tahun 500 SM sampai 600 M. Kedua, periode pertengahan yang dimulai tahun 600 M hingga 1500 M. Periode ini dikenal dengan The Dark Age (Abad Kegelapan) yang hal ini jelas tidak ada dalam Islam. Ketiga, periode modern yang dimulai tahun 1550 M hingga sekarang.
Pola ijtihad yang akan ditulis di sini ialah pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan, yaitu sekitar tahun 650 hingga 1800 M.
1.Ijtihad pada periode shahabat
Ijtihad pada periode klasik ini dimulai pada akhir periode shahabat (101 H) dan awal dari periode tabi’in dan tabiut tabi’in (abad 11 H-pertengahan abad IV H). Mayoritas ulama berpendapat bahwa para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad shahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari Rasulullah.
Contohnya ialah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ammar ketika berhadast besar dalam suatu perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba.Lalu, Ammar melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadats besar. Adapun Umar bin Khatab ia menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya digunakan untuk menghilangkan hadas kecil.
Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa kedua pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah (tayamum) yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu:
“….Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Rasulullah menjelaskan kepada Umar bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk menghilangkan hadats kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadats besar, sesuai dengan ayat di atas.
Singkatnya, ijtihad shahabat pada masa Rasulullah belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum karena ketentuan akhir masih ada di tangan Rasulullah. Tetapi, setelah beliau wafat, ijtihad shahabat sudah dapat dijadikan alat penggali hukum karena tidak lagi menunggu keputusan Rasulullah.
2. Ijtihad pada periode tabi’in dan tabi’ tabi’in (imam-imam mazhab)
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa shahabat, muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada perndapat para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a.Mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b.Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.
Golongan jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:
a.Ahlul Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat shahabat. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh Al-Zuhry, Al-Tausry, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Dawud Al-Zhawahiry.
b.Ahlul Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
1. Nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
2.Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah Al-Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
3. Ijtihad pada generasi setelah para imam mazhab
Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadu beku. Dalam memecahkan masalah-masalah ijtihadiyah, umumnya para mujtahid enggan mengistinbath hukum dengan secara langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para mujtahid sebelumnya.
Para sejarawan menjuluki masa-masa kemunduran ijtitihad ini dengan periode taqlid dan pemutupan pintu ijtihad. Hal itu karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan nyang tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqaha ada yang merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.
Berdasarkan fakta sejarah, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan perkembangnannya bertambah pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap periode.
Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits dalam upaya lebih mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan illat), dan pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum).
1.Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (anbigu), mana lafal yang umum yang diterangkan (‘am mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.
Sebagai contoh di dalan hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunat. Ulama sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap dzanny.
2. Pola Qiyasi (Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan illat (kaadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama).
Sebagai contoh di dalam hadits ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadis ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai dengan illatnya yang dipilih tadi.
Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.
3. Pola Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti: tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.
Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.
Pola istislahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.
Kesimpulan
Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada hukum Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah Al-Quran dan Sunnah. Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum muslimin melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.
Kesimpulan dalam kajian ini ditemukan bahwa ijtihad pada periode klasik dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).
Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
Program Kutubut Tis’ah
Ahmad Azhar, dkk. 1996. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Amir Mu’alim dan Yusdani. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
Ahmad Warson Munawwir. 2002. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Dar el-Machreq. 2002. Al-Munjid fil Lughah wal A’lam. Beirut: Darul Masyriq.
Huzaemah Tahido Yanggo. 1999. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Nasrun Rusli. 1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. Jakarta: Logos.
htp://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad.
htp://www.eramuslim.com
FAHRUR MU’IS
ABSTRAKS
Wahyu Allah yang salah satunya berisi tentang hukum Islam telah berhenti sejak empat belas abad yang lalu. Wahyu tersebut telah final dan berhasil diabadikan hingga sekarang dalam bentuk mushaf Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits. Namun demikian, peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di masyarakat tidak pernah berhenti. Untuk menggali hukum dari peristiwa yang baru muncul pada setiap zaman tersebut dibutuhkan sebuah ijtihad.
Tulisan dalam makalah ini akan mengangkat tentang pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan. Metode yang digunakan di sini ialah metode literatur, yaitu dengan mengkaji persoalan dari berbagai referensi.
Ijtihad pada periode klasik dimulai pada akhir masa shahabat dan dilanjutkan pada masa tabi’in dan tabi’ tabi’in. Hanya saja, ijtihad pada periode shahabat belum dapat dikatakan sebagai alat penggali hukum karena keputusan masih di tangan Rasulullah. Pola ijtihad pada periode tabi’in dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).
Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.
Pendahuluan
Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran. Adapun sumber hukum yang kedua adalah As-Sunnah yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Dalam melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis apa pun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih sangat terbatas terutama pada masalah-masalah keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah wafat. Sejak itu para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial terutama tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara’. Satu-satunya pilihan bagi para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran, hadis, dan tindakan-tindakan normatif Nabi yang pernah mereka saksikan.
Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Secara khusus, tulisan ini akan membahas pola-pola ijtihad dalam hukum Islam pada masa klasik-tengah dan beberapa hal yang berhubungan dengannya.
A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran ataupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan oleh para ahli agama Islam.
Secara bahasa, kata ijtihad memiliki beberapa makna. Menurut Louis Makhluf, ijtihad berasal dari kata kerja (fi’il) jahada, yajhadu, dan bentuk mashdarnya jahdan yang berarti pengerahan segala kasanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Atau bisa juga bermakna bersungguh-sungguh dalam bekerja dengan segenap kemampuan.
Ada juga yang berpendapat bahwa ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari situ, ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna pengerahan daya dan kekuatan atau pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar.
Adapun ijtihad secara istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli ushul fikih adalah pengerahan segenap kemampuan oleh seorang ahli fikih atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi ijtihad ialah untuk mengeluarkan hukum syara’ dan ia tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak.
Asy-Syaukani merumuskan bahwa ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbath.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ijtihad ialah mencurahkan daya kekuatan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci.
Adapun pengertian ijtihad menurut istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan dengan cara-cara tertentu.
Walaupun definisi ijtihad di atas redaksinya berbeda-beda, namun pada prinsipnya mereka sepakat bahwa ijtihad adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang banyak. Sejak terkodifikasinya ilmu ushul fikih oleh Asy-Syafi’i, pengertian ijtihad hanya digunakan pada disiplin ilmu fikih dan ushul fikih, padahal istilah ijtihad pada masa Rasulullah dan sahabatnya, dipergunakan pada hampir semua aspek ilmu pengetahuan. Meskipun pada masa itu istilah ijtihad belum dipahami sebagai sumber hukum yang ketiga, namun pada masa tabi’in, ijtihad disejajarkan dengan ra’yu yang terdiri dari qiyas, istishlah, istihsan, maslahah mursalah dan sebagainya.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang nash-nashnya memerintahkn untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil pelajaran. Di antaranya ialah:
1.Dari Al-Quran
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar-Ra’d: 3; Ar-Rum: 21; Az-Zumar: 42).
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).
2.Dari Hadis
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Muslim).
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
“Sesungguhnya, ketika Rasulullah ingin mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ‘Bagaimana upayamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah.’ Nabi kemudian bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalilnya dalam Al-Qur’an?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah bertanya lagi, ‘Bagaimana jika tidak kamu dapati dalilnya di dalam sunnah Rasulullah dan Kitabullah?’ Mu’adz menjawab, ‘Aku akan berijtihad dengan rasioku dan tidak mengabaikannya.’ Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz sambil bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah’.” (HR Abu Dawud).
Ada juga kisah dua sahabat Nabi yang sedang dalam perjalanan. Mereka shalat dengan bertayamum karena ketidakadaan air. Seusai shalat, tiba-tiba keduanya mendapatkan air. Kemudian di antara mereka ada yang mengulangi shalatnya, dan yang lainnya lagi tidak mengulanginya. Setelah ditanyakan kepada Rasulullah, beliau membenarkan kedua pendapat mereka.
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui ijtihad dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah dalil-dalil yang secara tegas digunakan untuk menerapkan hukum masalah yang aktual, walaupun kemungkinan ijtihad yang dilakukan itu keliru menurut pandangan Allah.
C. Ruang Lingkup dan Syarat Ijtihad
Tidak semua hukum Islam bisa menjadi lapangan ijtihad, kecuali beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi obyek ijtihad ialah:
1.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i baik kedudukannya maupun pengertiaannya, atau dibawa oleh hadits mutawatir, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, haramnya riba, dan sebagainya. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu dari syara’ yang dibawa oleh hadits mutawatir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan rakaat shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.
2.Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nash dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma’kan) oleh para mujtahidin dari suatu masa, seperti pemberian warisan sebesar seperenam harta warisan untuk nenek perempuan dan tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara muslimah dengan lelaki kafir.
Adapun ruang lingkup ijtihad adalah sebagai berikut:
1.Hukum yang dibawa oleh nash-nash yang zhanny, baik dari segi wurud-nya maupun dari segi pengertiannya (dalalah) yaitu hadis ahad. Sasaran ijtihad ini adalah dari segi sanad dan penshahihannya serta hubungannya dengan hukum yang akan dicari.
2.Hukum yang dibawa oleh nash qath’i, tetapi dalalahnya zhanny, maka obyek ijtihadnya hanya dari segi dalalahnya saja.
3.Nash yang wurudnya zhanny, tetapi dalalahnya qath’i, maka obyek ijtihadnya adalah pada sanad, kesahihan serta kesinambungannya.
4.Tidak ada nash dan ijma’, maka di sini ijtihadnya hanya dilakukan dengan segenap metode dan cara.
Ijitihad dalam ruang gerak dan jangkaunnya mengenai materi-materi hukum zhanniyat adalah sangat luas. Dalam praktiknya dimungkinkan adanya lebih dari satu interpretasi. Karena itu, ia menampung terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Maka, dimungkinkan adanya variasi dalam pelaksanaan suatu ketentuan hukum yang tidak bersifat qath’iyah.
Dibukanya pintu ijtihad dalam hukum Islam tidak berarti bahwa setiap oang bisa melakukan ijtihad, melainkan orang yang memiliki syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan kelengkapan diri mujtahid maupun sikap ketika menghadapi nash-nash yang berlawanan. Syarat-syarat tersebut ialah:
1.Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya sehingga memungkinkan dia untuk menguasai pengertian susunan kata-katanya karena obyek pertama bagi mujtahid ialah pemahaman terhadap nash-nasah Al-Quran dan hadis yang berbahasa Arab.
2.Mengetahui Al-Quran dan hadis terlebih yang berkaitan dengan hukum-hukum syara’.
3.Mengetahui segi-segi pemakaina qiyas, seperti illat dan hikmah penetapan hukum, di samping fakta-fakta yang ada nashnya dan yang tidak ada nashnya.
4.Pandai menghadapi nash-nash yang berlawanan.
5.Mengetahui ilmu ushul fikih.
D. Jenis-Jenis Ijtihad
Di antara jenis-jenis ijtihad ialah:
1.Ijmak
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad, setelah beliau wafat, pada suatau masa atas hukum suatau masalah.
2.Qiyâs
Di antara definisi qiyâs' (analogi) ialah:
a.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Quran atau hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).
Untuk melakukan ijtihad diperlukan empat unsur yang dalam ushul fikih disebut rukun-rukun qiyas. Keempat rukun tersebut ialah al-ashl (pokok), yaitu pokok yang telah disebutkan di dalam nash, yang menjadi pangkal qiyas; al-far’ (cabang), yaitu hal yang dicari hukumnya, yang tidak disebut dalam nash; hukm al-ashl (hukum atas pokok); dan ‘illat hukm al-ashl (sebab hukum atas pokok).
3.Istihsân
Di antara definisi istihsân ialah:
a.Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
c.Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Misal, dalil khusus sunnah menentukan bahwa harta wakaf tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, diwariskan atau dihibahkan. Jika suatu harta wakaf tidak memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf, maka ia boleh dipindahtangankan untuk memenuhi fungsi yang sesuai dengan tujuan wakaf dan sekaligus menghindari larangan memubazirkan harta.
4.Mashalat murshalah
Yaitu tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan dan membatalkannya. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk melindungi hak masing-masing suami istri. Tanpa pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas terjadinya perkawinan.
5. Sad Adz-Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsip dalam Al-Qur’an dan Hadis.
E. Pola-Pola Ijtihad dari Periode Klasik hingga Pertengahan
Periodisasi dalam pemikiran Islam terbagi menjadi empat periode. Pertama, periode Rasulullah yang berlangsung hingga tahun 634 M. Kedua, periode klasik yang dimulai tahun 650 sampai 1000 M. Ketiga, periode pertengahan yang dimulai tahun 1258 hingga 1800 M. Keempat, periode modern yang dimulai tahun 1800 hingga sekarang.
Periodisasi pemikiran Islam tersebut berbeda dengan periodisasi pemikiran Barat yang hanya terbagi menjadi tiga periode. Pertama, periode klasik yang dimulai tahun 500 SM sampai 600 M. Kedua, periode pertengahan yang dimulai tahun 600 M hingga 1500 M. Periode ini dikenal dengan The Dark Age (Abad Kegelapan) yang hal ini jelas tidak ada dalam Islam. Ketiga, periode modern yang dimulai tahun 1550 M hingga sekarang.
Pola ijtihad yang akan ditulis di sini ialah pola-pola ijtihad pada periode klasik hingga pertengahan, yaitu sekitar tahun 650 hingga 1800 M.
1.Ijtihad pada periode shahabat
Ijtihad pada periode klasik ini dimulai pada akhir periode shahabat (101 H) dan awal dari periode tabi’in dan tabiut tabi’in (abad 11 H-pertengahan abad IV H). Mayoritas ulama berpendapat bahwa para shahabat telah melakukan ijtihad pada waktu Rasulullah hidup. Walaupun, nantinya ijtihad shahabat tersebut harus mendapatkan legitimasi dari Rasulullah.
Contohnya ialah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab dan Ammar ketika berhadast besar dalam suatu perjalanan. Keduanya tidak menemukan air, sementara waktu shalat sudah tiba.Lalu, Ammar melumuri badannya dengan tanah sebagai ganti air untuk menghilangkan hadats besar. Adapun Umar bin Khatab ia menunda shalatnya sampai ia memperoleh air karena menurutnya tayamum hanya digunakan untuk menghilangkan hadas kecil.
Ketika kedua shahabat ini melaporkan apa yang telah mereka lakukan, Rasulullah mengatakan bahwa kedua pendapat itu adalah keliru. Pendapat Ammar bertentangan dengan cara penggunaan tanah (tayamum) yang disebutkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu:
“….Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Rasulullah menjelaskan kepada Umar bahwa tayamum tidak hanya digunakan untuk menghilangkan hadats kecil, tetapi juga dapat digunakan untuk menghilangkan hadats besar, sesuai dengan ayat di atas.
Singkatnya, ijtihad shahabat pada masa Rasulullah belum dapat dianggap sebagai alat penggali hukum karena ketentuan akhir masih ada di tangan Rasulullah. Tetapi, setelah beliau wafat, ijtihad shahabat sudah dapat dijadikan alat penggali hukum karena tidak lagi menunggu keputusan Rasulullah.
2. Ijtihad pada periode tabi’in dan tabi’ tabi’in (imam-imam mazhab)
Periode ini terjadi kurang lebih pada abad II H hingga pertengahan abad IV H. Setelah berakhir masa shahabat, muncul masa tabi’in. Generasi tabi’in ini terdiri atas murid-murid para shahabat. Mereka mendasarkan pendapat mereka kepada perndapat para shahabat. Secara garis besar, para tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:
a.Mereka mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat. Hal itu jika pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
b.Mereka sendiri berijtihad. Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hukum Islam sesungguhnya secara professional dimulai pada periode tabi’in ini.
Kegiatan melakukan ijtihad pada masa ini semakin meningkat. Para sejarawan bahkan menyebutnya dengan periode ijtihad dan masa keemasan fikih Islam. Setiap kota memiliki mujtahid yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Di Mekah muncul tokoh seperti Atha ibnu Abi Rabah, di Madinah muncul Sa’id bin Musayyab, Urwah bin Zubair, di Bashrah muncul Muslim bin Yasar, Muhammad bin Sirin, dan lain-lain.
Golongan jumhur dalam menetapkan hukum terbagi atas dua golongan:
a.Ahlul Hadits
Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hukum golongan ini pertama-tama sangat terikat kepada teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah. Jika dalam menetapkan suatu masalah tidak terdapat dalil dalam keduanya, mereka berpaling kepada praktik dan pendapat shahabat. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaaan sangat terpaksa. Namun jika tidak didapatkan dalil dari ketiganya, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Tokoh-tokoh golongan ini yang terkenal ialah Sa’id bin Musayyab kemudian diikuti oleh Al-Zuhry, Al-Tausry, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Dawud Al-Zhawahiry.
b.Ahlul Ra’yi
Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hukum, mazhab ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar, antara lain:
1. Nash-nash syariah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh karena itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan kepada ra’yu, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman.
2.Setiap hukum syara’ dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh karena itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illlatnya, atau membatalkan berlakunya satu hukum karena diduga tidak ada illatnya.
Dalam periode ini pula tampil tokoh-tokoh mujtahid yang paling berpengaruh dalam perkembangan fikih selanjutnya. Mereka yang dikenal sebagai pendiri dan imam-imam mazhab ialah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan A’immah Al-Arba’ah (para imam yang empat) dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.
3. Ijtihad pada generasi setelah para imam mazhab
Periode ini terjadi pada pertengahan abad IV H- akhir abad XIII H. Pada periode ini ijtihad mengalami kemunduran, bahkan bisa dikatakan menjadu beku. Dalam memecahkan masalah-masalah ijtihadiyah, umumnya para mujtahid enggan mengistinbath hukum dengan secara langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah melalui metode ijtihad seperti yang dilakukan oleh mujtahid pendahulu mereka. Mereka lebih cenderung untuk mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para mujtahid sebelumnya.
Para sejarawan menjuluki masa-masa kemunduran ijtitihad ini dengan periode taqlid dan pemutupan pintu ijtihad. Hal itu karena paham dan sikap mengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid sebelumnya dianggap sebagai tindakan nyang tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqaha ada yang merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.
Berdasarkan fakta sejarah, ijtihad pada dasarnya telah tumbuh sejak awal Islam, yaitu pada masa shahabat dan perkembangnannya bertambah pesat pada masa tabi’in serta generasi selanjutnya hingga kini. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, tentu perkembangannya mengalami pasang-surut dengan ciri khas masing-masing pada setiap periode.
Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan ayat-ayat dan hadits dalam upaya lebih mendekatkan pada maksud-maksud pensyariatan hukum di satu pihak dan mendekatkan hasil penalaan dengan kenyataan yang ada di tengah masyarakat di pihak lain. Kerangka sistematis kaidah-kaidah tersebut, mula-mula diperkenalkan oleh Imam Syafi’i (150-204 H). Secara umum metode penalaran tersebut dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu pola bayani (kajian semantik), pola ta’lili (penentuan illat), dan pola istislahi (pertimbangan kemaslahatan berdasar nash umum).
1.Pola Bayani
Ke dalam pola pertama ini dimasukkan semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik): kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (anbigu), mana lafal yang umum yang diterangkan (‘am mubayyan), dan mana pula yang khusus yang menerangkan, mana ayat yang qath’i dan mana pula yang dzanny, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat, kapan larangan itu haram dan kapan pula makruh, dan seterusnya.
Sebagai contoh di dalan hadis ada perintah untuk mempersaksikan nikah dan di dalam Al-Quran ada perintah mempersaksikan ruju’ (At-Talaq: 2). Ulama memahami kesaksian nikah sebagai wajib sedang kesaksian ruju’ oleh sebagian ulama dianggap sunat. Ulama sepakat bahwa masa iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haid adalah tiga quru’. Adanya masa iddah ini dianggap qath’i. Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang arti quru’ tersebut. Ada yang menyatakannya masa suci dan ada yang menyatakannya masa haid. Pemilihan salah satu arti tersebut dianggap dzanny.
2. Pola Qiyasi (Ta’lili)
Ke dalam pola ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan illat (kaadaan atau sifat yang menjadi tambatan hukum) sebagai titik tolaknya. Di sini dibahas cara-cara menemukan illat di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan illat baru (sebagai pengganti yang lama).
Sebagai contoh di dalam hadits ada perintah mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman, yaitu gandum, kurma (kering), dan anggur (kismis). Sebagian ulama kelompok zahiriyah memahami hadis ini melalui pola bayani, hanya memegangi arti zahirnya. Jadi produk pertanian yang terkena zakat hanyalah ketiga jenis tanaman tersebut.
Namun, sebagian besar ulama berupaya mencari illat dari jenis tanaman tersebut dan lantas memperluasnya kepada tanaman lain yang mempunyai illat sejenis. Ada yang menyatakan, “mengenyangkan (makanan pokok)”, ada yang menyatakan jenis biji-bijian, ada yang menyatakan ditanam bukan tumbuh sendiri, dan ada yang menyatakan dibudidaya sebagai illatnya. Karena perbedaan ini terjadi perbedaan pendapat tentang zakat cengkeh, kopi, sayuran, rotan, dan sebagainya. Ada yang menyatakan terkena zakat dan ada yang menyatakan tidak, sesuai dengan illatnya yang dipilih tadi.
Biasanya pola ini digunakan apabila ada perasaan tidak puas dengan pola bayani. Mungkin untuk memperkuat argumen, tetapi mungkin juga untuk mengalihkannya pada kesimpulan lain agar terasa lebih logis dan lebih berhasil guna.
3. Pola Istislahi
Dalam pola ini, ayat-ayat umum dikumpulkan guna menciptakan beberapa prinsisp umum yang digunakan untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan. Prinsip-prinsip tersebut disusun menjadi tiga tingkatan daruriyat (kebutuhan esensial), hajiyat (kebutuhan primer), dan tahsiniyat (kebutuhan kemewahan). Prinsip umum ini didedukasikan kepada persoalan yang ingin diselesaikan.
Misalnya tranplantasi organ tubuh, bayi tabung, dan aturan lalu lintas kendaraan bermotor. Masalah-masalah ini tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan. Karena itu untuk menentukan hukumnya, digunakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari ayat-ayat, seperti: tidak boleh mencelakan diri sendiri dan orang lain, menolong orang lain adalah kebajikan, dan lain-lain.
Melalui pendeduksian dan pertimbangan tingkatan keutamaan, para ulama menyimpulkan kebolehan sebagai hukum dasar tranplantasi, boleh untuk bayi tabung sekiranya dilakukan oleh suami istri itu sendiri, sedang pelanggran lalu lintas dianggap sebagai ta’zir.
Pola istislahi sesuai keadaannya, baru digunakan ketika tidak ada dalil khusus, hanya berhubungan dengan persoalan-persoalan baru yang biasanya muncul karena penggunaan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Di dalam ushul fiqh, pola yang terakhir ini sangat sedikit mendapat perhatian.
Kesimpulan
Sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Allah. Dalam pandangan syariah semua orang wajib tunduk pada hukum Allah yang berasal dari wahyu samawi. Jadi, perumusan hukum Islam tidak lain ialah usaha menemukan kehendak Allah. Sumber untuk mengetahui kehendak Allah itu adalah Al-Quran dan Sunnah. Tujuan utama kedua sumber ajaran itu adalah meletakkan sebuah way of life yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan sesamanya dan dalam hubungan dengan Allah. Dengan demikian, adalah tugas kaum muslimin melalui pemanfaatan akalnya untuk merealisasikan pedoman-pedoman pokok itu dalam wujud ketetapan-ketetapan hukum dalam konteks yang berbeda-beda.
Kesimpulan dalam kajian ini ditemukan bahwa ijtihad pada periode klasik dilakukan melalui dua cara, yaitu mengutamakan pendapat seorang shahabat dari pendapat shahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang tabi’in dari pendapat seorang shahabat, serta mereka sendiri berijtihad. Adapun cara yang digunakan oleh mayoritas mujtahid pada periode berikutnya ialah melalui pendekatan yang mengedepankan teks (ahlul hadits) dan logika (ahlur ra’yi).
Adapun pola ijtihad pada periode pertengahan tidak semaju pada periode berikutnya. Bahkan lebih cenderung mundur dan hanya mengikuti hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag
Program Kutubut Tis’ah
Ahmad Azhar, dkk. 1996. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Amir Mu’alim dan Yusdani. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press.
Ahmad Warson Munawwir. 2002. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif.
Dar el-Machreq. 2002. Al-Munjid fil Lughah wal A’lam. Beirut: Darul Masyriq.
Huzaemah Tahido Yanggo. 1999. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos.
Nasrun Rusli. 1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. Jakarta: Logos.
htp://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad.
htp://www.eramuslim.com
Monday, July 7, 2008
SUMBANGAN ISLAM TERHADAP KEBANGKITAN PERADABAN EROPA
A.Pendahuluan
Hubungan Islam dengan Barat pada hari ini senantiasa identik dengan hubungan benturan ('alâqah ash-shirâ') dan permusuhan. Barat senantiasa membangun dan menyebarkan opini negatif terhadap Islam dan pemeluknya. Menurut mereka, Islam merupakan ancaman terhadap peradaban umat manusia. Di sisi lain, Barat sering kali membanggakan kemajuan peradaban mereka dan mengklaim bahwa hal itu merupakan warisan dari kemajuan peradaban Yunani-Romawi semata. Mereka mengingkari adanya pengaruh dan kontribusi Islam beserta peradabannya dalam membangkitkan Eropa modern –sebagai negeri asal bangsa Barat— dan memantapkan puncak kemajuannya. Jadi, bagaimana sebenarnya sumbangan Islam terhadap kebangkitan peradaban Eropa? Insya Allah, tulisan berikut akan menjelaskannya.
B.Eropa Pada Abad Pertengahan
Abad Pertengahan merupakan masa paling kelam dalam periode sejarah Eropa. Oleh karena itu, mereka menamakan masa ini sebagai The Dark Age (Abad Kegelapan). Abad Pertengahan dimulai sejak abad II Masehi, yaitu sejak Konstantin Agung masuk Kristen dan menyatakannya sebagai agama resmi Imperium Romawi. Ternyata kaum Kristen hanya menang secara lahiriah saja karena bangsa Romawi banyak merugikan ajaran Kristen ketika paham paganisme terserap ke dalam ajaran Kristen dan tingkah laku pemeluknya. Sementara itu, pihak yang paling banyak memberikan andil dalam penyelewengan agama ini adalah Kaisar Konstantin sendiri yang mengaku sebagai penegak panji-panji agama Kristen.
Sejak masa ini, Eropa berada di bawah tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa gereja dan penguasa negara. Sejak masa ini pula, kebebasan dikekang dan akal dibelenggu sehingga ilmu pengetahuan tidak memperoleh kemajuan. Selama berabad-abad Eropa ditekan oleh sistem religius yang menganut permusuhan terhadap alam. Eropa tidak memiliki gaya/semangat hidup dan sama sekali tiada tempat bagi dunia penyelidikan ilmiah. Eropa pada masa itu bahkan kehilangan hubungan dengan hasil-hasil capaian falsafah Yunani dan Romawi dari mana kultur Eropa dahulu bersumber.
Imperium Romawi dalam perjalanannya pecah menjadi dua, yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur dengan ibu kota Byzantium. Romawi Timur dapat hidup terus hingga 1453. Ketika Islam mulai menunjukkan diri di dunia pada abad VIII, peradaban Yunani-Romawi itu telah menyusut. Byzantium menyerukan untuk melanjutkan tradisi Athena dan Roma, namun gagal dalam misinya. Selain Byzantium tidak sanggup untuk melestarikan tradisi tersebut, Romawi Kedua ini bertanggung jawab atas penghancuran sejumlah karya-karya ilmiah dan monumen artistik warisan dari zaman purbakala. Para kaisar Basiki mendorong para pengikut Kristen ortodoks Byzantium untuk menghancurkan sisa peradaban kaum paganis. Kaisar Theodosis II memperoleh nama buruk dengan adanya penghancuran besar-besaran di Afrika Utara. Pada 489, Kaisar Zeno menutup sekolah terkenal di Edesa yang sejak abad II telah menjadi pusat untuk penyebaran bahasa Syiria dan Yunani melalui Asia Timur. Justinian menyuramkan reputasinya dengan menutup sekolah Platonic termasyhur di Athena dan sekolah-sekolah di Alexanderia.
Keadaan Eropa pada Abad Pertengahan benar-benar terbelakang. Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah."
Sejarah Eropa pada Abad Pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara kaum intelek dan penguasa gereja. Kaum intelek Eropa berontak lebih dari satu kali, tetapi berulang-ulang pemberontakan mereka berhasil dipatahkan oleh gereja. Penguasa gereja itu mendirikan berbagai mahkamah pemeriksaan (Dewan Inquisisi) untuk menghukum kaum intelek serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Operasi pembantaian digerakkan secara besar-besaran agar di Dunia Kristen tidak tertinggal seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan terhadap gereja. Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya adalah sarjana fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari.
C.Eropa dan Sentuhan Peradaban Islam
Melalui interaksinya dengan Dunia Islam, Eropa menyadari keterbelakangan dan ketertinggalan mereka. Interaksi tersebut menyebabkan adanya sentuhan peradaban Islam terhadap mereka. Proses persentuhan itu terjadi melalui konflik-konflik bersenjata, seperti dalam Perang Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia.
Bagaimanapun juga dalam bidang peradaban materi, Eropa banyak berhutang budi terhadap Perang Salib. Perang ini telah membawa kaum Kristen ke dalam kontak langsung dengan orang-orang Muslim di tanah Islam itu sendiri. Orang-orang Kristen mendapati bahwa di Levant banyak hal baru bagi mereka dan teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu ketika terjadi gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari teknik-teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang Muslim.
Bahkan, tidak sedikit di antara orang-orang Kristen yang ikut Perang Salib adalah para saudagar yang berpendapat bahwa perang ini merupakan kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang baru. Lama-kelamaan, Perang Salib menyesuaikan diri dengan usaha politik perdagangan bandar-bandar Italia, terutama Venezia. Selain Venezia, kota-kota perdagangan di Italia Utara, Jerman Selatan, dan Belanda juga mulai berkembang akibat Perang Salib. Dari kota-kota inilah nantinya muncul Renaissance.
Selain melalui Perang Salib, cara lain terjadinya sentuhan peradaban Islam terhadap Eropa adalah melalui cara yang murni damai di Andalusia. Ketika Eropa masih larut dalam keterbelakangannya, Andalusia telah tumbuh dalam kemajuan dan kegemilangan peradaban. Ustadz Muhammad Al-Husaini Rakha mengatakan, "Di antara bukti kebesaran peradaban Spanyol bahwa di Cordova saja terdapat lima puluh rumah sakit, sembilan ratus toilet, delapan ratus sekolah, enam ratus masjid, perpustakaan umum yang memuat enam ratus ribu buku dan tujuh puluh perpustakaan pribadi lainnya."
Orang-orang Eropa aktif berinteraksi dengan orang-orang Arab dan mengambil ilmu dari mereka serta mengambil manfaat dari peradaban mereka. Orang-orang Eropa datang ke Andalusia untuk belajar di universitas-universitas umat Islam. Di antara mereka terdapat para tokoh gereja dan para bangsawan. Sebagai contoh salah seorang yang sangat luar biasa kepandaiannya pada abad X bernama Gerbert d'Aurillac. Ia menjadi paus Perancis pertama di bawah gelar Sylvester II. Ia menghabiskan tiga tahun di Toledo dengan para ilmuwan Muslim. Ia belajar matematika, astronomi, kimia, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Beberapa wali gereja/pendeta tinggi dari Perancis, Inggris, Jerman dan Italia juga lama belajar di Universitas Muslim Spanyol.
Ada kasus menarik yang dialami oleh Frederik II (1211-1250) kaisar Jerman yang juga menjadi raja Napels dan Scilia. Ia merupakan seorang yang berjiwa besar dan berpengetahuan tinggi. Ia dituduh orang masuk Islam dengan diam-diam karena kaisar itu lebih suka tinggal di Italia Selatan dalam lingkungan alam Timur daripada di Jerman yang belum maju. Di Napels didirikannya sebuah universitas dengan tujuan memindahkan pengetahuan Arab ke Italia.
Selain Frederik II, raja bangsa Eropa lainnya yang menaruh minat sangat besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan kaum Muslimin adalah George III, raja Inggris. Dengan resmi, ia menulis surat kepada Hisyam III khalifah kaum Muslimin di Andalusia agar diizinkan mengirimkan delegasinya untuk belajar di sekolah umat Islam Andalusia. George III berkata dalam suratnya,
Dari George Raja Inggris, Ghal, Swedia, dan Norwegia kepada khalifah kaum Muslimin di Andalusia paduka yang mulia Hisyam III.
Dengan hormat,
Paduka yang mulia.
Kami telah mendengar kemajuan yang dicapai oleh sekolah-sekolah ilmu pengetahuan paduka dan sekolah-sekolah industri di negara paduka. Oleh karena itu, kami bermaksud mengirim putra-putra terbaik kami untuk menimba ilmu-ilmu tersebut di negeri paduka yang mulia. Ini sebagai langkah awal meniru paduka yang mulia dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di wilayah negara kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru.
Kami tunjuk Dubanet, putri saudara kami sebagai kepala delegasi wanita Inggris untuk memetik bunga agar ia dan teman-teman delegasinya bisa sehebat paduka, menjaga akhlak yang mulia dan memperoleh simpati wanita-wanita yang akan mengajari mereka.
Hamba titipkan lewat raja kecil kami ini, hadiah apa adanya untuk paduka yang mulia dan sudilah kiranya paduka menerimanya dengan senang hati.
Tertanda
Hamba paduka yang patuh
George III
Orang-orang Eropa yang belajar di universitas-universitas Andalusia itu melakukan gerakan penerjemahan kitab-kitab para ilmuwan Muslim yang berbahasa Arab ke bahasa Latin dan mulailah buku-buku tersebut diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Barat. Ketika itu, bahasa Arab menjadi bahasa terdepan di dunia dalam masalah ilmu pengetahuan. Orang yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan harus pandai berbahasa Arab. Bercakap-cakap dengan bahasa tersebut merupakan bukti tingkat wawasan yang tinggi.
Philip K. Hitti mengatakan, "Selama berabad-abad, Arab merupakan bahasa pelajaran, kebudayaan dan kemajuan intelektual bagi seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad IX hingga XI, sudah ada hasil karya di berbagai bidang, di antaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi dan geografi banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya."
Pada abad XII diterjemahkan kitab Al-Qanûn karya Ibnu Sina mengenai kedokteran. Pada akhir abad XIII diterjemahkan pula kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih luas dan lebih tebal daripada Al-Qanûn. Kedua buku ini hingga abad XVI masih menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu kedokteran di perguruan-perguruan tinggi Eropa. Buku-buku filsafat bahkan terus berlangsung penerjemahannya lebih banyak daripada itu. Bangsa Barat belum pernah mengenal filsafat-filsafat Yunani kuno kecuali melalui karangan dan terjemahan-terjemahan para ilmuwan Muslim. Tercatat di antara nama-nama para penerjemah Eropa itu adalah Gerard (Cremona) yang menerjemahkan fisika Aristoteles dari teks bahasa Arab, Campanus (Navarra), Abelard (Bath), Albert dan Daniel (Morley) Michel Scot, Hermann The Dalmatian, dan banyak lainnya.
Banyak orang Barat yang jujur mengakui bahwa pada Abad Pertengahan, kaum Muslimin adalah guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku keilmuan, hampir menjadi sumber satu-satunya bagi pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pengaruh bangsa Arab dalam beberapa bidang ilmu, seperti ilmu kedokteran, masih berlanjut hingga sekarang. Buku-buku karangan Ibnu Sina pada akhir abad yang lalu masih diajarkan di Montpellier. Bahkan, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arablah yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X dari Castella.
Orang Eropa juga memanfaatkan keunggulan ilmu orang Muslim dalam beberapa keperluan mereka. Vasco da Gama misalnya, yang merintis jalan bagi Eropa menuju Semenanjung Harapan, setelah menemukan jalan tersebut ia bertemu dengan seorang pelaut Muslim Arab yang bernama Ibnu Majid. Maka Ibnu Majid memperlihatkan kepadanya beberapa alat untuk mengarungi laut yang dimilikinya, seperti kompas dan sejenisnya. Lalu Ibnu Majid meninggalkan Vasco da Gama sebentar. Kemudian ia masuk ke ruangannya dan kembali menemui Vasco da Gama bersama alat-alat yang membuatnya terkagum-kagum. Selanjutnya, Vasco da Gama menawarkan kepada Ibnu Majid agar menjadi guidenya menuju gugusan pulau India Timur.
D.Renaissance dan Kebangkitan Eropa
Persentuhan Eropa dengan peradaan Islam benar-benar memberikan pengaruh luar biasa terhadap kehidupan mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan umat Islam adalah semangat untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa pada peradaan Islam itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam. Dalam bukunya Making of Humanity, Robert
Briffault menegaskan, "Tidak hanya ilmu yang mendorong Eropa kembali pada kehidupan. Tetapi pengaruh-pengaruh lain yang masuk terutama pengaruh-pengaruh peradaban Islam yang pertama kali menyalakan kebangkitan Eropa untuk hidup." Al-Qaradhawi menulis bahwa metode, sekolah, universitas, ulama, dan buku menjadi pengaruh serta penggerak kebangkitan Eropa.
Akhirnya pada abad XV muncullah gerakan di Eropa yang dinamakan renaissance. Renaissance berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali atau rebith sebagai manusia yang serba baru. Renaissance diartikan sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad Pertengahan terbelenggu dan diliputi oleh mental inactivity. Renaissance disebut juga Abad Kebangkitan karena ia adalah awal kebangkitan manusia Eropa yang ingin bebas dan tidak lagi terbelenggu sebagai kehendak untuk merealisasikan hakikat manusia sendiri. Renaissance merupakan gerakan yang menaruh minat untuk mempelajari dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno.
Renaissance terjadi melalui proses yang sangat panjang dimana pengaruh Islam sangat dominan dan tidak bisa dipungkiri. Kehidupan intelektual di Eropa sebagai warisan pemikiran yang mulai dikembangkan pada abad XII menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan sejati yang sebagian besar maju berkat penggunaan ilmu pasti dari kalangan filosof-filosof bangsa Arab. Dengan munculnya renaissance, maka perhatian dan penggalian terhadap filsafat Abad Kuno, terutama filsafat Aristoteles, semakin berkembang. Orang Eropa Barat untuk pertama kalinya mengenal tulisan-tulisan Aristoteles melalui terjemahan-terjemahan bahasa Arab, serta melalui ajaran-ajaran dan komentar-komentar yang disusun filosof-filosof Arab yang menafsirkan filsafat Aristoteles yang telah mendapat pengaruh dari paham Neo-Platonisme.
Demikian juga, metode eksperimen mula-mula dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada zaman keemasan Islam. Ilmu pengetahuan lainnya mencapai klimaks antara abad IX hingga abad XII. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan munculnya kekaisaran Romawi, tetapi kemudian dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, maka lewat sarjana-sarjana muslimlah dan bukan lewat perjalanan Latin, dunia modern ini sekarang mendapatkan dasar-dasarnya.
Briffault berkata, "Eropa lama, sebagaimana kita lihat, tidak menampakkan karya-karya ilmiah. Ilmu perbintangan dan ilmu pasti orang Yunani adalah ilmu asing yang dimasukkan dari luar negeri dan dipungut dari orang lain. Dalam waktu lama Yunani tidak mau menyesuaikan diri. Tetapi kemudian secara bertahap menyatu dengan kebudayaan Yunani. Lalu Yunani menyusun aliran-aliran, mengundangkan hukum-hukum dan membuat teori-teori. Tetapi kegigihan metode penelitian, pengumpulan dan pemusatan berbagai maklumat (informasi dan data-data) yang positif, metode rinci dalam ilmu, pengamatan yang teliti dan terus menerus serta penelitian empirik, semuanya sama sekali asing dari kebudayaan Yunani. Akan halnya yang kita sebut ilmu, muncul di Eropa sebagai hasil semangat penelitian dan metode analisis baru dari cara percobaan, pengamatan dan penganalogian serta dikarenakan perkembangan ilmu pasti yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal oleh Yunani. Semangat dan metode ilmiah itu dimasukkan oleh Arab ke dalam Dunia Eropa."
Dalam bukunya yang berjudul Târîkh 'Ilm Al-Falâk, Dolandbeer berkata, "Para observator Yunani hanya berjumlah dua atau tiga orang saja. Namun, para observator bangsa Arab jumlahnya banyak sekali. Adapun dalam kimia, tidak ada seorang pun bangsa Yunani. Namun, para observator bangsa Arab berjumlah ratusan."
Ilmu pengetahuan berkembang pesat di Eropa sejak masa renaissance. Berbagai riset dan observasi ilmiah dilakukan oleh para ilmuwan Eropa. Dalam kenyataannya, banyak penemuan para ilmuwan itu yang bertentangan dengan doktrin gereja. Oleh karena dianggap sebagai ancaman, pihak penguasa gereja melakukan penekanan dan tindakan kekerasan kepada para ilmuwan dan orang-orang yang dipandang menentang gereja. Tidak sedikit para ilmuwan diburu, diajukan ke pengadilan gereja, dan dijatuhi hukuman mati. Di antara mereka adalah Copernicus, Galileo Galilei, Bruno, dan sebagainya.
Gereja berusaha membendung arus renaissance yang semakin deras dan mempertahankan otoritasnya. Akan tetapi, usaha pihak gereja itu dalam perjalanannya menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Masyarakat Eropa yang telah jenuh hidup di bawah pengaruh kekuasaan gereja serta ingin bebas akhirnya melancarkan reformasi-reformasi agama untuk menentang kekuasaan Paus yang zhalim. Gerakan-gerakan reformasi tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh Islam. Bahkan, pengaruh Islam itu sudah terjadi sejak masa awal persentuhan Eropa dengan peradaban Islam. Ahmad Amin mengatakan,
"Muncullah pertentangan di kalangan orang-orang Nasrani karena pengaruh Islam. Di antaranya pada abad kedelapan Masehi atau abad-abad kedua dan ketiga Hijriah lahirlah di Septimania gerakan yang menyerukan pengingkaran pengakuan dosa di depan pendeta karena mereka tak mempunyai hak untuk hidup. Dan manusia hanya untuk tunduk kepada Allah dalam meminta pengampunan dosa-dosanya. Islam tidak mempunyai pendeta dan kaum paderi, maka di dalam Islam tidak dikenal pengakuan dosa. Demikian pula terdapat gerakan yang menyerukan penghancuran gambar-gambar serta patung-patung keagamaan (iconoclast). Pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi atau abad ketiga dan keempat Hijriah muncul mazhab Nasrani yang menolak pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung. Pada tahun 726 M, Kaisar Leo III dari Romawi mengeluarkan perintah yang melarang pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung dan perintah lain pada tahun 730 M yang menganggap perbuatan tersebut sebagai paganisme. Demikian pula Konstantin X dan Leo IV pada saat Paus Gregorius II dan III dan Germanius, Uskup Konstantinopel serta kaisar wanita Irene menyokong penyembahan gambar-gambar, sehingga terjadilah pergolakan hebat antara kedua golongan itu."
Bahkan, banyak peneliti menegaskan bahwa Martin Luther dalam gerakan reformasinya terpengaruh oleh pandangan para filosof Arab dan ulama Muslim mengenai agama, akidah, dan wahyu. Perguruan-perguruan tinggi Eropa pada masa Martin Luther selalu berpegang pada buku-buku para filosof Muslim yang jauh sebelumnya telah diterjemahkan ke bahasa Latin.
Begitu pula pembangkangan-pembangkangan terhadap kekuasaan-kekuasaan feodal yang zhalim yang menjadikan tuan tanah sebagai badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif sekaligus sehingga melahirkan Revolusi Perancis yang menuntut pemisahannya, juga karena terpengaruh dengan Islam. Orang-orang Eropa datang ke negeri Syiria dalam Perang Salib. Mereka melihat bahwa di Kekhilafahan Islam, rakyat ikut mengawasi penguasanya. Penguasa hanya tunduk pada pengawasan rakyat. Melihat hal tersebut, raja-raja di Eropa membandingkan antara kebebasan raja-raja Arab dan kaum Muslimin dengan ketundukan mereka sendiri terhadap kekuasaan Roma dan kekhawatiran mereka akan nasib buruknya bila tidak lagi tunduk kepada raja Roma yang agamis.
Setelah orang-orang Eropa itu kembali ke negerinya, mereka mengadakan pemberontakan hingga memperoleh kemerdekaan. Rakyat mereka pun kemudian memberontak kepada mereka sehingga memperoleh pula kemerdekaan. Setelah itu, muncullah Revolusi Perancis dan prinsip-prinsip yang diproklamasikan tidak lebih banyak daripada yang diproklamasikan dalam peradaban kita pada dua belas abad sebelumnya.
E.Pengaruh Kebangkitan Eropa terhadap Dunia Islam
Pada saat Eropa mulai bangkit dan melaju dengan pesat dalam berbagai bidang kehidupan, Dunia Islam justru mengalami kemunduran dan keterbelakangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pada saat itu, umat Islam dipimpin oleh Turki yang memegang tampuk kekhilafahan. Bukti keterbelakangan Turki di bidang ilmu dan teknologi bisa dilihat pada kenyataan bahwa baru pada abad XVI Turki mampu mendirikan industri kapal. Sementara percetakan, pusat pelayanan kesehatan serta akademi-akademi militer seperti yang terdapat di Eropa, baru memasuki Turki pada abad XVIII. Pada akhir abad itu Turki masih terbelakang di bidang industri dan penemuan-penemuan ilmiah, hingga ketika menyaksikan balon terbang melayang-layang di angkasa ibukota, mereka mengira itu ialah perbuatan tukang sihir. Dalam hal menciptakan sarana kemajuan dan kesejahteraan umum, negeri-negeri Eropa yang kecil lebih cepat daripada Turki, sedangkan negeri Mesir lebih cepat empat tahun dibanding dengan Turki dalam penggunaan kereta api, dan beberapa bulan dalam penggunaan prangko.
Setelah Eropa kuat karena mengambil ilmu dan peradaban dari Islam, mulailah Eropa menjajah umat Islam dan merampas kekayaannya. Inggris menjajah India, Mesir , Irak dan Yordania. Perancis menjajah Tunisia, Aljazair, Suriah dan Libanon. Di Asia Tenggara, Inggris menjajah Malaysia dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Sedangkan Spanyol menjajah Filipina. Selain menyebarkan ajaran Kristen, para penjajah Eropa itu juga menguras kekayaan umat Islam. Akhirnya kekayaan Eropa membengkak sehingga dengan harta rampasan itu mereka mampu memperkuat posisinya dan mengintensifkan penelitian ilmiah yang pada gilirannya membuat Eropa semakin kuat dan berkuasa.
Jatuhnya berbagai wilayah Islam ke tangan imperialisme Barat menginsafkan Dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode ini, timbullah ide-ide pembaharuan dalam Dunia Islam. Dari Mesir muncullah Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan ide Pan-Islamismenya yang kemudian diikuti oleh muridnya, Muhammad Abduh (1849-...). Sebelum itu, di Hijaz Arabia juga telah muncul gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Meski kelahirannya merupakan respons terhadap penyimpangan praktek-praktek keagamaan yang banyak terjadi di Hijaz dan sekitarnya, akan tetapi gerakan ini juga mempunyai pengaruh di Dunia Islam dalam membangkitkan kesadaran umat Islam untuk melawan kaum penjajah, terkhusus di Indonesia. Demikian juga ide Pan-Islamisme yang diusung oleh Al-Afghani banyak mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan Islam Indonesia yang aktif memperjuangkan Islam pada zaman penjajahan Belanda.
Jadi, renaissance yang telah membangkitkan Eropa dari keterbelakangannya itu membawa dampak luar biasa tidak hanya bagi masyarakat Eropa, namun juga bagi Dunia Islam. Oleh karena Dunia Islam justru mengalami kemunduran ketika Eropa mengalami kebangkitan, maka dampak yang diterima oleh Dunia Islam tidak sedikit adalah dampak negatif. Selain penjajahan negeri-negeri umat Islam, dampak negatif renaissance terhadap Dunia Islam tersebut dikemukakan oleh Abul Hasan Ali An-Nadawi sebagai berikut,
"Dunia Islam dipaksa keadaan untuk tunduk pada pola ajaran materialistis sejak ia ditimpa musibah kemunduran ilmiah dan ketumpulan berpikir dan tidak menemukan jalan lain kecuali lari ke dalam pelukan Eropa lalu menerima pola ajaran ini dengan segala ekses negatifnya, dan itulah pola berpikir yang merajai seluruh kawasan Dunia Islam dewasa ini.
Dampak yang pasti dari pola ini adalah pergumulan antara kepribadian Islam, jika ini belum tercampak dari hati pemuda Islam, dan kepribadian baru, antara ajaran moralitas Islam dan ajaran moralitas Eropa, antara kriteria dan sistem nilai lama dan baru. Dampak lain ialah timbulnya sikap ragu-ragu dan kemunafikan di kalangan kaum terpelajar, kurangnya kesabaran dan keuletan serta kehidupan yang lebih mementingkan segi-segi duniawi, dan berbagai ciri kebudayaan Eropa lainnya."
F.Penutup
Demikianlah proses pengaruh Islam terhadap kebangkitan peradaban Barat. Tanpa interaksinya dengan Dunia Islam, Barat tidak akan mampu mencapai kemajuan seperti yang mereka banggakan dengan penuh kesombongan pada hari ini. Apabila kemajuan peradaban Islam membawa rahmat dan anugerah bagi seluruh dunia, sebaliknya kemajuan peradaban Barat yang materialistis tidak jarang justru membawa bencana dan musibah bagi umat manusia. Akankah umat Islam bangkit untuk membangun kembali peradaban mereka yang pernah menyinari dunia dengan gemilang? Itu semua menjadi tantangan dan tanggung jawab bagi generasi Islam pada hari ini. Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, M. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2005. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid. 1998. Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
An-Nadawi, Abul Hasan Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta: Pustaka Jaya dan Penerbit Djambatan.
Asad, Muhammad. 1989. Islam di Simpang Jalan. Jakarta: YAPI.
As-Siba'i, Musthafa Husni. 2002. Khazanah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Bammate, Haidar. 2000. Kontribusi Intelektual Muslim Terhadap Peradaban Dunia. Jakarta: Darul Falah.
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Quthb, Muhammad. 1995. Perlukan Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
_______________. 1996. Tafsir Islam Atas Realitas. Jakarta: Yayasan SIDIK.
Romein, J.M. 1956. Aera Eropa; Peradaban Eropa Sebagai Penjimpangan dari Pola Umum. Bandung: GANACO N.V.
Suhamihardja, Agraha Suhandi. 2002. Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Hubungan Islam dengan Barat pada hari ini senantiasa identik dengan hubungan benturan ('alâqah ash-shirâ') dan permusuhan. Barat senantiasa membangun dan menyebarkan opini negatif terhadap Islam dan pemeluknya. Menurut mereka, Islam merupakan ancaman terhadap peradaban umat manusia. Di sisi lain, Barat sering kali membanggakan kemajuan peradaban mereka dan mengklaim bahwa hal itu merupakan warisan dari kemajuan peradaban Yunani-Romawi semata. Mereka mengingkari adanya pengaruh dan kontribusi Islam beserta peradabannya dalam membangkitkan Eropa modern –sebagai negeri asal bangsa Barat— dan memantapkan puncak kemajuannya. Jadi, bagaimana sebenarnya sumbangan Islam terhadap kebangkitan peradaban Eropa? Insya Allah, tulisan berikut akan menjelaskannya.
B.Eropa Pada Abad Pertengahan
Abad Pertengahan merupakan masa paling kelam dalam periode sejarah Eropa. Oleh karena itu, mereka menamakan masa ini sebagai The Dark Age (Abad Kegelapan). Abad Pertengahan dimulai sejak abad II Masehi, yaitu sejak Konstantin Agung masuk Kristen dan menyatakannya sebagai agama resmi Imperium Romawi. Ternyata kaum Kristen hanya menang secara lahiriah saja karena bangsa Romawi banyak merugikan ajaran Kristen ketika paham paganisme terserap ke dalam ajaran Kristen dan tingkah laku pemeluknya. Sementara itu, pihak yang paling banyak memberikan andil dalam penyelewengan agama ini adalah Kaisar Konstantin sendiri yang mengaku sebagai penegak panji-panji agama Kristen.
Sejak masa ini, Eropa berada di bawah tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa gereja dan penguasa negara. Sejak masa ini pula, kebebasan dikekang dan akal dibelenggu sehingga ilmu pengetahuan tidak memperoleh kemajuan. Selama berabad-abad Eropa ditekan oleh sistem religius yang menganut permusuhan terhadap alam. Eropa tidak memiliki gaya/semangat hidup dan sama sekali tiada tempat bagi dunia penyelidikan ilmiah. Eropa pada masa itu bahkan kehilangan hubungan dengan hasil-hasil capaian falsafah Yunani dan Romawi dari mana kultur Eropa dahulu bersumber.
Imperium Romawi dalam perjalanannya pecah menjadi dua, yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur dengan ibu kota Byzantium. Romawi Timur dapat hidup terus hingga 1453. Ketika Islam mulai menunjukkan diri di dunia pada abad VIII, peradaban Yunani-Romawi itu telah menyusut. Byzantium menyerukan untuk melanjutkan tradisi Athena dan Roma, namun gagal dalam misinya. Selain Byzantium tidak sanggup untuk melestarikan tradisi tersebut, Romawi Kedua ini bertanggung jawab atas penghancuran sejumlah karya-karya ilmiah dan monumen artistik warisan dari zaman purbakala. Para kaisar Basiki mendorong para pengikut Kristen ortodoks Byzantium untuk menghancurkan sisa peradaban kaum paganis. Kaisar Theodosis II memperoleh nama buruk dengan adanya penghancuran besar-besaran di Afrika Utara. Pada 489, Kaisar Zeno menutup sekolah terkenal di Edesa yang sejak abad II telah menjadi pusat untuk penyebaran bahasa Syiria dan Yunani melalui Asia Timur. Justinian menyuramkan reputasinya dengan menutup sekolah Platonic termasyhur di Athena dan sekolah-sekolah di Alexanderia.
Keadaan Eropa pada Abad Pertengahan benar-benar terbelakang. Dr. Muhammad Sayyid Al-Wakil menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, "Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah."
Sejarah Eropa pada Abad Pertengahan penuh dengan perjuangan sengit antara kaum intelek dan penguasa gereja. Kaum intelek Eropa berontak lebih dari satu kali, tetapi berulang-ulang pemberontakan mereka berhasil dipatahkan oleh gereja. Penguasa gereja itu mendirikan berbagai mahkamah pemeriksaan (Dewan Inquisisi) untuk menghukum kaum intelek serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Operasi pembantaian digerakkan secara besar-besaran agar di Dunia Kristen tidak tertinggal seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan terhadap gereja. Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901, korban pembantaian Dewan Inquisisi mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya adalah sarjana fisika terkemuka Bruno. Ia dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari.
C.Eropa dan Sentuhan Peradaban Islam
Melalui interaksinya dengan Dunia Islam, Eropa menyadari keterbelakangan dan ketertinggalan mereka. Interaksi tersebut menyebabkan adanya sentuhan peradaban Islam terhadap mereka. Proses persentuhan itu terjadi melalui konflik-konflik bersenjata, seperti dalam Perang Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia.
Bagaimanapun juga dalam bidang peradaban materi, Eropa banyak berhutang budi terhadap Perang Salib. Perang ini telah membawa kaum Kristen ke dalam kontak langsung dengan orang-orang Muslim di tanah Islam itu sendiri. Orang-orang Kristen mendapati bahwa di Levant banyak hal baru bagi mereka dan teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu ketika terjadi gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari teknik-teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang Muslim.
Bahkan, tidak sedikit di antara orang-orang Kristen yang ikut Perang Salib adalah para saudagar yang berpendapat bahwa perang ini merupakan kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang baru. Lama-kelamaan, Perang Salib menyesuaikan diri dengan usaha politik perdagangan bandar-bandar Italia, terutama Venezia. Selain Venezia, kota-kota perdagangan di Italia Utara, Jerman Selatan, dan Belanda juga mulai berkembang akibat Perang Salib. Dari kota-kota inilah nantinya muncul Renaissance.
Selain melalui Perang Salib, cara lain terjadinya sentuhan peradaban Islam terhadap Eropa adalah melalui cara yang murni damai di Andalusia. Ketika Eropa masih larut dalam keterbelakangannya, Andalusia telah tumbuh dalam kemajuan dan kegemilangan peradaban. Ustadz Muhammad Al-Husaini Rakha mengatakan, "Di antara bukti kebesaran peradaban Spanyol bahwa di Cordova saja terdapat lima puluh rumah sakit, sembilan ratus toilet, delapan ratus sekolah, enam ratus masjid, perpustakaan umum yang memuat enam ratus ribu buku dan tujuh puluh perpustakaan pribadi lainnya."
Orang-orang Eropa aktif berinteraksi dengan orang-orang Arab dan mengambil ilmu dari mereka serta mengambil manfaat dari peradaban mereka. Orang-orang Eropa datang ke Andalusia untuk belajar di universitas-universitas umat Islam. Di antara mereka terdapat para tokoh gereja dan para bangsawan. Sebagai contoh salah seorang yang sangat luar biasa kepandaiannya pada abad X bernama Gerbert d'Aurillac. Ia menjadi paus Perancis pertama di bawah gelar Sylvester II. Ia menghabiskan tiga tahun di Toledo dengan para ilmuwan Muslim. Ia belajar matematika, astronomi, kimia, dan pelajaran-pelajaran lainnya. Beberapa wali gereja/pendeta tinggi dari Perancis, Inggris, Jerman dan Italia juga lama belajar di Universitas Muslim Spanyol.
Ada kasus menarik yang dialami oleh Frederik II (1211-1250) kaisar Jerman yang juga menjadi raja Napels dan Scilia. Ia merupakan seorang yang berjiwa besar dan berpengetahuan tinggi. Ia dituduh orang masuk Islam dengan diam-diam karena kaisar itu lebih suka tinggal di Italia Selatan dalam lingkungan alam Timur daripada di Jerman yang belum maju. Di Napels didirikannya sebuah universitas dengan tujuan memindahkan pengetahuan Arab ke Italia.
Selain Frederik II, raja bangsa Eropa lainnya yang menaruh minat sangat besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan kaum Muslimin adalah George III, raja Inggris. Dengan resmi, ia menulis surat kepada Hisyam III khalifah kaum Muslimin di Andalusia agar diizinkan mengirimkan delegasinya untuk belajar di sekolah umat Islam Andalusia. George III berkata dalam suratnya,
Dari George Raja Inggris, Ghal, Swedia, dan Norwegia kepada khalifah kaum Muslimin di Andalusia paduka yang mulia Hisyam III.
Dengan hormat,
Paduka yang mulia.
Kami telah mendengar kemajuan yang dicapai oleh sekolah-sekolah ilmu pengetahuan paduka dan sekolah-sekolah industri di negara paduka. Oleh karena itu, kami bermaksud mengirim putra-putra terbaik kami untuk menimba ilmu-ilmu tersebut di negeri paduka yang mulia. Ini sebagai langkah awal meniru paduka yang mulia dalam menyebarkan ilmu pengetahuan di wilayah negara kami yang dikelilingi kebodohan dari empat penjuru.
Kami tunjuk Dubanet, putri saudara kami sebagai kepala delegasi wanita Inggris untuk memetik bunga agar ia dan teman-teman delegasinya bisa sehebat paduka, menjaga akhlak yang mulia dan memperoleh simpati wanita-wanita yang akan mengajari mereka.
Hamba titipkan lewat raja kecil kami ini, hadiah apa adanya untuk paduka yang mulia dan sudilah kiranya paduka menerimanya dengan senang hati.
Tertanda
Hamba paduka yang patuh
George III
Orang-orang Eropa yang belajar di universitas-universitas Andalusia itu melakukan gerakan penerjemahan kitab-kitab para ilmuwan Muslim yang berbahasa Arab ke bahasa Latin dan mulailah buku-buku tersebut diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Barat. Ketika itu, bahasa Arab menjadi bahasa terdepan di dunia dalam masalah ilmu pengetahuan. Orang yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan harus pandai berbahasa Arab. Bercakap-cakap dengan bahasa tersebut merupakan bukti tingkat wawasan yang tinggi.
Philip K. Hitti mengatakan, "Selama berabad-abad, Arab merupakan bahasa pelajaran, kebudayaan dan kemajuan intelektual bagi seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad IX hingga XI, sudah ada hasil karya di berbagai bidang, di antaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi dan geografi banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya."
Pada abad XII diterjemahkan kitab Al-Qanûn karya Ibnu Sina mengenai kedokteran. Pada akhir abad XIII diterjemahkan pula kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih luas dan lebih tebal daripada Al-Qanûn. Kedua buku ini hingga abad XVI masih menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu kedokteran di perguruan-perguruan tinggi Eropa. Buku-buku filsafat bahkan terus berlangsung penerjemahannya lebih banyak daripada itu. Bangsa Barat belum pernah mengenal filsafat-filsafat Yunani kuno kecuali melalui karangan dan terjemahan-terjemahan para ilmuwan Muslim. Tercatat di antara nama-nama para penerjemah Eropa itu adalah Gerard (Cremona) yang menerjemahkan fisika Aristoteles dari teks bahasa Arab, Campanus (Navarra), Abelard (Bath), Albert dan Daniel (Morley) Michel Scot, Hermann The Dalmatian, dan banyak lainnya.
Banyak orang Barat yang jujur mengakui bahwa pada Abad Pertengahan, kaum Muslimin adalah guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku keilmuan, hampir menjadi sumber satu-satunya bagi pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pengaruh bangsa Arab dalam beberapa bidang ilmu, seperti ilmu kedokteran, masih berlanjut hingga sekarang. Buku-buku karangan Ibnu Sina pada akhir abad yang lalu masih diajarkan di Montpellier. Bahkan, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arablah yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X dari Castella.
Orang Eropa juga memanfaatkan keunggulan ilmu orang Muslim dalam beberapa keperluan mereka. Vasco da Gama misalnya, yang merintis jalan bagi Eropa menuju Semenanjung Harapan, setelah menemukan jalan tersebut ia bertemu dengan seorang pelaut Muslim Arab yang bernama Ibnu Majid. Maka Ibnu Majid memperlihatkan kepadanya beberapa alat untuk mengarungi laut yang dimilikinya, seperti kompas dan sejenisnya. Lalu Ibnu Majid meninggalkan Vasco da Gama sebentar. Kemudian ia masuk ke ruangannya dan kembali menemui Vasco da Gama bersama alat-alat yang membuatnya terkagum-kagum. Selanjutnya, Vasco da Gama menawarkan kepada Ibnu Majid agar menjadi guidenya menuju gugusan pulau India Timur.
D.Renaissance dan Kebangkitan Eropa
Persentuhan Eropa dengan peradaan Islam benar-benar memberikan pengaruh luar biasa terhadap kehidupan mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan umat Islam adalah semangat untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa pada peradaan Islam itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam. Dalam bukunya Making of Humanity, Robert
Briffault menegaskan, "Tidak hanya ilmu yang mendorong Eropa kembali pada kehidupan. Tetapi pengaruh-pengaruh lain yang masuk terutama pengaruh-pengaruh peradaban Islam yang pertama kali menyalakan kebangkitan Eropa untuk hidup." Al-Qaradhawi menulis bahwa metode, sekolah, universitas, ulama, dan buku menjadi pengaruh serta penggerak kebangkitan Eropa.
Akhirnya pada abad XV muncullah gerakan di Eropa yang dinamakan renaissance. Renaissance berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali atau rebith sebagai manusia yang serba baru. Renaissance diartikan sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad Pertengahan terbelenggu dan diliputi oleh mental inactivity. Renaissance disebut juga Abad Kebangkitan karena ia adalah awal kebangkitan manusia Eropa yang ingin bebas dan tidak lagi terbelenggu sebagai kehendak untuk merealisasikan hakikat manusia sendiri. Renaissance merupakan gerakan yang menaruh minat untuk mempelajari dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno.
Renaissance terjadi melalui proses yang sangat panjang dimana pengaruh Islam sangat dominan dan tidak bisa dipungkiri. Kehidupan intelektual di Eropa sebagai warisan pemikiran yang mulai dikembangkan pada abad XII menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan sejati yang sebagian besar maju berkat penggunaan ilmu pasti dari kalangan filosof-filosof bangsa Arab. Dengan munculnya renaissance, maka perhatian dan penggalian terhadap filsafat Abad Kuno, terutama filsafat Aristoteles, semakin berkembang. Orang Eropa Barat untuk pertama kalinya mengenal tulisan-tulisan Aristoteles melalui terjemahan-terjemahan bahasa Arab, serta melalui ajaran-ajaran dan komentar-komentar yang disusun filosof-filosof Arab yang menafsirkan filsafat Aristoteles yang telah mendapat pengaruh dari paham Neo-Platonisme.
Demikian juga, metode eksperimen mula-mula dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada zaman keemasan Islam. Ilmu pengetahuan lainnya mencapai klimaks antara abad IX hingga abad XII. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan munculnya kekaisaran Romawi, tetapi kemudian dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah, maka lewat sarjana-sarjana muslimlah dan bukan lewat perjalanan Latin, dunia modern ini sekarang mendapatkan dasar-dasarnya.
Briffault berkata, "Eropa lama, sebagaimana kita lihat, tidak menampakkan karya-karya ilmiah. Ilmu perbintangan dan ilmu pasti orang Yunani adalah ilmu asing yang dimasukkan dari luar negeri dan dipungut dari orang lain. Dalam waktu lama Yunani tidak mau menyesuaikan diri. Tetapi kemudian secara bertahap menyatu dengan kebudayaan Yunani. Lalu Yunani menyusun aliran-aliran, mengundangkan hukum-hukum dan membuat teori-teori. Tetapi kegigihan metode penelitian, pengumpulan dan pemusatan berbagai maklumat (informasi dan data-data) yang positif, metode rinci dalam ilmu, pengamatan yang teliti dan terus menerus serta penelitian empirik, semuanya sama sekali asing dari kebudayaan Yunani. Akan halnya yang kita sebut ilmu, muncul di Eropa sebagai hasil semangat penelitian dan metode analisis baru dari cara percobaan, pengamatan dan penganalogian serta dikarenakan perkembangan ilmu pasti yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal oleh Yunani. Semangat dan metode ilmiah itu dimasukkan oleh Arab ke dalam Dunia Eropa."
Dalam bukunya yang berjudul Târîkh 'Ilm Al-Falâk, Dolandbeer berkata, "Para observator Yunani hanya berjumlah dua atau tiga orang saja. Namun, para observator bangsa Arab jumlahnya banyak sekali. Adapun dalam kimia, tidak ada seorang pun bangsa Yunani. Namun, para observator bangsa Arab berjumlah ratusan."
Ilmu pengetahuan berkembang pesat di Eropa sejak masa renaissance. Berbagai riset dan observasi ilmiah dilakukan oleh para ilmuwan Eropa. Dalam kenyataannya, banyak penemuan para ilmuwan itu yang bertentangan dengan doktrin gereja. Oleh karena dianggap sebagai ancaman, pihak penguasa gereja melakukan penekanan dan tindakan kekerasan kepada para ilmuwan dan orang-orang yang dipandang menentang gereja. Tidak sedikit para ilmuwan diburu, diajukan ke pengadilan gereja, dan dijatuhi hukuman mati. Di antara mereka adalah Copernicus, Galileo Galilei, Bruno, dan sebagainya.
Gereja berusaha membendung arus renaissance yang semakin deras dan mempertahankan otoritasnya. Akan tetapi, usaha pihak gereja itu dalam perjalanannya menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Masyarakat Eropa yang telah jenuh hidup di bawah pengaruh kekuasaan gereja serta ingin bebas akhirnya melancarkan reformasi-reformasi agama untuk menentang kekuasaan Paus yang zhalim. Gerakan-gerakan reformasi tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh Islam. Bahkan, pengaruh Islam itu sudah terjadi sejak masa awal persentuhan Eropa dengan peradaban Islam. Ahmad Amin mengatakan,
"Muncullah pertentangan di kalangan orang-orang Nasrani karena pengaruh Islam. Di antaranya pada abad kedelapan Masehi atau abad-abad kedua dan ketiga Hijriah lahirlah di Septimania gerakan yang menyerukan pengingkaran pengakuan dosa di depan pendeta karena mereka tak mempunyai hak untuk hidup. Dan manusia hanya untuk tunduk kepada Allah dalam meminta pengampunan dosa-dosanya. Islam tidak mempunyai pendeta dan kaum paderi, maka di dalam Islam tidak dikenal pengakuan dosa. Demikian pula terdapat gerakan yang menyerukan penghancuran gambar-gambar serta patung-patung keagamaan (iconoclast). Pada abad kedelapan dan kesembilan Masehi atau abad ketiga dan keempat Hijriah muncul mazhab Nasrani yang menolak pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung. Pada tahun 726 M, Kaisar Leo III dari Romawi mengeluarkan perintah yang melarang pengkudusan gambar-gambar dan patung-patung dan perintah lain pada tahun 730 M yang menganggap perbuatan tersebut sebagai paganisme. Demikian pula Konstantin X dan Leo IV pada saat Paus Gregorius II dan III dan Germanius, Uskup Konstantinopel serta kaisar wanita Irene menyokong penyembahan gambar-gambar, sehingga terjadilah pergolakan hebat antara kedua golongan itu."
Bahkan, banyak peneliti menegaskan bahwa Martin Luther dalam gerakan reformasinya terpengaruh oleh pandangan para filosof Arab dan ulama Muslim mengenai agama, akidah, dan wahyu. Perguruan-perguruan tinggi Eropa pada masa Martin Luther selalu berpegang pada buku-buku para filosof Muslim yang jauh sebelumnya telah diterjemahkan ke bahasa Latin.
Begitu pula pembangkangan-pembangkangan terhadap kekuasaan-kekuasaan feodal yang zhalim yang menjadikan tuan tanah sebagai badan legislatif, badan eksekutif, dan badan yudikatif sekaligus sehingga melahirkan Revolusi Perancis yang menuntut pemisahannya, juga karena terpengaruh dengan Islam. Orang-orang Eropa datang ke negeri Syiria dalam Perang Salib. Mereka melihat bahwa di Kekhilafahan Islam, rakyat ikut mengawasi penguasanya. Penguasa hanya tunduk pada pengawasan rakyat. Melihat hal tersebut, raja-raja di Eropa membandingkan antara kebebasan raja-raja Arab dan kaum Muslimin dengan ketundukan mereka sendiri terhadap kekuasaan Roma dan kekhawatiran mereka akan nasib buruknya bila tidak lagi tunduk kepada raja Roma yang agamis.
Setelah orang-orang Eropa itu kembali ke negerinya, mereka mengadakan pemberontakan hingga memperoleh kemerdekaan. Rakyat mereka pun kemudian memberontak kepada mereka sehingga memperoleh pula kemerdekaan. Setelah itu, muncullah Revolusi Perancis dan prinsip-prinsip yang diproklamasikan tidak lebih banyak daripada yang diproklamasikan dalam peradaban kita pada dua belas abad sebelumnya.
E.Pengaruh Kebangkitan Eropa terhadap Dunia Islam
Pada saat Eropa mulai bangkit dan melaju dengan pesat dalam berbagai bidang kehidupan, Dunia Islam justru mengalami kemunduran dan keterbelakangan dalam berbagai bidang kehidupan. Pada saat itu, umat Islam dipimpin oleh Turki yang memegang tampuk kekhilafahan. Bukti keterbelakangan Turki di bidang ilmu dan teknologi bisa dilihat pada kenyataan bahwa baru pada abad XVI Turki mampu mendirikan industri kapal. Sementara percetakan, pusat pelayanan kesehatan serta akademi-akademi militer seperti yang terdapat di Eropa, baru memasuki Turki pada abad XVIII. Pada akhir abad itu Turki masih terbelakang di bidang industri dan penemuan-penemuan ilmiah, hingga ketika menyaksikan balon terbang melayang-layang di angkasa ibukota, mereka mengira itu ialah perbuatan tukang sihir. Dalam hal menciptakan sarana kemajuan dan kesejahteraan umum, negeri-negeri Eropa yang kecil lebih cepat daripada Turki, sedangkan negeri Mesir lebih cepat empat tahun dibanding dengan Turki dalam penggunaan kereta api, dan beberapa bulan dalam penggunaan prangko.
Setelah Eropa kuat karena mengambil ilmu dan peradaban dari Islam, mulailah Eropa menjajah umat Islam dan merampas kekayaannya. Inggris menjajah India, Mesir , Irak dan Yordania. Perancis menjajah Tunisia, Aljazair, Suriah dan Libanon. Di Asia Tenggara, Inggris menjajah Malaysia dan Singapura. Belanda menjajah Indonesia. Sedangkan Spanyol menjajah Filipina. Selain menyebarkan ajaran Kristen, para penjajah Eropa itu juga menguras kekayaan umat Islam. Akhirnya kekayaan Eropa membengkak sehingga dengan harta rampasan itu mereka mampu memperkuat posisinya dan mengintensifkan penelitian ilmiah yang pada gilirannya membuat Eropa semakin kuat dan berkuasa.
Jatuhnya berbagai wilayah Islam ke tangan imperialisme Barat menginsafkan Dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan kekuatan umat Islam kembali. Pada periode ini, timbullah ide-ide pembaharuan dalam Dunia Islam. Dari Mesir muncullah Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan ide Pan-Islamismenya yang kemudian diikuti oleh muridnya, Muhammad Abduh (1849-...). Sebelum itu, di Hijaz Arabia juga telah muncul gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Meski kelahirannya merupakan respons terhadap penyimpangan praktek-praktek keagamaan yang banyak terjadi di Hijaz dan sekitarnya, akan tetapi gerakan ini juga mempunyai pengaruh di Dunia Islam dalam membangkitkan kesadaran umat Islam untuk melawan kaum penjajah, terkhusus di Indonesia. Demikian juga ide Pan-Islamisme yang diusung oleh Al-Afghani banyak mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan Islam Indonesia yang aktif memperjuangkan Islam pada zaman penjajahan Belanda.
Jadi, renaissance yang telah membangkitkan Eropa dari keterbelakangannya itu membawa dampak luar biasa tidak hanya bagi masyarakat Eropa, namun juga bagi Dunia Islam. Oleh karena Dunia Islam justru mengalami kemunduran ketika Eropa mengalami kebangkitan, maka dampak yang diterima oleh Dunia Islam tidak sedikit adalah dampak negatif. Selain penjajahan negeri-negeri umat Islam, dampak negatif renaissance terhadap Dunia Islam tersebut dikemukakan oleh Abul Hasan Ali An-Nadawi sebagai berikut,
"Dunia Islam dipaksa keadaan untuk tunduk pada pola ajaran materialistis sejak ia ditimpa musibah kemunduran ilmiah dan ketumpulan berpikir dan tidak menemukan jalan lain kecuali lari ke dalam pelukan Eropa lalu menerima pola ajaran ini dengan segala ekses negatifnya, dan itulah pola berpikir yang merajai seluruh kawasan Dunia Islam dewasa ini.
Dampak yang pasti dari pola ini adalah pergumulan antara kepribadian Islam, jika ini belum tercampak dari hati pemuda Islam, dan kepribadian baru, antara ajaran moralitas Islam dan ajaran moralitas Eropa, antara kriteria dan sistem nilai lama dan baru. Dampak lain ialah timbulnya sikap ragu-ragu dan kemunafikan di kalangan kaum terpelajar, kurangnya kesabaran dan keuletan serta kehidupan yang lebih mementingkan segi-segi duniawi, dan berbagai ciri kebudayaan Eropa lainnya."
F.Penutup
Demikianlah proses pengaruh Islam terhadap kebangkitan peradaban Barat. Tanpa interaksinya dengan Dunia Islam, Barat tidak akan mampu mencapai kemajuan seperti yang mereka banggakan dengan penuh kesombongan pada hari ini. Apabila kemajuan peradaban Islam membawa rahmat dan anugerah bagi seluruh dunia, sebaliknya kemajuan peradaban Barat yang materialistis tidak jarang justru membawa bencana dan musibah bagi umat manusia. Akankah umat Islam bangkit untuk membangun kembali peradaban mereka yang pernah menyinari dunia dengan gemilang? Itu semua menjadi tantangan dan tanggung jawab bagi generasi Islam pada hari ini. Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, M. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2005. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Wakil, Muhammad Sayyid. 1998. Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
An-Nadawi, Abul Hasan Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta: Pustaka Jaya dan Penerbit Djambatan.
Asad, Muhammad. 1989. Islam di Simpang Jalan. Jakarta: YAPI.
As-Siba'i, Musthafa Husni. 2002. Khazanah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Bammate, Haidar. 2000. Kontribusi Intelektual Muslim Terhadap Peradaban Dunia. Jakarta: Darul Falah.
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Quthb, Muhammad. 1995. Perlukan Menulis Ulang Sejarah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
_______________. 1996. Tafsir Islam Atas Realitas. Jakarta: Yayasan SIDIK.
Romein, J.M. 1956. Aera Eropa; Peradaban Eropa Sebagai Penjimpangan dari Pola Umum. Bandung: GANACO N.V.
Suhamihardja, Agraha Suhandi. 2002. Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Friday, July 4, 2008
JILBAB DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN
Kritik atas Penafsiran M. Quraish Shihab
tentang Jilbab dalam Tafsir Al-Misbah
Oleh:
FAHRUR MU’IS
I. MUKADIMAH
Islam adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan ketundukan dan melaksanakan syariah serta menetapi apa saja yang datang dari Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan umat Islam agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan kaum muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Pun mengamalkan apa saja yang diperintahkan dan meninggalkan seluruh yang dilarang semaksimal mungkin.
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih bahaya dari itu semua adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab bukanlah sebuah kewajiban agama, melainkan produk budaya Arab. Pengkaburan dari pemikiran yang benar ini telah dilakukan oleh beberapa pihak, baik dari luar umat Islam maupun dari dalam umat Islam sendiri.
Dari dalam tubuh umat Islam sendiri, pandangan nyleneh tersebut pernah dilontarkan oleh beberapa tokoh. Di antaranya adalah Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikarannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Pernyataan kontroversi tentang jilbab juga dilontarkan oleh pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam Tafsir Al-Misbah dan Wawasan Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa M. Quraish Shihab adalah pakar tafsir yang menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang. Ia melanjutkan pendidikan tingkat menengah di Malang, yang ia lakukan sambil menyantri di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.
Pada tahun 1958 ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al Qur'an dengan tesis berjudul Al-I'jaz Al-Tasyri'i li Al-Qur'an Al-Karim.
Tahun 1980 , M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamater lamanya. Tahun 1982 ia meraih doktornya dalam bidang ilmu-ilmu Al Qur'an dengan disertasi yang berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah. Ia lulus dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma`a martabat al-syaraf al-'ula).
Beberapa buku yang sudah ia hasilkan antara lain :Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah), Membumikan Al Qur'an, Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz, dan lain-lain.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkritisi tafsir M.Qurais Shihab tentang ayat jilbab (surat Al-Ahzab ayat 59) yang ia tulis dalam salah satu bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah. Hal ini dilakukan untuk membendung terjadinya penyesatan pemikiran di kalangan umat Islam dengan memaparkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas ilmunya (mu’tabar) baik yang salaf maupun kontemporer.
II. PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman tentang jilbab hanya di satu tempat, yaitu surat Al-Ahzab ayat 59. Karena itu, selanjutnya ia populer dikenal dengan ayat jilbab. Ayat yang dimaksud ialah:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas—semoga telah tergambar—tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ " فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب " مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba untuk mengkritisinya.
III. KRITIK ATAS PENAFSIRAN M. QURAIS SHIHAB
A. Makna Jilbab dan Mengulurkan Jilbab dalam Al-Qur’an
Sebelum masuk pada inti pembahasan, ada baiknya disampaikan terlebih dahulu tentang makna jilbab dalam pandangan Al-Qur’an. Secara bahasa, kata al-jilbab sama dengan kata al-qamish atau baju kurung yang bermakna baju yang menutupi seluruh tubuh. Ia juga sama dengan al-khimar atau tudung kepala yang bisa dimaknai dengan apa yang dipakai di atas baju seperti selimut dan kain yang menutupi seluruh tubuh wanita.
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab mengatakan bahwa jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada, dan bagian belakang tubuhnya.
Jilbab berasal dari kata kerja jalab yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk tubuhnya tidak kelihatan.
Penelusuran atas teks Al-Qur'an tentang jilbab agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut. Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan Ibnu Mas'ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa'id bin Jubair Al-Nakha'i, Atha Al-Khurasani dan lain-lain. Ia bagaikan "izar" sekarang. Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka, mengatakan izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah mengulurkan jilbab yang dimaksudkan Allah dalam ayat jilbab. Sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup wajah dan kepala serta hanya menampakkan satu mata, dan sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup muka mereka.
Menurut Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Ia juga menyebutkan bahwa menurut Al-Hasan, ayat tersebut memerintah kaum wanita untuk menutup separo wajahnya.
Azzamakhsyari dalam Alkasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar daripada kerudung, tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya.
Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka artinya mengulurkan jilbab ke wajah mereka sehingga yang tampak dari seorang wanita hanyalah satu matanya yang digunakan untuk melihat jalan jika dia keluar untuk suatu keperluan.
At-Tirmidzi dalam Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah menafsirkan mengulurkan jilbab dengan menutup seluruh tubuh, kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat. Di antara yang memaknainya demikian ialah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abidah As-Salmani, dan lain-lain.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.
Dari rujukan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh. Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Di antara tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh badan dan separuh wajah dengan memperlihatkan kedua mata; dan mengulurkan kain untuk menutup kepala hingga dada.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli tafsir dari dahulu hingga sekarang telah bersepakat bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban agama bagi kaum wanita. Mereka bersepakat tentang wajibnya memakai jilbab dan berbeda pendapat tentang makna mengulurkan jilbab: apakah mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali dua mata, atau mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali muka. Jadi, pendapat M. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa kewajiban mengulurkan jilbab adalah masalah khilafiyah jelas tidak berdasar. Sebab, para ulama ahli tafsir sejak dahulu hingga sekarang telah bersepakat tentang kewajiban memakai jilbab bagi kaum muslimah. Sebab, perintah tersebut didasari atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat.
B. Tafsir Ayat Jilbab
Bagaimanakah para ulama yang terpercaya dari zaman dahulu hingga sekarang menafsirkan ayat jilbab? Apakah pendapat mereka sesuai dengan pendapat M.Qurais Shihab ataukah justru bertentangan? Untuk mengetahui hal itu, kita perlu mengkaji buku-buku tafsir yang sudah diakuai dan diterima oleh umat Islam di dunia. di antaranya ialah:
1.Tafsir Ibnu Abbas
Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Ibnu Abbas menuturkan, “Selendang atau jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.
2. Tafsir Al-Qurthubi
Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Al-Qurthubi menulis, “Allah memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar tidak memperlihatkan tubuh dan kulitnya kecuali di hadapan suaminya, karena hanya suaminya yang dapat bebas menikmati kecantikannya.”
3. Tafsir Ibnu Katsir
Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 Allah memerintah Rasul-Nya agar menyuruh wanita-wanita mukminat—khususnya para istri dan anak beliau karena kemuliaan mereka—untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka guna membedakan dari wanita jahiliyah dan budak. Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.
4. Tafsir Sayyid Qutb
Menurut Sayyid Qutb, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor. Karena mereka yang bertangan jahil dan kotor itu, pasti akan merasa kecewa dan mengurungkan niatnya setelah melihat wanita yang berpakaian terhormat dan mulia secara islam.
5. Tafsir Ath-Thabrasi
Maksudnya, katakanlah kepada mereka untuk menutup dadanya dengan jilbab, yaitu pakaian penutup yang membalut keindahan wanita.
6. Tafsir Wahbah Az-Zuhaili
Maksudnya, Allah meminta Rasul-Nya memerintahkan wanita-wanita mukminat, khususnya para istri dan anak beliau, jika keluar rumah untuk menutupkan jilbab-jilbab mereka agar membedakannya dari para budak. Ayat ini menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.
Dari penafsiran para ulama yang memiliki otoritas dalam tafsir Al-Qur’an tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sepakat atas wajibnya jilbab bagi kaum muslimah. Penafsiran mereka sudah diakui kebenarannya dan diamalkan oleh umat Islam selama berabad-abad lamanya. Lalu, bagaimana bila tiba-tiba pendapat tersebut dimentahkan dan disalahkan oleh satu orang yang datang belakangan yang otoritasnya dalam ilmu agama masih dipertanyakan? Apakah dapat diterima oleh logika?
Sesungguhnya, praktik para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah bahkan dikuatkan, dan pemahaman para shahabiyyin, serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah (petunjuk) bahwa yang dimaksud dalam ayat jilbab adalah para wanita harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah dan kedua telapak tangan.
Rupanya M.Quraish Shihab mengkritisi pendapat para ulama yang memiliki otoritas dalam ilmu agama dan sama sekali tidak mengkritisi pendapat tokoh yang dianutnya, baik Muhammad Thahir bin Asyur maupun Al-Asymawi yang notabenenya penganut paham liberal dan pluralisme agama. Seharusnya M.Quraish Shihab lebih kritis terhadap pendapat kedua tokoh tersebut yang otoritas ilmu agamanya masih diragukan, dan bukannya malah langsung mengikutinya tanpa memberi catatan. Ini jelas menunjukkan sikap ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut memang dipaksakan dan asal mencari pendapat yang longgar.
C. Batasan Aurat dalam Islam
Benarkah Al-Qur’an tidak menyebutkan batas aurat sebagaimana yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab? Untuk menjawab pertanyan ini, kita perlu membaca surat An-Nur ayat 31 beserta tafsirannya. Ayat yang dimaksud ialah:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…(An-Nur: 31).
Ulama madzhab sepakat bahwa semua badan wanita adalah aurat, selain muka dan dua telapak tangannya, berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nur, ayat 31:
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…. “
Yang dimaksud dengan perhiasan yang nampak itu adalah muka dan dua telapak tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan khimar adalah tutup kepala, bukan penutup muka; dan yang dimaksud dengan jaib adalah dada. Para wanita itu telah diperintahkan untuk meletakkan kain penutup di atas kepalanya dan melebarkannya sampai menutupi dadanya.
Menurut Muhammad Mutawalli Sya’rawi, para ulama sepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya. Abu Hanifah menambah pengecualian itu dengan kedua kaki hingga mata kaki.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa maksud kerudung dalam ayat di atas adalah kain yang menutupi kepala. Kata dada juga meliputi leher. Dengan demikian, kerudung itu wajib menutupi kepala, leher, dan dada. Itulah batas bagian atas dari hijab. Lalu di mana batas bagian bawahnya? Jawabannya terdapat dalam bagian ayat berikutnya,
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur [24]: 31)
Perhiasan kaki adalah gelang-gelang kaki. Karena para wanita menutupi tubuh mereka sampai ke kaki, maka mereka mengentakkan kaki untuk menunjukkan perhiasan yang ada di balik pakaian yang menutupi pergelangan kaki mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa wanita harus menutupi kaki mereka sampai tumit.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda tentang batas aurat wanita yang wajib ditutup:
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ
وَكَفَّيْهِ
“Wahai Asma’, wanita yang sudah haid harus menutupi seluruh tubuhnya, kecuali ini dan ini’ sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa aurat wanita yang sudah balig ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits yang otoritas ilmunya tidak diragukan lagi.
Selain itu, ada hadits juga yang menunjukkan bahwa wanita pada zaman Nabi berhasrat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka dengan benar. Yakni, suatu hari istri Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf bertanya kepada Ummu Salamah, “Aku sering berjalan di tempat-tempat kotor. Bagaimana mungkin aku memanjangkan pakaianku?” Ummu salamah menjawab, “Rasulullah bersabda:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
‘Pakaian itu akan dibersihkan oleh apa yang mengenainya setelah kotoran itu.’” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-Darimi).
Sekali lagi, dua petunjuk Nabi tersebut menyimpulkan bahwa wanita harus menutupi tubuh bagian atasnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak boleh terlihat.
Dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 31, Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa kata khumur adalah jama’ dari kata khimar yang berarti sesuatu yang menutupi kepala wanita dan menutupinya dari pandangan laki-laki. Sedangkan kata juyub adalah jama’ dari kata jaib yang artinya dada. Maknanya, hendaklah para wanita muslimah memakai kerudung hingga menutupi dada mereka, agar dada mereka tidak kelihatan sama sekali.
Ia melanjutkan, wanita pada masa jahiliyah—seperti yang terjadi pada masa jahiliyah modern saat ini—berjalan di hadapan laki-laki dengan membuka dada, atau dadanya sengaja diperlihatkan untuk menunjukkan keindahan tubuh dan rambutnya untuk menarik laki-laki. Mereka memakai kerudung pada bagian belakang, sementara dada mereka tetap terbuka lebar. Maka dari itu, wanita-wanita mukminat diperintahkan oleh Allah agar menutupi dada mereka dengan kerudung hingga dada mereka tertutup rapat agar terjaga dari tangan-tangan jahil.
Ditambah lagi, para ulama juga memberikan beberapa syarat bagi busana muslimah. Syarat-syarat tersebut ialah:
1.Busana tidak boleh berfungsi sebagai perhiasan.
2.Tidak terbuat dari kain tipis yang transparan.
3.Tidak ketat dan mencetak bentuk badan.
4.Tidak menggunakan bahan pewangi yang manusuk hidung.
5.Tidak menyerupai busana laki-laki.
6.Tidak menyerupai busana orang kafir.
7.Busana ini tidak dikenakan untuk tujuan popularitas.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa batasan aurat dalam Islam sangat jelas. Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian menyatakan wajah boleh dibuka.
Pendapat M. Quraish Shihab tersebut harus diklarifikasi agar tidak terjadi kekacauan berpikir dan penyesatan umat. Apalagi, sebagai seorang intelektual dan dai ia harus menjunjung tinggi amanah ilmiah dan membimbing umat ke jalan yang benar.
D. Universalisme Risalah Islam
Dalam uraian sebelumnya telah dijawab dua pokok pendapat ganjil M. Qurais Shihab. Pendapat ketiga yang akan dikritisi dalam tulisan ini ialah pandangannya bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
Ini adalah pendapat yang sangat aneh. Bahkan tak seorang ulama pun yang memiliki otoritas ilmu pernah melontarkannya. Pendapat M. Qurais Shihab yang mengatakan bahwa perintah jilbab bersifat anjuran dan bukan keharusan ini tampak mengada-ada. Karena, perintah tersebut tidak pernah dipahami seperti itu oleh Nabi, shahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan seluruh umat Islam hingga sekarang.
Bila merujuk ilmu ushul fikih, ayat jilbab jelas berupa al-amr atau perintah. Al-Amr adalah tuntutan perbuatan dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih bawah. Atau bisa juga dikatakan bahwa al-amr adalah suatu lafal yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk memimnta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak. Dengan demikian, pada dasarnya perintah itu menunjukkan suatu kewajiban.
Lalu, benarkah pendapatnya yang mengatakan bahwa jilbab yang merupakan salah satu syariat Islam lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama? Pendapat ini tidak memiliki dasar yang kuat. Karena seluruh ajaran Islam turun di Arab, apakah syariat Islam berarti hanya berisi budaya lokal Arab dan hanya untuk orang Arab?
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa risalah Islam bukanlah risalah yang bersifat lokal yang terbatas ataupun parsial, yang khusus untuk suatu generasi atau suku bangsa tertentu saja sebagaimana halnya risalah-risalah sebelumnya. Namun, ajaran Islam merupakan ajaran universal yang mencakup seluruh umat manusia hingga hari Kiamat, yaitu pada saat seluruh makhluk menghadap Allah ta’ala. Ajaran Islam tidaklah terfokus untuk kota tertentu atau terbatas dengan waktu tertentu.
Di antara dalil-dalilnya ialah firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al-Furqan: 1)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(28)
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 34).
“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’." (Al-A’raf: 158).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa di antara argumentasi yang membuktikan akan universalitas ajaran Islam adalah sebagai berikut:
1.Tidak terdapat permasalahan yang sulit untuk diyakini atau sukar dilaksanakan.
2.Permasalahan yang tidak terkait oleh perubahan tempat dan waktu, seperti masalah akidah dan ibadah, maka diterangkan dengan sempurna dan secara terperinci. Adapun permasalahan yang mengalami perubahan yang disebabkan situasi dan kondisi, misalnya hal-hal yang menyangkut soal peradaban, urusan-urusan politik dan peperangan, maka diterangkan secara global agar dapat mengikuti kepentingan manusia pada setiap waktu dan tempat.
3.Seluruh ajaran Islam bertujuan untuk menjaga kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Keadaan semacam ini lebih sesuai dengan fitrah dan akal, perkembangan zaman dan cocok untuk diaplikasikan di segala tempat dan waktu.
Dari pendapat para ulama yang otoritatif di atas, bisa disimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal serta berlaku untuk semua wanita. Mengapa? Sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita di satu tempat dengan tempat yang lain, baik di Arab, Jawa, maupun Cina. Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal.
Pendapat M. Qurais Shihab yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib, karena ayat-ayat jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada asbabun nuzul-nya), dan hendaknya hal tersebut menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum, dapat dijawab dengan dua hal sebagaimana yang ditulis Adian Husaini, yaitu:
Pertama, rangkaian sebelum dan sesudah ayat jilbab dan hijab dalam surah An-Nur dan Al-Ahzab menunjukkan bahwa alasan diwajibkannya memakai jilbab adalah demi al-hisymah (menjaga kehormatan wanita agar tetap terpuji), bukan sekadar untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya.
Kedua, istilah asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) dalam tradisi ulama Islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun. Tapi, lebih berperan sebagai peristiwa/audio visual (alat peraga) yang mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri.
Sebab, lafal yang dasarnya bersifat umum dan menunjuk makna yang telah jelas digunakan pemakainya, tidak bisa dikhususkan atau dialihkan ke makna lain, kecuali didukung bukti kuat. Dan asbabun nuzul tidak cukup kuat untuk mengkhususkan pesan umum sebuah lafal.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pendapat M. Quraish Shihab dalam masalah jilbab adalah pendapat yang aneh dan ganjil di kalangan ulama Islam. Sebab, pendapat tersebut sama sekali tidak dikenal dan tak pernah terlontarkan di antara mereka. Dengan demikian, hal itu jelas mengindikasikan bahwa pendapat tersebut tidak benar.
IV. PENUTUP
Dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama, jilbab bukanlah masalah khilafiyah karena seluruh ulama telah sepakat atas kewajibannya bagi muslimah. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah dalam menutup sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki.
Kedua, batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketiga, perintah jilbab itu bersifat wajib dan berlaku bagi seluruh muslimah di mana saja mereka berada karena syariat Islam bersifat universal dan telah final.
Untuk menutup tulisan ini, perlu penulis sampaikan tentang nasihat agar tidak asal berpendapat dan berijtihad sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Al-Muqaddam. Imam Malik meriwayatkan, "Seseorang mengabarkan kepadaku bahwa ia menjumpai Rabi’ah yang didapatinya sedang menangis. Ia bertanya, 'Apa yang membuatmu menangis? Adakah musibah yang terjadi padamu?' Lalu, tangisnya mereda dan ia menjawab, 'Tidak, saya menangis karena orang yang tak berilmu telah dimintai fatwa sehingga muncul dalam Islam sebuah perkara besar.' Rabi’ah berkata, 'Sungguh sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak dikurung daripada para pencuri'.”
Imam Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tiada penyakit yang lebih membahayakan bagi ilmu dan ahlinya daripada orang asing yang bukan termasuk dari ahli ilmu. Mereka bodoh, tapi menyangka diri mereka berilmu. Mereka merusak, tapi mengklaim diri mereka membuat perbaikan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa jika seseorang berbicara tidak pada bidangnya, ia akan mendatangkan segala keanehan.
Sebagian para pengarang menulis bahwa pendapat aneh dari sebagian ulama dalam urusan syariah dan berkata dengan sesuatu yang tidak dikatakan siapa pun ialah dua indikasi adanya kerusakan dalam akal.”
Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesuatu yang tidak dikenal bukanlah bagian dari ilmu. Sebab, ilmu ialah sesuatu yang dikenal dan semua orang menyepakatinya.”
Ibrahim bin Abi ‘Ablah berkata, “Siapa mengusung ilmu yang keliru, ia telah membawa kejelekan yang banyak.”
Asy-Syathibi berkata, “Adanya pelanggaran terhadap perbuatan para pendahulu disebabkan oleh orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ijtihad yang salah atau menyalahkan orang lain.”
Al-Amir Syakib Arsalan menjelaskan bahwa di antara sebab kaum muslimin tertinggal ialah karena ilmu yang kurang. Hal itu jauh lebih berbahaya daripada sedikit kebodohan. Sebab, jika Allah memberikan kepada orang yang bodoh seorang pembimbing yang alim, ia akan menaati dan tidak akan berkilah. Sementara orang yang ilmunya kurang, ia tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ini sesuai dengan ungkapan yang mengatakan, 'Cobaan kalian dengan seorang yang gila lebih baik dari cobaan kalian dengan orang yang setengah gila.' Bisa pula saya katakan, 'Cobaan kalian dengan orang yang bodoh lebih baik daripada cobaan kalian dengan orang yang tampak seperti orang alim'.”
Terakhir, semoga M. Quraish Shihab menyadari kekhilafannya dan menarik pendapatnya yang ganjil tentang jilbab serta mengumumkannya ke publik. Sekali lagi, pendapat tersebut telah menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an dan hadits, serta pemahaman mayoritas ulama yang otoritatif. Apalagi, jika tidak bertobat, ia juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pandapatnya. Wallahu a’lam.
V. REFERENSI
Abu Ali Al-Fadhl bin Hasan bin Fadhl Ath-Thabrasi. 1997. Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Abu Bakar Al-Jazairi, Aisarut Tafasir. www.altafsir.com
Al-Hafidz Ibnu Katsir. 2003. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Cairo: Darul Hadits.
At-Tirmidzi. Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah. tt.Urdun: Al-Makatabah Al-Islamiyyah.
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf. www. altafsir.com
H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Usul Fiqih, Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. www. altafsir. com
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab.tt. Beirut: Dar Shadir.
Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt.
Muhammad Ahmad Ismail Al-Muqaddam. 2003. Fiqih Asyartus Sa'ah. Iskandaria: Darul Alamiyah.
Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur’anil Karim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. 2000. Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Mekah: Muassasah Ar-Risalah.
Muhammad Jawad Mugniyyah. 1999. Fiqih Lima Mazhab, (terj.) Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dari judul Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Jakarta: Penerbit Lentera.
Muhammad Mutawalli Sya’rawi. 2006. Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Jakarta: Lentera Hati.
M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.
Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah, (terj.) Nor Hasanuddin, dkk. dari judul Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Sayyid Qutb. Fi Zhilalil Qur’an. www. altafsir.com
Syamsuddin Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. www. altafsir.org
Wahbah Az-Zuhaili. 1991. At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj. Damaskus: Darul Fikr.
www.hidayatullah.com
tentang Jilbab dalam Tafsir Al-Misbah
Oleh:
FAHRUR MU’IS
I. MUKADIMAH
Islam adalah agama universal yang memiliki makna menampakkan ketundukan dan melaksanakan syariah serta menetapi apa saja yang datang dari Rasulullah. Semakna dengan hal ini, Allah juga memerintahkan umat Islam agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Yakni, memerintahkan kaum muslimin untuk mengamalkan syariat Islam dan cabang-cabang iman yang begitu banyak jumlah dan ragamnya. Pun mengamalkan apa saja yang diperintahkan dan meninggalkan seluruh yang dilarang semaksimal mungkin.
Namun, dewasa ini banyak nilai-nilai Islam yang ditinggalkan oleh kaum muslimin. Salah satunya adalah dalam masalah jilbab. Hal ini tampak dari banyaknya kaum muslimah yang tidak mempraktikkan syariat ini dalam keseharian mereka. Akibatnya, mereka kehilangan identitas diri sebagai muslimah sehingga sulit dibedakan mana yang muslimah dan non-muslimah.
Fenomena tersebut bisa disebabkan oleh ketidaktahuan, keraguan, ataupun terbelenggu dalam hawa nafsu. Namun, yang lebih bahaya dari itu semua adalah adanya usaha pengkaburkan bahwa jilbab bukanlah sebuah kewajiban agama, melainkan produk budaya Arab. Pengkaburan dari pemikiran yang benar ini telah dilakukan oleh beberapa pihak, baik dari luar umat Islam maupun dari dalam umat Islam sendiri.
Dari dalam tubuh umat Islam sendiri, pandangan nyleneh tersebut pernah dilontarkan oleh beberapa tokoh. Di antaranya adalah Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikarannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation. Pernyataan kontroversi tentang jilbab juga dilontarkan oleh pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam Tafsir Al-Misbah dan Wawasan Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa M. Quraish Shihab adalah pakar tafsir yang menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang. Ia melanjutkan pendidikan tingkat menengah di Malang, yang ia lakukan sambil menyantri di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah.
Pada tahun 1958 ia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Tahun 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadits Universitas Al-Azhar. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di fakultas yang sama dan pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al Qur'an dengan tesis berjudul Al-I'jaz Al-Tasyri'i li Al-Qur'an Al-Karim.
Tahun 1980 , M. Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamater lamanya. Tahun 1982 ia meraih doktornya dalam bidang ilmu-ilmu Al Qur'an dengan disertasi yang berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah. Ia lulus dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtaz ma`a martabat al-syaraf al-'ula).
Beberapa buku yang sudah ia hasilkan antara lain :Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Filsafat Hukum Islam, Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah), Membumikan Al Qur'an, Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz, dan lain-lain.
Tulisan ini bermaksud untuk mengkritisi tafsir M.Qurais Shihab tentang ayat jilbab (surat Al-Ahzab ayat 59) yang ia tulis dalam salah satu bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah. Hal ini dilakukan untuk membendung terjadinya penyesatan pemikiran di kalangan umat Islam dengan memaparkan berbagai pendapat ulama yang diakui otoritas ilmunya (mu’tabar) baik yang salaf maupun kontemporer.
II. PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman tentang jilbab hanya di satu tempat, yaitu surat Al-Ahzab ayat 59. Karena itu, selanjutnya ia populer dikenal dengan ayat jilbab. Ayat yang dimaksud ialah:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas—semoga telah tergambar—tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ " فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب " مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba untuk mengkritisinya.
III. KRITIK ATAS PENAFSIRAN M. QURAIS SHIHAB
A. Makna Jilbab dan Mengulurkan Jilbab dalam Al-Qur’an
Sebelum masuk pada inti pembahasan, ada baiknya disampaikan terlebih dahulu tentang makna jilbab dalam pandangan Al-Qur’an. Secara bahasa, kata al-jilbab sama dengan kata al-qamish atau baju kurung yang bermakna baju yang menutupi seluruh tubuh. Ia juga sama dengan al-khimar atau tudung kepala yang bisa dimaknai dengan apa yang dipakai di atas baju seperti selimut dan kain yang menutupi seluruh tubuh wanita.
Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab mengatakan bahwa jilbab berarti selendang, atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada, dan bagian belakang tubuhnya.
Jilbab berasal dari kata kerja jalab yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk tubuhnya tidak kelihatan.
Penelusuran atas teks Al-Qur'an tentang jilbab agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut. Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan Ibnu Mas'ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa'id bin Jubair Al-Nakha'i, Atha Al-Khurasani dan lain-lain. Ia bagaikan "izar" sekarang. Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka, mengatakan izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah mengulurkan jilbab yang dimaksudkan Allah dalam ayat jilbab. Sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup wajah dan kepala serta hanya menampakkan satu mata, dan sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup muka mereka.
Menurut Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Ia juga menyebutkan bahwa menurut Al-Hasan, ayat tersebut memerintah kaum wanita untuk menutup separo wajahnya.
Azzamakhsyari dalam Alkasysyaf merumuskan jilbab sebagai pakaian yang lebih besar daripada kerudung, tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya.
Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka artinya mengulurkan jilbab ke wajah mereka sehingga yang tampak dari seorang wanita hanyalah satu matanya yang digunakan untuk melihat jalan jika dia keluar untuk suatu keperluan.
At-Tirmidzi dalam Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah menafsirkan mengulurkan jilbab dengan menutup seluruh tubuh, kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat. Di antara yang memaknainya demikian ialah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abidah As-Salmani, dan lain-lain.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.
Dari rujukan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh. Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Di antara tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh badan dan separuh wajah dengan memperlihatkan kedua mata; dan mengulurkan kain untuk menutup kepala hingga dada.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli tafsir dari dahulu hingga sekarang telah bersepakat bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban agama bagi kaum wanita. Mereka bersepakat tentang wajibnya memakai jilbab dan berbeda pendapat tentang makna mengulurkan jilbab: apakah mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali dua mata, atau mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali muka. Jadi, pendapat M. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa kewajiban mengulurkan jilbab adalah masalah khilafiyah jelas tidak berdasar. Sebab, para ulama ahli tafsir sejak dahulu hingga sekarang telah bersepakat tentang kewajiban memakai jilbab bagi kaum muslimah. Sebab, perintah tersebut didasari atas dalil baik dari Al-Qur’an maupun hadits dan qarinah (petunjuk) yang sangat kuat.
B. Tafsir Ayat Jilbab
Bagaimanakah para ulama yang terpercaya dari zaman dahulu hingga sekarang menafsirkan ayat jilbab? Apakah pendapat mereka sesuai dengan pendapat M.Qurais Shihab ataukah justru bertentangan? Untuk mengetahui hal itu, kita perlu mengkaji buku-buku tafsir yang sudah diakuai dan diterima oleh umat Islam di dunia. di antaranya ialah:
1.Tafsir Ibnu Abbas
Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Ibnu Abbas menuturkan, “Selendang atau jilbab tudung wanita hendaklah menutupi leher dan dada agar terpelihara dari fitnah atau terjauh dari bahaya zina.
2. Tafsir Al-Qurthubi
Dalam menafsirkan ayat jilbab tersebut, Al-Qurthubi menulis, “Allah memerintahkan segenap kaum muslimah agar menutupi seluruh tubuhnya, agar tidak memperlihatkan tubuh dan kulitnya kecuali di hadapan suaminya, karena hanya suaminya yang dapat bebas menikmati kecantikannya.”
3. Tafsir Ibnu Katsir
Menurut tafsir Ibnu Katsir, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 Allah memerintah Rasul-Nya agar menyuruh wanita-wanita mukminat—khususnya para istri dan anak beliau karena kemuliaan mereka—untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka guna membedakan dari wanita jahiliyah dan budak. Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Muhammad bin Sirin berkata, “Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, “يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ” maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya.
4. Tafsir Sayyid Qutb
Menurut Sayyid Qutb, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi dan kaum muslimah umumnya agar setiap keluar rumah senantiasa menutupi tubuh, dari kepala sampai ke dada dengan memakai jilbab tudung yang rapat, tidak menerawang, dan juga tidak tipis. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga identitas mereka sebagai muslimah dan agar terpelihara dari tangan-tangan jahil dan kotor. Karena mereka yang bertangan jahil dan kotor itu, pasti akan merasa kecewa dan mengurungkan niatnya setelah melihat wanita yang berpakaian terhormat dan mulia secara islam.
5. Tafsir Ath-Thabrasi
Maksudnya, katakanlah kepada mereka untuk menutup dadanya dengan jilbab, yaitu pakaian penutup yang membalut keindahan wanita.
6. Tafsir Wahbah Az-Zuhaili
Maksudnya, Allah meminta Rasul-Nya memerintahkan wanita-wanita mukminat, khususnya para istri dan anak beliau, jika keluar rumah untuk menutupkan jilbab-jilbab mereka agar membedakannya dari para budak. Ayat ini menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Su’ud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan.
Dari penafsiran para ulama yang memiliki otoritas dalam tafsir Al-Qur’an tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sepakat atas wajibnya jilbab bagi kaum muslimah. Penafsiran mereka sudah diakui kebenarannya dan diamalkan oleh umat Islam selama berabad-abad lamanya. Lalu, bagaimana bila tiba-tiba pendapat tersebut dimentahkan dan disalahkan oleh satu orang yang datang belakangan yang otoritasnya dalam ilmu agama masih dipertanyakan? Apakah dapat diterima oleh logika?
Sesungguhnya, praktik para shahabiyyat yang tidak disanggah oleh Rasulullah bahkan dikuatkan, dan pemahaman para shahabiyyin, serta penerimaan ummat dari generasi ke generasi, secara keseluruhan, menjadi bukti dan qarinah (petunjuk) bahwa yang dimaksud dalam ayat jilbab adalah para wanita harus menutup seluruh anggota badan, tanpa kecuali, atau dengan pengecualian wajah dan kedua telapak tangan.
Rupanya M.Quraish Shihab mengkritisi pendapat para ulama yang memiliki otoritas dalam ilmu agama dan sama sekali tidak mengkritisi pendapat tokoh yang dianutnya, baik Muhammad Thahir bin Asyur maupun Al-Asymawi yang notabenenya penganut paham liberal dan pluralisme agama. Seharusnya M.Quraish Shihab lebih kritis terhadap pendapat kedua tokoh tersebut yang otoritas ilmu agamanya masih diragukan, dan bukannya malah langsung mengikutinya tanpa memberi catatan. Ini jelas menunjukkan sikap ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut memang dipaksakan dan asal mencari pendapat yang longgar.
C. Batasan Aurat dalam Islam
Benarkah Al-Qur’an tidak menyebutkan batas aurat sebagaimana yang dikatakan oleh M. Quraish Shihab? Untuk menjawab pertanyan ini, kita perlu membaca surat An-Nur ayat 31 beserta tafsirannya. Ayat yang dimaksud ialah:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…(An-Nur: 31).
Ulama madzhab sepakat bahwa semua badan wanita adalah aurat, selain muka dan dua telapak tangannya, berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nur, ayat 31:
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
"… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…. “
Yang dimaksud dengan perhiasan yang nampak itu adalah muka dan dua telapak tangan. Sedangkan yang dimaksud dengan khimar adalah tutup kepala, bukan penutup muka; dan yang dimaksud dengan jaib adalah dada. Para wanita itu telah diperintahkan untuk meletakkan kain penutup di atas kepalanya dan melebarkannya sampai menutupi dadanya.
Menurut Muhammad Mutawalli Sya’rawi, para ulama sepakat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya. Abu Hanifah menambah pengecualian itu dengan kedua kaki hingga mata kaki.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa maksud kerudung dalam ayat di atas adalah kain yang menutupi kepala. Kata dada juga meliputi leher. Dengan demikian, kerudung itu wajib menutupi kepala, leher, dan dada. Itulah batas bagian atas dari hijab. Lalu di mana batas bagian bawahnya? Jawabannya terdapat dalam bagian ayat berikutnya,
“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur [24]: 31)
Perhiasan kaki adalah gelang-gelang kaki. Karena para wanita menutupi tubuh mereka sampai ke kaki, maka mereka mengentakkan kaki untuk menunjukkan perhiasan yang ada di balik pakaian yang menutupi pergelangan kaki mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa wanita harus menutupi kaki mereka sampai tumit.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda tentang batas aurat wanita yang wajib ditutup:
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ
وَكَفَّيْهِ
“Wahai Asma’, wanita yang sudah haid harus menutupi seluruh tubuhnya, kecuali ini dan ini’ sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud).
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa aurat wanita yang sudah balig ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits yang otoritas ilmunya tidak diragukan lagi.
Selain itu, ada hadits juga yang menunjukkan bahwa wanita pada zaman Nabi berhasrat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka dengan benar. Yakni, suatu hari istri Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf bertanya kepada Ummu Salamah, “Aku sering berjalan di tempat-tempat kotor. Bagaimana mungkin aku memanjangkan pakaianku?” Ummu salamah menjawab, “Rasulullah bersabda:
يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
‘Pakaian itu akan dibersihkan oleh apa yang mengenainya setelah kotoran itu.’” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-Darimi).
Sekali lagi, dua petunjuk Nabi tersebut menyimpulkan bahwa wanita harus menutupi tubuh bagian atasnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak boleh terlihat.
Dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 31, Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa kata khumur adalah jama’ dari kata khimar yang berarti sesuatu yang menutupi kepala wanita dan menutupinya dari pandangan laki-laki. Sedangkan kata juyub adalah jama’ dari kata jaib yang artinya dada. Maknanya, hendaklah para wanita muslimah memakai kerudung hingga menutupi dada mereka, agar dada mereka tidak kelihatan sama sekali.
Ia melanjutkan, wanita pada masa jahiliyah—seperti yang terjadi pada masa jahiliyah modern saat ini—berjalan di hadapan laki-laki dengan membuka dada, atau dadanya sengaja diperlihatkan untuk menunjukkan keindahan tubuh dan rambutnya untuk menarik laki-laki. Mereka memakai kerudung pada bagian belakang, sementara dada mereka tetap terbuka lebar. Maka dari itu, wanita-wanita mukminat diperintahkan oleh Allah agar menutupi dada mereka dengan kerudung hingga dada mereka tertutup rapat agar terjaga dari tangan-tangan jahil.
Ditambah lagi, para ulama juga memberikan beberapa syarat bagi busana muslimah. Syarat-syarat tersebut ialah:
1.Busana tidak boleh berfungsi sebagai perhiasan.
2.Tidak terbuat dari kain tipis yang transparan.
3.Tidak ketat dan mencetak bentuk badan.
4.Tidak menggunakan bahan pewangi yang manusuk hidung.
5.Tidak menyerupai busana laki-laki.
6.Tidak menyerupai busana orang kafir.
7.Busana ini tidak dikenakan untuk tujuan popularitas.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa batasan aurat dalam Islam sangat jelas. Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian menyatakan wajah boleh dibuka.
Pendapat M. Quraish Shihab tersebut harus diklarifikasi agar tidak terjadi kekacauan berpikir dan penyesatan umat. Apalagi, sebagai seorang intelektual dan dai ia harus menjunjung tinggi amanah ilmiah dan membimbing umat ke jalan yang benar.
D. Universalisme Risalah Islam
Dalam uraian sebelumnya telah dijawab dua pokok pendapat ganjil M. Qurais Shihab. Pendapat ketiga yang akan dikritisi dalam tulisan ini ialah pandangannya bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama.
Ini adalah pendapat yang sangat aneh. Bahkan tak seorang ulama pun yang memiliki otoritas ilmu pernah melontarkannya. Pendapat M. Qurais Shihab yang mengatakan bahwa perintah jilbab bersifat anjuran dan bukan keharusan ini tampak mengada-ada. Karena, perintah tersebut tidak pernah dipahami seperti itu oleh Nabi, shahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan seluruh umat Islam hingga sekarang.
Bila merujuk ilmu ushul fikih, ayat jilbab jelas berupa al-amr atau perintah. Al-Amr adalah tuntutan perbuatan dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih bawah. Atau bisa juga dikatakan bahwa al-amr adalah suatu lafal yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk memimnta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak. Dengan demikian, pada dasarnya perintah itu menunjukkan suatu kewajiban.
Lalu, benarkah pendapatnya yang mengatakan bahwa jilbab yang merupakan salah satu syariat Islam lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama? Pendapat ini tidak memiliki dasar yang kuat. Karena seluruh ajaran Islam turun di Arab, apakah syariat Islam berarti hanya berisi budaya lokal Arab dan hanya untuk orang Arab?
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa risalah Islam bukanlah risalah yang bersifat lokal yang terbatas ataupun parsial, yang khusus untuk suatu generasi atau suku bangsa tertentu saja sebagaimana halnya risalah-risalah sebelumnya. Namun, ajaran Islam merupakan ajaran universal yang mencakup seluruh umat manusia hingga hari Kiamat, yaitu pada saat seluruh makhluk menghadap Allah ta’ala. Ajaran Islam tidaklah terfokus untuk kota tertentu atau terbatas dengan waktu tertentu.
Di antara dalil-dalilnya ialah firman Allah:
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al-Furqan: 1)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(28)
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (Saba’: 34).
“Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk’." (Al-A’raf: 158).
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa di antara argumentasi yang membuktikan akan universalitas ajaran Islam adalah sebagai berikut:
1.Tidak terdapat permasalahan yang sulit untuk diyakini atau sukar dilaksanakan.
2.Permasalahan yang tidak terkait oleh perubahan tempat dan waktu, seperti masalah akidah dan ibadah, maka diterangkan dengan sempurna dan secara terperinci. Adapun permasalahan yang mengalami perubahan yang disebabkan situasi dan kondisi, misalnya hal-hal yang menyangkut soal peradaban, urusan-urusan politik dan peperangan, maka diterangkan secara global agar dapat mengikuti kepentingan manusia pada setiap waktu dan tempat.
3.Seluruh ajaran Islam bertujuan untuk menjaga kepentingan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Keadaan semacam ini lebih sesuai dengan fitrah dan akal, perkembangan zaman dan cocok untuk diaplikasikan di segala tempat dan waktu.
Dari pendapat para ulama yang otoritatif di atas, bisa disimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal serta berlaku untuk semua wanita. Mengapa? Sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita di satu tempat dengan tempat yang lain, baik di Arab, Jawa, maupun Cina. Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal.
Pendapat M. Qurais Shihab yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib, karena ayat-ayat jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada asbabun nuzul-nya), dan hendaknya hal tersebut menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum, dapat dijawab dengan dua hal sebagaimana yang ditulis Adian Husaini, yaitu:
Pertama, rangkaian sebelum dan sesudah ayat jilbab dan hijab dalam surah An-Nur dan Al-Ahzab menunjukkan bahwa alasan diwajibkannya memakai jilbab adalah demi al-hisymah (menjaga kehormatan wanita agar tetap terpuji), bukan sekadar untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya.
Kedua, istilah asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Qur’an) dalam tradisi ulama Islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun. Tapi, lebih berperan sebagai peristiwa/audio visual (alat peraga) yang mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri.
Sebab, lafal yang dasarnya bersifat umum dan menunjuk makna yang telah jelas digunakan pemakainya, tidak bisa dikhususkan atau dialihkan ke makna lain, kecuali didukung bukti kuat. Dan asbabun nuzul tidak cukup kuat untuk mengkhususkan pesan umum sebuah lafal.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pendapat M. Quraish Shihab dalam masalah jilbab adalah pendapat yang aneh dan ganjil di kalangan ulama Islam. Sebab, pendapat tersebut sama sekali tidak dikenal dan tak pernah terlontarkan di antara mereka. Dengan demikian, hal itu jelas mengindikasikan bahwa pendapat tersebut tidak benar.
IV. PENUTUP
Dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama, jilbab bukanlah masalah khilafiyah karena seluruh ulama telah sepakat atas kewajibannya bagi muslimah. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah dalam menutup sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki.
Kedua, batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Ketiga, perintah jilbab itu bersifat wajib dan berlaku bagi seluruh muslimah di mana saja mereka berada karena syariat Islam bersifat universal dan telah final.
Untuk menutup tulisan ini, perlu penulis sampaikan tentang nasihat agar tidak asal berpendapat dan berijtihad sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Al-Muqaddam. Imam Malik meriwayatkan, "Seseorang mengabarkan kepadaku bahwa ia menjumpai Rabi’ah yang didapatinya sedang menangis. Ia bertanya, 'Apa yang membuatmu menangis? Adakah musibah yang terjadi padamu?' Lalu, tangisnya mereda dan ia menjawab, 'Tidak, saya menangis karena orang yang tak berilmu telah dimintai fatwa sehingga muncul dalam Islam sebuah perkara besar.' Rabi’ah berkata, 'Sungguh sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak dikurung daripada para pencuri'.”
Imam Ibnu Hazm menjelaskan bahwa tiada penyakit yang lebih membahayakan bagi ilmu dan ahlinya daripada orang asing yang bukan termasuk dari ahli ilmu. Mereka bodoh, tapi menyangka diri mereka berilmu. Mereka merusak, tapi mengklaim diri mereka membuat perbaikan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa jika seseorang berbicara tidak pada bidangnya, ia akan mendatangkan segala keanehan.
Sebagian para pengarang menulis bahwa pendapat aneh dari sebagian ulama dalam urusan syariah dan berkata dengan sesuatu yang tidak dikatakan siapa pun ialah dua indikasi adanya kerusakan dalam akal.”
Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesuatu yang tidak dikenal bukanlah bagian dari ilmu. Sebab, ilmu ialah sesuatu yang dikenal dan semua orang menyepakatinya.”
Ibrahim bin Abi ‘Ablah berkata, “Siapa mengusung ilmu yang keliru, ia telah membawa kejelekan yang banyak.”
Asy-Syathibi berkata, “Adanya pelanggaran terhadap perbuatan para pendahulu disebabkan oleh orang yang mengklaim dirinya sebagai ahli ijtihad yang salah atau menyalahkan orang lain.”
Al-Amir Syakib Arsalan menjelaskan bahwa di antara sebab kaum muslimin tertinggal ialah karena ilmu yang kurang. Hal itu jauh lebih berbahaya daripada sedikit kebodohan. Sebab, jika Allah memberikan kepada orang yang bodoh seorang pembimbing yang alim, ia akan menaati dan tidak akan berkilah. Sementara orang yang ilmunya kurang, ia tidak tahu dan tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu. Ini sesuai dengan ungkapan yang mengatakan, 'Cobaan kalian dengan seorang yang gila lebih baik dari cobaan kalian dengan orang yang setengah gila.' Bisa pula saya katakan, 'Cobaan kalian dengan orang yang bodoh lebih baik daripada cobaan kalian dengan orang yang tampak seperti orang alim'.”
Terakhir, semoga M. Quraish Shihab menyadari kekhilafannya dan menarik pendapatnya yang ganjil tentang jilbab serta mengumumkannya ke publik. Sekali lagi, pendapat tersebut telah menyimpang dari petunjuk Al-Qur’an dan hadits, serta pemahaman mayoritas ulama yang otoritatif. Apalagi, jika tidak bertobat, ia juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pandapatnya. Wallahu a’lam.
V. REFERENSI
Abu Ali Al-Fadhl bin Hasan bin Fadhl Ath-Thabrasi. 1997. Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah.
Abu Bakar Al-Jazairi, Aisarut Tafasir. www.altafsir.com
Al-Hafidz Ibnu Katsir. 2003. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Cairo: Darul Hadits.
At-Tirmidzi. Al-Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah. tt.Urdun: Al-Makatabah Al-Islamiyyah.
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf. www. altafsir.com
H.A. Djazuli dan I. Nurol Aen. 2000. Usul Fiqih, Metodologi Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas. www. altafsir. com
Ibnu Mandzur, Lisanul Arab.tt. Beirut: Dar Shadir.
Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyyah. Al-Mu’’jam Al-Wasith, tt.
Muhammad Ahmad Ismail Al-Muqaddam. 2003. Fiqih Asyartus Sa'ah. Iskandaria: Darul Alamiyah.
Muhammad Ali Ash-Shabuny. 2002. Cahaya Al-Qur’an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur’anil Karim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. 2000. Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an. Mekah: Muassasah Ar-Risalah.
Muhammad Jawad Mugniyyah. 1999. Fiqih Lima Mazhab, (terj.) Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, dari judul Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Jakarta: Penerbit Lentera.
Muhammad Mutawalli Sya’rawi. 2006. Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran Jakarta: Lentera Hati.
M. Quraish Shihab. 1998. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan.
Sayyid Sabiq. 2006. Fiqih Sunnah, (terj.) Nor Hasanuddin, dkk. dari judul Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Sayyid Qutb. Fi Zhilalil Qur’an. www. altafsir.com
Syamsuddin Al-Qurthubi. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an. www. altafsir.org
Wahbah Az-Zuhaili. 1991. At-Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj. Damaskus: Darul Fikr.
www.hidayatullah.com
Subscribe to:
Posts (Atom)